Ketika Li Yun terbangun, ia mendapati dirinya berada di dunia kultivator timur — dunia penuh dewa, iblis, dan kekuatan tak terbayangkan.
Sayangnya, tidak seperti para tokoh transmigrasi lain, ia tidak memiliki sistem, tidak bisa berkultivasi, dan tidak punya akar spiritual.
Di dunia yang memuja kekuatan, ia hanyalah sampah tanpa masa depan.
Namun tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya, setiap goresan kuas, dan setiap masakannya…
menggetarkan langit, menundukkan para dewa, dan mengguncang seluruh alam semesta.
Dia berpikir dirinya lemah—
padahal seluruh dunia bergetar hanya karena napasnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
'Hari-hari berlalu tanpa terasa.
Sudah hampir sebulan sejak aku—Li Yun—terlempar ke dunia kultivasi ini.'
Awalnya, aku mengira akan seperti novel transmigrasi yang biasa kubaca:
dapat sistem, punya guru misterius, lalu membantai naga hanya dengan jentikan jari.
Nyatanya?
Aku bahkan tidak punya akar spiritual.
Tak bisa menyerap qi, apalagi menyalurkan mana.
Secara teknis, aku hanyalah… sampah dunia kultivasi.
Namun anehnya, aku merasa hidupku sekarang lebih tenang dari sebelumnya.
Setiap pagi Li Yun bangun saat matahari baru muncul di balik pegunungan timur.
Udara pagi sangat segar, seperti baru saja dicuci oleh embun dan cahaya mentari.
Li Yun menatap sebidang tanah kosong di halaman yang dulu tandus, kini dipenuhi hijau tanaman.
Di sana tumbuh pohon persik, apel, timun, tomat, bawang, dan entah apa lagi yang dia pelihara.
Sekarang tanah itu bukan lagi sekadar halaman mati, tapi taman kehidupan kecil yang Li Yun buat dengan tangan nya sendiri.
Li Yun menuangkan air dari kendi tanah liat, membasahi daun-daun muda yang berkilau di bawah sinar matahari.
“Siapa sangka ya,” gumam Li Yun sambil tersenyum kecil.
“Kalian pasti penasaran dari mana semua benih ini berasal…”
Li Yun tertawa kecil sendiri. “Aku juga nggak tahu, jujur saja.”
Sebenarnya Li Yun menemukannya di gudang tua di samping bangunan utama rumah ini.
Satu kotak besar berisi benih berbagai jenis sayur dan buah.
Sebagian sudah busuk, sebagian lagi masih bisa tumbuh.
Li Yun tidak terlalu memikirkan dari mana asalnya. Yang penting… mereka hidup.
Li Yun berjalan menuju pohon besar di sudut halaman, tampak rindang seperti beringin tua.
Daunnya bergemerisik ditiup angin lembut.
“Terlebih kamu, pohon aneh,” ujar Li Yun pelan sambil menepuk batangnya.
“Kau tumbuh terlalu cepat. Dalam satu minggu sudah sebesar ini…”
Li Yun sempat curiga. Tapi kemudian dia ingat,
ini dunia kultivasi.
Tanaman tumbuh semalam jadi hutan pun mungkin hal biasa.
Jadi dia biarkan saja.
Sekarang rumah Li Yun tak lagi sunyi.
Ada meja dan kursi taman dari kayu yang dia buat sendiri.
Di atasnya terletak papan catur igo yang selalu menemani nya di sore hari.
Di dekat tembok pagar, berdiri beberapa patung kayu hasil pahatan Li Yun—
beberapa berbentuk Buddha, beberapa menyerupai kultivator gagah.
“Kalau aku tak bisa jadi kultivator, setidaknya aku bisa memahat mereka,” candai Li Yun sambil menepuk salah satu patung.
Selain itu, ada tujuh lukisan pemandangan menggantung di dinding teras —
hutan, gunung, langit senja — semuanya hasil tangan Li Yun sendiri.
Li Yun memandang sekeliling dengan perasaan puas.
“Untung saja di kehidupan sebelumnya aku agak nolep,” ujar Li Yun pada udara.
“Tapi bukan untuk hal negatif, ya anak-anak. Aku lebih sering mengurung diri untuk belajar hal-hal seperti ini.”
Sebuah senyum getir muncul di wajah nya.
“Memahat, melukis, menulis novel… ya, meski nggak ada yang laku juga.”
Satu tetes air mata menetes tanpa dia sadari.
'Rasanya aneh — di dunia ini aku hidup lebih damai, tapi luka-luka dari dunia lama masih menempel.
Namun setidaknya, sekarang aku bisa hidup dengan hasil tanganku sendiri.'
Tidak ada internet, tidak ada notifikasi, tidak ada komentar pedas.
Hanya Li Yun, udara, dan suara alam.
Li Yun berjalan ke meja di sisi taman, tempat sebuah sitar tua tergeletak.
Li Yun memetik senarnya perlahan.
Nada lembut mengalun, seperti sungai yang menari di bawah sinar bulan.
Suara itu menenangkan, tapi juga… aneh.
Saat Li Yun bermain semakin dalam, udara di sekitar terasa hidup.
Angin berhenti berhembus sejenak.
Daun-daun tanaman bergetar pelan.
Dan… pohon beringin itu —
rantingnya bergoyang, daunnya berdesir mengikuti irama.
Buah persik di pohon tampak berkilau, tomat-tomat mengembang merah cerah,
dan tanaman di seluruh halaman seperti tumbuh beberapa sentimeter dalam sekejap.
Bahkan udara jadi harum, segar seperti habis hujan.
Li Yun berhenti bermain dan mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum.
“Seperti yang kalian lihat,” katanya pada langit, “aku juga sudah jago main sitar. Sudah cocok jadi protagonis…”
Senyum Li Yun menipis.
“…jika saja aku bisa berkultivasi.”
Li Yun menarik napas panjang.
“Tapi tak apa. Bertani, memahat, melukis… ini juga seni yang indah. Hidupku seperti Stardew Valley versi dunia kultivasi.”
"Ha.. sepertinya penyakit nolep ku kambuh, aku udah gila kali ya ngomong ngomong sendiri, jawab jawab sendiri, aneh bet dah, efek kelamaan ga nyentuh rumput kayaknya."
Li Yun tertawa kecil sendiri, lalu mengambil sepotong roti gandum dan berjalan ke kolam kecil di tengah halaman.
Li Yun mematahkan roti itu, melemparkannya sedikit demi sedikit.
Tak lama, seekor ikan koi raksasa muncul dari bawah air.
Sisiknya berkilau merah keemasan, matanya lembut menatapku.
“Kau lapar, ya?” ucap nya sambil tersenyum hangat.
Koi itu mengibaskan ekornya lembut, membuat riak kecil di permukaan air.
Li Yun menatap langit biru di atas sana.
“Low living seperti ini… tidak buruk juga.”
Setelah memberi makan koi, Li Yun menuju bangunan samping, yang kini menjadi Workshop dan studio kecilnya.
Di dalamnya, aroma kayu baru tercium.
Ratusan figure kayu berjajar di rak —
ada yang menyerupai Ultraman, Power Ranger, hingga karakter komik.
Ada juga tumpukan buku catatan dengan berbagai judul — hasil tulisannya sendiri.
Li Yun mengambil beberapa buku dan figure, memasukkannya ke dalam tas punggung.
“Baiklah,” gumam nya. “Waktunya ke Kota Qinghe. Semoga hari ini buku atau figure ku laku satu dua juga mayan.”
Li Yun menepuk debu di bajunya, lalu berjalan keluar.
Gerbang kayu rumah nya berderit pelan saat ditutup.
Langit cerah, burung-burung beterbangan di kejauhan.
Kota Qinghe terletak sekitar tiga puluh menit berjalan kaki dari sini, melewati jalan setapak yang dikelilingi hutan kecil.
Sambil berjalan, Li Yun tersenyum tipis.
“Berbeda sekali dengan dunia lamaku. Di sini, orang-orang bahkan menghargai kerajinanku.”
Li Yun teringat senyum ramah para warga kota, dan pemilik toko alat musik yang memuji permainan sitarnya minggu lalu.
“Meski aku tak punya akar spiritual, mereka tak membeda-bedakan. Dunia ini… terasa lebih manusiawi.”
"Ya meski awalnya aku malu dan tidak percaya diri..tpi untungnya mereka menerima ku dengan tangan terbuka, tidak seperti di dunia lamaku, penuh dengan penindasan dan diskriminasi.."
Angin berhembus lembut, membawa aroma bunga liar.
Li Yun melangkah ringan, tanpa tahu — di belakangnya, hal yang tak bisa dijelaskan mulai terjadi.
Begitu Li Yun benar-benar pergi dari halaman rumahnya, suasana mendadak berubah.
Pohon beringin besar di sudut halaman mulai bergoyang perlahan, meski tak ada angin sama sekali.
Daun-daunnya berdesir, menghasilkan suara lirih seperti bisikan.
Di bawah pohon, tanah bergetar lembut.
Akar-akar menembus lebih dalam, seolah mencari sesuatu di bawah bumi.
Sementara itu, di kolam kecil, ikan koi raksasa yang tadi diberi makan tampak gelisah.
Air di sekitarnya berputar tanpa sebab, membentuk pusaran kecil.
Koi itu menatap pohon beringin dengan mata lebar — seperti melihat sesuatu yang tak seharusnya ada.
Ia menggoyang-goyangkan ekornya gugup.
Daun pohon bergemerisik makin kencang.
Lalu perlahan, suara rendah bergema dari dalam batangnya —
bukan suara manusia, melainkan seperti getaran spiritual kuno.
Suara itu seperti gumaman dewa tertidur, bergema di antara ranting-ranting,
membuat udara di sekitar berubah berat, pekat, dan penuh tekanan tak kasat mata.
Rerumputan di bawah pohon mulai bercahaya samar, seolah menyerap energi dari tanah.
Burung-burung yang melintas di atas halaman tiba-tiba berputar arah dan menjauh,
sementara koi di kolam menyelam lebih dalam di kolam, tubuhnya bergetar hebat.
Seberkas cahaya hijau lembut keluar dari dalam batang beringin,
berputar naik ke langit, membentuk lingkaran qi yang indah tapi mengerikan.
Suara alam mendadak senyap.
Udara menjadi hening sepenuhnya, hanya ada desiran energi yang menari seperti napas dewa.
Jika ada kultivator kuat di sekitar sana, mereka pasti akan terkejut —
karena tekanan spiritual yang muncul dari halaman kecil itu bahkan lebih tinggi dari alam transendent.
Namun, tak ada yang menyadari apa pun.
Hanya pohon, ikan, dan kesunyian yang menyaksikan keajaiban itu.
Di sekeliling pohon beringin itu berputar lambang-lambang kuno,
seperti mantra langit yang hanya bisa dilihat oleh makhluk tingkat dewa.
Namun bayangan itu perlahan memudar…
dan pohon kembali tenang, seperti tidak terjadi apa-apa.
Daun kembali bergoyang pelan.
Air di kolam menjadi jernih lagi.
Koi itu berenang hati-hati, tapi matanya masih menyimpan ketakutan.
Di jalan menuju Qinghe, Li Yun bersiul pelan, sama sekali tidak tahu apa yang baru saja terjadi di rumahnya.
Ia hanya berjalan santai, menikmati pemandangan.
Dalam hatinya, ia merasa tenang, seolah seluruh alam menyambut langkahnya.
Burung-burung berkicau setiap kali ia lewat,
bunga liar bermekaran di sisi jalan, dan angin membawa wangi lembut yang menenangkan.
“Dunia ini memang indah…” gumamnya. “Sayang aku cuma penonton.”
Namun, di balik senyum polosnya, langit perlahan berubah warna,
dan jauh di atas sana, di alam para dewa,
beberapa eksistensi agung yang bermeditasi tiba-tiba membuka mata mereka bersamaan.
Salah satu dari mereka bergumam pelan:
“Ada… resonansi energi kuno di Alam Bawah?”
“Tidak mungkin… itu gelombang dari Dao Asal…”
“Siapa yang berani membangunkan kekuatan seperti itu di dunia bawah?”