Seraphina dan Selina adalah gadis kembar dengan penampilan fisik yang sangat berbeda. Selina sangat cantik sehingga siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta dengan kecantikan gadis itu. Namun berbanding terbalik dengan Seraphina Callenora—putri bungsu keluarga Callenora yang disembunyikan dari dunia karena terlahir buruk rupa. Sejak kecil ia hidup di balik bayang-bayang saudari kembarnya, si cantik yang di gadang-gadang akan menjadi pewaris Callenora Group.
Keluarga Callenora dan Altair menjalin kerja sama besar, sebuah perjanjian yang mengharuskan Orion—putra tunggal keluarga Altair menikahi salah satu putri Callenora. Semua orang mengira Selina yang akan menjadi istri Orion. Tapi di hari pertunangan, Orion mengejutkan semua orang—ia memilih Seraphina.
Keputusan itu membuat seluruh elite bisnis gempar. Mereka menganggap Orion gila karena memilih wanita buruk rupa. Apa yang menjadi penyebab Orion memilih Seraphina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon secretwriter25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
02. Luka Di Balik Cermin
Uap hangat masih mengepul di udara. Seraphina duduk di dalam bak mandi marmer yang besar, tubuhnya menggigil meski air di dalamnya masih hangat. Tatapannya jatuh pada pantulan wajahnya di permukaan air—setengah halus, setengah tampak mengerikan. Luka-luka itu seperti hidup, menertawakannya, mencibir dan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah seindah saudari kembarnya.
Ia mengusap perlahan kulit di pipi kirinya yang kasar dan menebal. “Kenapa aku harus terlahir begini…” bisiknya. Suaranya tenggelam bersama uap hangat yang perlahan menipis. Ia tidak tahu apakah Tuhan pernah mendengarnya. Atau mungkin Tuhan juga tidak ingin melihat wajahnya.
Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Alina melangkah masuk sambil membawa handuk dan pakaian tidur. “Nona, airnya sudah dingin. Sebaiknya keluar sekarang, nanti Nona masuk angin.”
Seraphina menatap sekilas pelayannya itu, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih, Alina.” Ia berdiri pelan, membiarkan Alina membantu mengeringkan tubuhnya. Saat handuk menyentuh pipi kirinya yang rusak, rasa perih itu kembali terasa—seperti luka lama yang enggan sembuh.
“Alina…” panggilnya lirih.
“Ya, Nona?”
“Menurutmu…apa wajahku benar-benar semengerikan itu?”
Pertanyaan itu membuat Alina terdiam sejenak. Ia menatap Seraphina lewat pantulan cermin di depannya—separuhnya memang rusak, tapi mata hijau zaitun yang dimiliki Seraphina itu benar-benar indah.
“Kenapa Tuhan menciptakan aku seperti ini?” tanya Seraphina lagi.
Alina menatap sang Nona dengan tatapan lembut. “Mungkin karena Tuhan ingin menunjukkan bahwa keindahan tidak selalu terlihat dari wajah, Nona.”
Seraphina tersenyum tipis. “Andai saja dunia berpikir sebaik itu,” jawabnya lalu menghela napas berat.
Beberapa jam kemudian, Seraphina sudah berganti pakaian tidur. Ia duduk di kursi dekat jendela, menatap langit malam yang bertabur bintang di atas gedung-gedung milik ayahnya. Ia tidak tahu kenapa selalu merasa asing di rumah sendiri. Ketukan lembut di pintu memecah lamunannya.
Eveline Callenora masuk, tampil anggun dalam gaun malam berwarna lembut. Wajahnya terlihat letih, tapi masih memancarkan kehangatan khas seorang ibu.
“Mama,” sapa Seraphina lirih. Ia memutar tubuhnya, menghadap ke arah ibunya.
Eveline duduk di sisi ranjang. Wanita itu mengelus rambut putrinya. “Mama dengar kamu bertengkar lagi dengan Selina, ya?”
Seraphina menunduk. “Aku hanya lelah, Ma… Aku ingin pergi dari sini.”
“Pergi? Kamu mau pergi ke mana, sayang?” tanya Eveline.
“Ke mana saja, Mama. Asalkan jauh dari Selina, dari Papa dan semua orang yang melihatku sebagai monster.” Suaranya bergetar. Air mata menetes di pipinya.
Eveline memeluk Seraphina erat. “Kamu bukan monster, sayang. Kamu putri Mama,” bisiknya.
“Tapi Papa dan Selina akan senang kalau Sera pergi, Ma…” lirih Sera menambahkan.
“Kamu tega meninggalkan Mama?” tanya Eveline.
Seraphina menundukkan kepalanya. “Sera ingin pergi, Mama.”
Eveline menatapnya lembut. “Tidak, Sera. Sekarang bukan waktunya kamu menyerah. Besok malam keluarga Altair akan datang.”
Seraphina mengangkat kepala, menatap ibunya tatapan bingung. “Keluarga Altair?”
“Ya,” jawab Eveline pelan. “Damian ingin menjodohkan salah satu dari kalian dengan putra mereka, Orion Altair. Dia akan datang… untuk memilih.”
Hening. Dunia Seraphina seperti berhenti berputar sesaat. Orion Altair—nama itu bukan nama asing baginya. Ia pernah melihatnya sekali di pesta bisnis keluarga, dari kejauhan. Pria berwajah tenang dan berwibawa, pria pertama yang menatapnya dengan sorot berbeda. Tatapan yang membuatnya, untuk pertama kalinya, merasa dilihat sebagai manusia.
“Besok pasti papamu tidak akan mengizinkanmu keluar dari kamar ini. Tapi mama ingin kamu hadir dalam acara itu dan menemui Orion,” jelas Eveline.
“Untuk apa, Ma? Sudah jelas Orion pasti akan memilih Selina.” Seraphina tersenyum getir. Sejenak dia berpikir acara ini adalah kesempatannya untuk pergi dari rumah—jika Orion memilihnya. Tapi tentu saja itu hal yang mustahil.
“Tapi Mama… Mama ingin dia memilih kamu, Sera. Mama ingin kamu berusaha agar Orion memilih kamu,” jelas Eveline.
Seraphina menatap ibunya tidak percaya. “Aku? Mama bercanda?”
Eveline menggenggam kedua tangan putrinya erat. “Kamu tidak seperti mereka. Kamu lembut, kamu berhati besar. Orion anak baik, Sera. Dia tidak akan memilih hanya karena rupa. Mama ingin kamu berdandan cantik besok malam, ya? Biarkan dia melihat siapa kamu sebenarnya.”
Seraphina menunduk. Air matanya jatuh diam-diam di atas punggung tangan ibunya.
“Cantik…” gumamnya lirih. “Kata itu terdengar asing bagiku.”
Eveline tersenyum kecil, menyentuh pipi putrinya dengan lembut. “Kamu hanya perlu percaya, Sayang. Percaya kalau kecantikan sesungguhnya bukan hanya dinilai dari rupa.”
“Untuk apa aku berusaha agar dipilih, Ma? Padahal sudah jelas—yang akan aku terima adalah penghinaan,” lirih Seraphina.
“Sayang… percayalah dengan keyakinan Mama. Hanya ini satu-satunya cara agar kamu bisa keluar dari rumah ini,” jelas Eveline.
“Tapi gimana kalau Selina dan Papa tahu, Ma? Mereka pasti akan mengurungku,” lirih Seraphina.
“Berpura-puralah tidak tertarik dengan pesta itu jika Selina bertanya. Buat dia merasa aman dan tidak terganggu dengan keberadaan kamu,” pinta Eveline.
“Tapi, Ma…” Seraphina tampak tak yakin dengan ide dari ibunya itu.
“Percayalah dengan Mama, sayang. Kamu cukup kenakan gaun yang cantik dan keluar saat Mama memberikan kode,” jelas Eveline. Ia mengecup dahi Seraphina, lalu melangkah keluar dari kamar putrinya.
“Selamat tidur, Sera…” ucapnya sebelum menutup pintu.
Seraphina hanya menatap kepergian ibunya dengan perasaan berkecamuk. “Selamat malam, Mama…” jawabnya lirih.
Sementara Eveline menutup pintu kamar Seraphina dengan perasaan yang tak kalah kacau. “Mama nggak ingin kalau Papa kamu menikahkan kamu dengan laki-laki tua beristri dua itu, Sera…” batin Eveline.
“Tuhan… kali ini tolong… buatlah putriku—Seraphina Callenora, berbahagia setelah semua luka yang dia rasakan.”
Malam semakin larut. Setelah ibunya pergi, Seraphina berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia menatap dirinya lama sekali—mencoba mencari sesuatu yang bisa disebut indah di sana.
Tangannya menyentuh permukaan kaca yang dingin.
“Jika aku harus bersaing dengan Selina,” bisiknya lirih, “aku tidak bisa menang dengan kecantikan… tapi mungkin aku bisa menang dengan hati.”
“Bagaimana menurutmu, Alina?” Seraphina menatap Alina yang sedang merapikan tempat tidurnya.
“Nona… siapa pun yang sudah mengenalmu pasti tau kalau kau jauh lebih cantik daripada Nona Selina,” jawab Alina. “Mereka harus mengenalmu untuk tahu seberapa cantiknya dirimu.”
“Tapi bukankah di zaman sekarang perempuan cantik bebas melakukan apa pun? Beauty Standard di negara kita bukan tentang kecantikan hati, tapi tentang kecantikan paras. Jika kau cantik, dunia akan berlutut untukmu. Kau akan mendapatkan beauty privilege dan dunia akan memaafkan semua kesalahanmu dengan mudah. Dunia akan mudah dijalani jika kau terlahir cantik, bukan?” ucap Seraphina panjang lebar.
“Tapi Nona juga harus tau kalau tidak semua manusia memandang dunia dengan cara yang sama. Kau paham maksudku kan, Nona?” tanya Alina.
Seraphina terdiam. Alina benar, tidak semua orang beranggapan bahwa kecantikan paras adalah segalanya. Meskipun hanya sedikit, tapi setidaknya ada. Untuk pertama kalinya, Seraphina merasa ada sedikit harapan. Akankah dia bisa keluar dari sangkar emas yang menyiksanya itu? Akankah Orion memang sosok pria yang dikirimkan Tuhan untuk membantunya. Menjawab doa-doa panjangnya selama ini. Besok malam, mungkin dunianya akan berubah, dunia yang memeluknya erat. Atau… justru menghancurkannya lebih dalam lagi.
🍁🍁🍁
Bersambung