NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:547
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 2 - Perubahan besar

10 tahun lalu

"Ingatlah, kalau ladangmu kekurangan air, panen akan buruk dan harganya jatuh," ucap kakek, tangannya cekatan menekan tanah menutupi benih gandum. Suaranya dalam, sabar, seolah setiap kata adalah doa yang ditanam bersama biji itu.

"Suatu hari kau akan meneruskan ladang ini. Mengajari anak-anakmu cara menanam, seperti aku mengajarkanmu sekarang. Jadi, perhatikan baik-baik."

Aku mengangguk kecil, tangan belepotan tanah, meniru gerakannya sebisaku. Matahari siang terasa membakar tengkuk.

"Kakek, apa segini belum cukup? Aku lelah sekali..." rengekku, berusaha mengusap keringat dengan lengan yang kotor.

Kakek hanya tersenyum lembut, garis kerut di wajahnya semakin dalam. "Istirahatlah sebentar di depan rumah. Duduklah, perhatikan aku dari sana. Ingat, kerja ladang itu soal kesabaran."

Aku menuruti ucapannya. Sambil menatapnya dari kejauhan, ada perasaan hangat di dada-seolah dunia hanya sebatas aku, kakek, dan ladang gandum yang membentang.

 

Sekarang

"Johnson punya lima belas anak buah. Mereka dibagi jadi kelompok kecil untuk memeras pedagang," jelasku dengan suara pelan, seakan takut udara sekalipun bisa membawa kabar.

"Aku pernah mengamati: tiga orang di depan toko daging, tiga di alun-alun, tiga lagi di gerbang kota. Sisanya, delapan orang, di tavern. Pola mereka selalu sama." Aku menggores tanah dengan ranting, membuat lingkaran kecil-kecil sebagai penanda posisi.

"Kita harus habisi kelompok terluar dulu. Biar tidak ada yang sempat lari atau memperingatkan yang lain."

Erick hanya mengangguk. Matanya serius, tapi ada sedikit keraguan di sana-sekilas bayangan masa lalu yang tak pernah dia ceritakan.

 

Gerbang Kota

Kami tiba di gerbang kota. Tiga bandit bersandar santai di dinding, tapi tangan mereka tak jauh dari pedang di pinggang.

"Biar aku yang maju dulu," Erick menepuk pundakku. "Kalau mereka curiga, kita sudah kalah setengah langkah."

Ia berjalan mendekat, mengangkat tangan dengan ramah.

"Hei, kalian sedang berjaga?" serunya.

Salah satu bandit mendengus. "Kalau bukan jaga, apa menurutmu kami sedang piknik?"

Erick terkekeh, pura-pura canggung. "Aku cuma ingin tanya. Kalian dengar soal ladang di dekat sungai yang terbakar kemarin?"

Bandit itu menatapnya curiga. "Kami juga masih nyari siapa biang keroknya."

"Kalau begitu, bagus. Tapi... kalian selalu berjaga di sini, kan? Jadi, di mana kalian tepatnya sebelum api itu muncul?" Erick menekan.

Hening. Bandit-bandit itu saling melirik, seolah memberi isyarat. Tangan mereka perlahan menggenggam gagang pedang.

Saat itu aku melempar sebuah batu.

Tang! Batu menghantam helm besi salah satu dari mereka.

"Siapa itu?!" teriaknya, panik.

Erick bergerak secepat kilat. Pedangnya melintas, memenggal leher bandit yang paling dekat. Darah menyembur di udara, membasahi batu jalan. Dua lainnya langsung menghunus pedang, menyerang serentak.

Erick menangkis satu, mundur selangkah. Yang lain maju menusuk-aku datang dari samping, menancapkan pedang ke punggungnya. Tubuhnya terhuyung, jatuh tanpa suara.

Yang terakhir masih berduel dengan Erick. Aku menebas dari belakang, dan semuanya berakhir dalam tiga tarikan napas.

Aku berdiri terengah, jari-jariku gemetar. Bau besi-darah hangat yang tercecer di tanah-membuat perutku mual. Erick menatap tubuh-tubuh itu, wajahnya pucat, tapi ia tidak berkata apa-apa.

"Kita... lanjut," ucapnya lirih.

Aku dan Erick berlari secepat mungkin dengan darah yang menempel di pedang dan tangan kami melewati gang sempit di kota, menghindari para penduduk agar tidak menarik perhatian.

"Hush" ucap Erick sambil merentangkan tangannya di depan ku memberi sinyal untuk berhenti.

"Kau melihat sesuatu?" ucapku bertanya sambil melihat sekeliling.

"Kau lihat disana?" Erick menunjuk kearah dua orang yang sedang menarik kerah leher seorang pedagang.

"Apa maksud mu tidak bisa bayar!" Ucap orang itu terdengar dari kejauhan.

Tanpa rasa belas kasihan orang itu pun memukul perut sang pedagang dan mengambil beberapa buah dari dagangannya lalu pergi.

"Ayo kita ikuti dia perlahan!" ucap Erick.

Kami pun terus mengikuti orang itu sampai dia akhirnya masuk kesebuah gang sepi untuk menemui seseorang.

"Ayo kita sergap mereka!" Ucap Erick.

Kami berlari bersama memasuki gang itu dengan pedang yang sudah terhunus yang kami sembunyikan dibalik punggung.

"Hey! Apa yang kalian lakukan disini!" ucap salah satu pria itu.

"Ah tidak, sepertinya kami tersesat maaf menggangu" ucap Erick sopan sambil sedikit tertawa.

"Hey!" Pria itu berteriak ketika kami akan mundur.

"Siapa yang bilang kalian bisa pergi begitu saja? Apa gang kalian sembunyikan dipunggung kalian itu? uang? Makanan? Berikan pada kami" ucap orang itu sambil berjalan mendekati.

Aku dan Erick bersiap untuk menyerang kedua pria itu ketika mereka sudah cukup dekat.

Sling!

Pedang Erick menebas pria didepannya dari pundak turun sampai ke perut. Pria yang berada dibelakangnya terlihat panik dan akan melarikan diri.

sebelum dia sempat berlari jauh, aku melempar pedangku yang tertancap tepat di punggungnya membuat pria itu terjatuh ketanah dan tidak bergerak sama sekali.

Pria dihadapan Erick masih terlihat sadar terjatuh ditanah dengan tubuh bersimbah darah dan tatapan yang penuh ketakutan.

Erick menjongkokan tubuhnya dihadapan orang itu.

"Katakan padaku, apa bos mu sedang berada di tavern?" ucap Erick dingin tanpa ekspresi.

Selagi Erick berbicara aku berjalan melewati mereka untuk mengambil pedang ku yang tertancap di tubuh pria yang tadi.

"Y-ya, tolong jangan bunuh aku" Ucap pria itu gemetar.

"Berikan aku alasan kuat untuk tidak membunuh mu?" ucap Erick sambil kembali berdiri.

"A-aku hanya mengikuti p-perintah" jawabnya tergagap.

"hmm" Erick berfikir sejenak.

"Justru itu adalah alasan kuat untuk membunuh mu!" Erick menebaskan kembali pedangnya ke leher pria itu yang langsung membuatnya tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali dan mati kehabisan darah.

Erick memandangku, "Ayo kita tidak punya banyak waktu!" ucap Erick memasukan pedangnya kedalam sarung pedang di pinggang nya.

 

Toko Daging

Lokasi berikutnya lebih berisiko. Pedagang dan warga lalu-lalang. Membunuh di sini berarti menimbulkan keributan, dan kabar bisa sampai ke telinga Johnson terlalu cepat.

"Diam-diam. Cepat," bisikku.

Aku bersembunyi di lorong sempit. Erick berjalan menghampiri tiga bandit yang berjaga di depan toko daging.

"Hei, kalian dengar kabar? Cucu pemilik ladang yang terbakar itu masih hidup. Aku lihat dia masuk ke gang sebelah sana." Erick menunjuk ke arahku. "Kalau mau, kubawa kalian ke sana."

Bandit-bandit itu saling tatap, lalu tertarik. "Tunjukkan."

Mereka masuk ke lorong sempit. Begitu dekat, salah satunya mendesis, "Kau cucu si kakek, ya? Johnson ingin bicara denganmu."

Hanya hening yang terdengar di udara

"Hey kenapa tangan ku berlumuran darah?" ucap salah satu bandit.

Jawabanku adalah tebasan dingin. Erick menusuk dari belakang, aku menebas dari depan. Darah menyemprot dinding batu. Bandit terakhir berusaha kabur, tapi aku melempar belati, menancap di kakinya. Ia terjerembab, meraung.

Aku mendekat, mencabut belati itu, lalu menatap matanya yang penuh ketakutan. Ada sesaat keraguan-tapi bayangan kakek yang tergeletak di ladang kembali muncul. Dengan satu ayunan, aku menyudahi hidupnya.

Tiga mayat baru tergeletak. Total enam.

Aku menarik napas berat. Erick menunduk, wajahnya muram. "Kalau kita lanjut ke alun-alun sekarang, tenaga kita habis. Dan di tavern... pasti lebih brutal."

Aku mengangguk. "Kita selesaikan yang besar dulu. Sisanya urusan nanti."

"Apa kau yakin? Menyerang ke tavern sekarang dapat menyebabkan keributan yang cukup besar untuk mencapai sisa anak buah Johnson yang akan datang untuk membantunya nanti" ucap Erick.

Aku hanya dia membersihkan darah yang menempel dibelatiku dan kembali memasukannya ke dalam sarung di pinggang ku.

"Ayo!" Ucapku dengan tatapan tajam.

Kami pun kembali berlari menuju tavern, udara membelai wajah ku dengan lembut, darah ditangan ku terasa sangat berat, namun itu bukanlah alasan untuk ku berhenti sekarang.

 

Depan Lim Tavern

Kami berdiri di depan pintu kayu tavern itu. Dari dalam terdengar riuh-tawa kasar, denting gelas, langkah-langkah berat. Di antara semua suara itu, aku bisa merasakan sesuatu yang lebih gelap.

Johnson.

Erick menggenggam pedangnya lebih erat. "Kalau aku mati di sini... setidaknya aku mati dengan alasan."

Aku menoleh, menatapnya. Ada luka lama di matanya, mungkin Johnson juga merenggut sesuatu darinya. Tapi ini bukan saatnya bertanya. Aku hanya mengangguk.

"Kau siap?" ia bertanya.

"Tentu saja."

Dengan teriakan pendek, aku menendang pintu. Kayu terbelah, dan kami masuk dengan pedang terhunus-siap menghadapi apa pun yang menunggu.

Pintu tavern terhempas terbuka. Cahaya sore menembus masuk, memotong kegelapan ruangan penuh asap rokok dan bau arak basi. Sejenak, musik biola yang dimainkan di sudut berhenti, lalu riuh tawa berubah jadi bisik-bisik curiga.

Mata puluhan bandit menatap kami. Beberapa berhenti menenggak gelas, sebagian lain sudah meraba gagang pedang dan kapak mereka.

Di tengah keramaian, seorang pria duduk santai di kursi kayu besar seolah itu singgasana. Tubuhnya tambun, janggut merah menyala, mata seperti serigala lapar. Johnson.

"Lihat siapa yang datang," suaranya berat, licin, penuh ejekan. "Anak kecil cucu petani dan... calon ksatria gagal. Sudah kubilang jangan cari masalah. Tapi rupanya kau keras kepala, James."

Aku maju selangkah, pedang di tangan bergetar tapi mataku menatap tajam. "Kau membunuh kakekku."

Johnson terkekeh. "Aku? Tidak. Aku cuma memungut bayaran. Kalau ladangmu terbakar, mungkin karena kelalaianmu sendiri. Dan kalau kakekmu mati..." ia mengangkat bahu, "itu harga hidup di dunia ini."

Tawa kasar meledak di antara anak buahnya. Tapi di balik candaannya, aku melihat sesuatu berkilat di jari Johnson: sebuah cincin perak berukir simbol asing-seperti mata yang dipahat dengan detail rumit.

Aku menahan napas. Itu bukan sekadar perhiasan biasa. Ada aura dingin yang aneh darinya.

"Cukup omong kosong." Erick melangkah ke depan, pedangnya siap. "Hari ini kau akan membayar semua yang telah kau lakukan."

Johnson berdiri, kursinya berderit. Tingginya mengintimidasi meski tubuhnya buncit. Ia menepuk tangannya dua kali. Anak buahnya bangkit serentak, kursi terlempar, gelas pecah di lantai. Ruangan mendadak penuh denting baja.

"Kalau begitu," gumam Johnson, senyumnya melebar, "kita bersenang-senang."

 

Pertarungan Pecah

Dua bandit pertama menerjang. Aku mengayun pedangku, menangkis tebasan, lalu menusuk perut satunya. Darah panas muncrat mengenai bajuku. Erick menangkis ayunan kapak, lalu memutar cepat dan membelah dada lawannya.

Teriakan, dentuman meja, arak tumpah, semua bercampur jadi kekacauan.

Aku sempat hampir terdesak oleh bandit bertubuh besar. Dia mengangkat kursi dan melempar ke arahku. Aku berguling ke samping, menusuk kakinya. Dia jatuh menjerit, dan tanpa ampun aku menebas lehernya.

Erick sudah terlibat duel dengan dua orang sekaligus, keringat bercucuran di wajahnya. Aku berlari membantu, menangkis serangan dari belakang sebelum pedang Erick sempat menembus lawan pertamanya.

Dalam hitungan menit, lantai tavern penuh tubuh dan darah. Tapi Johnson belum bergerak sedikit pun. Ia hanya menonton, senyumnya tak pudar.

 

Johnson Turun Tangan

"Bagus," katanya, suaranya tenang. "Kau lebih kuat daripada yang kukira, James. Darahmu memang berbeda."

Aku terengah, pedang meneteskan darah. "Apa maksudmu?"

Johnson menepuk cincin di jarinya. "Kau akan tahu pada waktunya. Tapi sayang, waktumu mungkin habis malam ini."

Ia akhirnya mengangkat kapak besar yang tersandar di mejanya. Bilahnya hitam, dengan ukiran sama seperti di cincinnya. Saat kapak itu diayunkan ke udara, ada kilatan samar-seperti bayangan api yang muncul lalu hilang.

Aku dan Erick saling pandang. Ini bukan sekadar bandit biasa.

"Bersiaplah," bisik Erick.

Aku mengangguk, genggamanku menguat.

Johnson maju, setiap langkahnya membuat lantai bergetar. Riuh yang tadi memenuhi ruangan mendadak lenyap. Hanya ada kami, nafas berat, dan suara baja yang siap menghancurkan.

Johnson mengayunkan kapak hitamnya. Suaranya menderu saat membelah udara, menghantam meja hingga kayunya terbelah dua. Pecahan melayang, arak tumpah bercampur darah di lantai.

Aku melompat mundur, nyaris tak selamat. Getaran dari tebasannya masih terasa di telapak kakiku. Erick menahan napas, matanya tak lepas dari kapak besar itu.

"Sekarang giliran kalian," ujar Johnson tenang, seolah ini permainan.

Aku maju duluan, menusukkan pedang ke arah dadanya. Tapi dengan mudah ia menangkis, bilah kapaknya menghantam pedangku. Dentumannya membuat lenganku bergetar hebat. Pedangku nyaris terlepas.

Dia jauh lebih kuat dari yang kubayangkan.

Johnson mendorongku mundur dengan sekali hentakan. Aku terhuyung, nyaris jatuh. Erick segera maju, mengayunkan pedangnya ke sisi tubuh Johnson. Tapi kapak itu berputar cepat, menahan serangan. Percikan baja melesat di udara.

"Bagus. Setidaknya kalian tak mati di ayunan pertama," Johnson menyeringai.

 

Pertarungan Memanas

Aku mengatur napas, lalu menyerang dari samping. Erick menekan dari depan. Kami berdua mencoba mengurungnya. Untuk sesaat, berhasil-Erick hampir menusuk bahunya.

Namun Johnson memutar tubuhnya, kapak berayun lebar. Erick terlempar ke meja, menghantam botol kaca hingga pecah. Darah mengalir di pelipisnya.

"Erick!" teriakku.

Johnson mendekat, ayunan kapaknya diarahkan padaku. Aku menunduk, merasakan angin panas lewat di atas kepala. Aku berbalik cepat, menusuk ke arah pinggangnya. Pedangku berhasil menggores kulitnya, darah menetes.

Johnson hanya terkekeh. "Begitu saja?"

 

Titik Balik

Erick berdiri lagi, meski tubuhnya gemetar. "James! Tekan sisi kanan, aku sisi kiri!"

Aku mengangguk. Kami menyerang bersamaan. Johnson menangkis serangan Erick, tapi itu memberi celah bagiku. Aku mengayunkan pedang ke pahanya, menancap dalam. Johnson meraung marah, menendangku hingga terjatuh ke lantai.

Erick memanfaatkan momen itu, menebas bahu Johnson. Luka menganga, tapi tubuh besar itu masih berdiri tegak.

"MENYEBALKAN!" teriak Johnson, kapaknya berayun gila, menghantam dinding dan meja tanpa kendali. Potongan kayu berhamburan, ruangan berguncang.

Aku bangkit, paru-paru terbakar, mata perih karena asap arak dan debu. Aku tahu ini kesempatan terakhir.

 

Penentuan

Johnson melangkah ke arah Erick, kapak terangkat tinggi. Erick kelelahan, tangannya gemetar, tak akan mampu menahan satu ayunan lagi.

"AARRGH!" Aku berlari, semua tenaga kupusatkan. Aku mengangkat pedangku, menusuk sisi tubuh Johnson dari belakang tepat di bawah tulang rusuk.

Johnson terhuyung, raungannya mengguncang ruangan. Erick, dengan sisa tenaga terakhir, mengayunkan pedangnya lurus ke leher Johnson.

Slash!

Darah menyembur. Tubuh besar itu goyah, lalu ambruk menghantam lantai dengan dentuman keras. Kapaknya terlepas, bergetar hingga berhenti.

Sunyi.

Hanya suara napas kami berdua yang tersisa.

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!