Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Lampu-lampu sorot kota Seoul telah lama padam ketika Lee Yujin mematikan lampu meja di ruang kerjanya.
Pukul dua dini hari. Angka pada jam digital di sudut layar laptopnya menyala samar, menjadi saksi bisu betapa malam-malamnya dihabiskan untuk melawan kelelahan demi sebuah impian yang masih terasa jauh.
Rumah itu—rumah dua lantai dengan gaya modern minimalis yang terletak di lingkungan Seochogu yang tenang seharusnya terasa hangat, sebuah benteng perlindungan keluarga. Namun, bagi Yujin, rumah itu tak lebih dari sebuah galeri kenangan yang diselimuti kesunyian.
Ia berjalan pelan menapaki tangga kayu menuju kamarnya di lantai atas. Setiap langkah kakinya yang pelan terasa berlipat ganda, memecah keheningan absolut yang menguasai ruangan. Yujin adalah satu-satunya penghuni rumah ini sejak hampir dua tahun yang lalu.
Ayahnya, Lee Daehyun, telah tiada di akhir masa SMA-nya, meninggalkan lubang menganga yang tak akan pernah bisa diisi. Beberapa bulan setelah kepergian Ayah, Ibunya, Na Irene, wanita kuat yang kini menjadi pewaris bisnis sang suami, memutuskan untuk memindahkan operasional perusahaan ke Australia.
Yujin ingat percakapan terakhir mereka, di hari kepergian Ibu.
"𝘔𝘢𝘮𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪, 𝘚𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨. 𝘗𝘦𝘳𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢𝘢𝘯 𝘈𝘺𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘔𝘢𝘮𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘴𝘢𝘯𝘢. 𝘛𝘢𝘱𝘪, 𝘠𝘶𝘫𝘪𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘵𝘢. 𝘔𝘢𝘮𝘢 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘠𝘶𝘫𝘪𝘯. 𝘈𝘨𝘢𝘳 𝘠𝘶𝘫𝘪𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘵𝘶."
Yujin muda hanya mengangguk, senyum tipis terukir di wajahnya yang saat itu masih diselimuti duka mendalam. Ia adalah gadis yang terlalu baik, terlalu peramah, dan terlalu tidak tegaan untuk menyuarakan rasa kesepiannya pada sang Ibu yang tampak sama tertekannya.
Kini, setiap sudut rumah memancarkan memori yang pahit. Ruang tamu dengan sofa beludru tempat Ayah biasa membaca koran, dapur yang selalu ramai dengan aroma masakan Ibu, dan terutama, kamar tidur utamanya. Kamar itu dibiarkan Yujin utuh, seolah waktu berhenti pada hari kepergian Ibunya. Yujin tidak pernah menyentuhnya; ia memilih kamar tamu kecil di ujung lorong sebagai wilayahnya, kamar yang lebih mudah ia kuasai dan lebih mudah ia hadapi.
Sesampainya di kamar, Yujin menjatuhkan tubuhnya di tepi ranjang. Ia meraih ponselnya, bukan untuk menghubungi siapa pun, melainkan hanya untuk melihat layarnya yang gelap, memastikan koneksi dengan dunia luar masih ada.
Yujin Lee. Usia awal dua puluhan, mahasiswi semester lima Jurusan Desain Mode di salah satu universitas bergengsi di Korea Selatan. Secara fisik, ia adalah gambaran gadis Korea yang manis: wajah lembut, mata teduh, dan pembawaan yang tenang.
Namun, di balik citra pendiamnya, tersembunyi tekad baja. Ia harus lulus tepat waktu dan sukses, demi Ayah yang ingin melihatnya menjadi desainer besar, dan demi Ibu, agar Ibu bisa tenang di Australia tanpa harus mencemaskan dirinya.
Ia membuka ranselnya, mengeluarkan gulungan kertas desain dan buku sketsa yang penuh coretan pensil. Tugas-tugas kuliah Desain Mode sedang berada di puncaknya; konsep peragaan busana musim dingin harus diserahkan minggu depan, dan tiga lembar mood board yang berbeda harus ia selesaikan sebelum matahari terbit.
Kepalanya berdenyut, bukan hanya karena tugas kuliah.
Di sudut meja, tergeletak setumpuk tagihan listrik dan air yang harus ia urus. Meskipun Ibunya mengirimkan uang bulanan yang lebih dari cukup, Yujin selalu merasa tidak nyaman menggunakan uang itu hanya untuk kesenangannya sendiri.
"Aku harus mandiri," bisiknya pada keheningan kamarnya, sebuah mantra yang selalu ia ulang setiap kali rasa sepi menyerang.
Ia memutuskan untuk mengecek kalender. Ada janji bertemu dengan Kim Taehyung besok sore, ia adalah dosen sekaligus asisten dosen di jurusannya. Taehyung juga memiliki butik independen yang cukup populer.
Yujin bekerja sampingan sebagai asisten non-formal Taehyung. Ia tidak mengajar atau memeriksa tugas; Yujin adalah tangan kanan Taehyung dalam merancang ide dan pola desain untuk butik. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk mempraktikkan ilmu desain, sekaligus menghasilkan uang saku tambahan dari hasil keringatnya sendiri.
Yujin membuka laptopnya lagi, mencoba menyalakan kembali semangat yang mulai redup. Ia menatap layar, di mana tersusun rapi beberapa file yang bertuliskan:
* 'SKETSA FINAL KULIAH'
* 'BILLING BUTIK TAEHYUNG (PEKERJAAN)'
Ia menghela napas panjang. Beban ganda ini sering membuatnya merasa tercekik. Kadang, ia merasa kesal pada Taehyung yang tampaknya tidak pernah kehabisan ide, dan selalu memanggilnya untuk pekerjaan butik tepat di saat tugas kuliahnya sedang kritis.
Namun, Yujin tidak pernah bisa menolaknya. Ia tidak tegaan. Melihat antusiasme Taehyung yang penuh gairah pada desain selalu meluluhkan keputusannya.
"Tidak apa-apa, Yujin. Kau pasti bisa. Sedikit lagi," ia menyemangati dirinya sendiri, lantas mengambil pensil mekanik.
Jari-jarinya mulai menari di atas kertas kalkir, garis-garis tegas yang semula kabur kini mulai membentuk siluet gaun haute couture yang anggun. Selama proses ini, sejenak ia melupakan kesepian rumah dan beban di pundaknya. Desain adalah pelariannya, satu-satunya tempat di mana ia bisa memegang kendali penuh.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.
Sebuah notifikasi chat muncul di ponselnya yang tergeletak di samping laptop. Nama Han Jiya muncul di layar. Yujin segera meraihnya.
Jiya: Yujin-ah, apa kau sedang sibuk? Lino Oppa barusan mengirimiku foto desain gaun yang bagus sekali, katanya kau yang membuat sketsanya untuk butik Taehyung Ssaem. Kau memang hebat!
Yujin membaca pesan itu dengan senyum kecil, namun senyum itu segera luntur digantikan kerutan di dahi. Lino? Lee Lino, mahasiswa Hukum di tingkat atas, kekasih Jiya.
Yujin membalas pesan Jiya singkat, mengiyakan tentang sketsa itu, namun perasaannya tidak nyaman. Kenapa Lino bisa memiliki foto sketsa desain butik? Sketsa itu seharusnya hanya ada di Butik Taehyung.
Ia ingat beberapa kali Lino dengan alasan yang dibuat-buat datang ke kampus, berpura-pura bertemu Jiya, tetapi ujung-ujungnya selalu mencari dirinya, mengajaknya bicara, atau sekadar menanyakan hal-hal yang tidak penting.
Yujin tahu Lino sudah memiliki Jiya, sahabatnya. Tapi Yujin juga tidak bodoh. Ada intensitas aneh, tatapan tajam, dan perhatian berlebihan dari Lino yang sering kali membuatnya merinding.
𝘓𝘪𝘯𝘰 𝘓𝘦𝘦, 𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘦𝘴, batin Yujin tajam.
Ia berusaha mengusir pikiran itu. Ia kembali fokus pada tugas kuliahnya, mengabaikan kecurigaan bahwa Lino mungkin mulai mengarahkan obsesi tak sehat padanya.
Ia harus melindungi Jiya, sahabat yang tulus mencintainya dan yang tulus ia sayangi.
𝘛𝘰𝘬 𝘵𝘰𝘬.
Suara itu mengejutkan Yujin hingga ia hampir menjatuhkan pensilnya. Siapa yang mengetuk? Di jam dua pagi? Di rumahnya yang terisolasi dan sunyi ini?
Jantung Yujin berdebar kencang. Ia turun dari ranjang dan berjalan perlahan menuju jendela, mengintip melalui celah tirai.
Di gerbang utama rumahnya, di bawah cahaya lampu jalan yang remang-remang, berdiri sosok tinggi. Sosok itu terlihat menawan bahkan dari kejauhan.
Christopher.
Yujin menghela napas lega, rasa takutnya lenyap digantikan kehangatan yang instan. Christopher, kakak tiri Lino, selalu datang seperti malaikat pelindung saat ia sendirian.
Christopher tidak mengetuk pintu utama, melainkan jendela di samping rumah, yang menghubungkan langsung ke halaman kecil.
Yujin buru-buru turun. Ia membuka kunci pintu samping dan Christopher segera melangkah masuk, memancarkan aura dingin dari udara malam di luar.
“Kau masih belum tidur?” tanya Christopher lembut, nadanya khawatir. “Aku melihat lampu di lantai atas masih menyala. Aku mampir setelah menjemput Ayah di rumah sakit. Ada sesuatu yang ingin kuberi—"
"Tidak," potong Yujin cepat, matanya menatap tajam ke belakang Christopher. "Kau gila, Oppa? Ini jam dua pagi! Bagaimana jika Lino melihatmu?"
Christopher tersenyum tipis, senyum yang menunjukkan ia sudah terbiasa dengan kepanikan Yujin. “Lino tidak akan bangun dari tidurnya hanya karenaku. Dia terlalu sibuk menjadi anak baik di depan Ayah.” Christopher merendahkan suaranya, menyinggung hubungan tegang mereka.
“Tapi tetap saja—”
“Dengarkan aku, Yujin,” Christopher menyentuh bahu Yujin, sentuhan yang menenangkan. “Aku tahu kau sedang dikejar tenggat waktu. Aku membawakan latte kesukaanmu dan sandwich keju. Kau harus makan, ya."
Yujin merasa kehangatan Christopher menembus hatinya. Kepedulian sederhana ini adalah satu-satunya pelabuhan nyaman di tengah badai kesepiannya.
“Terima kasih, Oppa,” Yujin tersenyum tulus. Senyumnya selalu menenangkan Christopher, senyum yang jarang ia tunjukkan pada orang lain. “Kau selalu yang terdepan jika aku butuh sesuatu.”
Christopher hanya tersenyum samar, tidak ingin mengakui bahwa ia sering mengawasi rumah itu dari jauh, hanya untuk memastikan Yujin baik-baik saja.
“Jangan terlalu memikirkan Lino. Fokuslah pada tugasmu. Kau harus menjaga kesehatanmu,” ujar Christopher sambil menyerahkan kantong kertas berisi makanan.
Yujin mengangguk. Ia merasakan perasaannya pada Christopher adalah perasaan tulus seorang adik pada kakak yang sangat ia hormati. Christopher adalah sosok yang tidak ia miliki lagi sejak Ayahnya meninggal.
Setelah memastikan Yujin makan, Christopher berpamitan, melangkah kembali ke kegelapan malam.
Yujin kembali ke kamarnya, kini ditemani aroma kopi hangat dan kehangatan yang dibawa Christopher. Ia membuka laptop, menatap lagi file-file di layar.
Ia memiliki Christopher sebagai sandaran yang nyaman. Ia memiliki Taehyung sebagai partner profesional. Ia memiliki Jiya sebagai sahabat. Tapi di sudut lain, ia memiliki Lino, yang perlahan mulai menarik benang-benang takdirnya ke dalam jaring obsesi yang gelap.
Yujin menarik napas dalam.
𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘳𝘢𝘩. 𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪. 𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘪𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘱𝘪𝘢𝘯 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘢𝘬𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘶𝘢𝘴𝘢𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘬𝘶.
Dengan tekad yang diperbarui, ia kembali menunduk ke meja kerjanya. Papan sketsa di bawah cahaya lampu meja kini menjadi satu-satunya medan perang Yujin.
Ia belum tahu, bahwa malam-malam sepi yang ia habiskan untuk bekerja keras justru membuat celah bagi mata obsesif yang mengintai dari kejauhan, menunggu saat yang tepat untuk merenggut semua kehidupannya yang rapuh.
.
.
.
.
.
.
.
— Bersambung —