"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2 Pertemuan
Rosmala menepati ucapannya. Ia memberikan uang yang Maira minta, sehingga ibu Maira bisa segera ditangani dengan cepat. Seharian ini Maira dan Syafa menunggu di depan ruang operasi. Durasi operasi yang lama membuat keduanya menunggu dengan harap-harap cemas. Sesekali mereka saling berpelukan untuk menguatkan satu sama lain.
Doa dan dzikir tak pernah putus dari bibir Maira juga Syafa. Berharap operasi ibunya lancar dan ibunya bisa kembali sehat seperti sedia kala.
Hampir tiga jam ibunya berada di dalam ruangan dingin bersama tim medis. Begitu melihat dokter keluar baik Maira maupun Syafa langsung berdiri. Tak sabar mendengar kabar tentang ibu mereka.
"Bagaimana ibu saya, Dok?" tanya Maira dan Syafa berbarengan.
"Operasinya lancar. Nanti kita pantau terus selama masa pemulihan," jawab dokter.
Membuat keduanya menarik napas lega. Semoga ini awal untuk kesehatan ibunya.
Maira dan Syafa masih menunggu di depan ruang operasi sampai ibunya boleh dipindahkan ke ruang perawatan.
Hari sudah gelap saat ibunya dipindahkan ke ruang perawatan. Dengan biaya dari Ibu Rosmala, ibunya Maira bisa mendapatkan perawatan di kamar kelas 1. Semua atas usul Ibu Rosmala sendiri.
Jam tujuh sebuah pesan dari Ibu Rosmala masuk. Mengingatkan Maira akan pertemuannya dengan sang anak.
Tak ada persiapan istimewa, Maira hanya mandi dan berganti baju di rumah sakit. Gamis warna peach ia pakai untuk pertemuan malam ini.
"Dek, aku pergi sebentar, ya. Tolong jaga Ibu."
"Mbak Maira mau ke mana?"
"Ada urusan sebentar," jawab Maira. Ia belum jujur sepenuhnya tentang uang yang ia dapat kemarin. Maira hanya bilang dikasih pinjam sama bosnya. Pikirnya nanti saja kalau semua memang sudah benar-benar fix. Sebab Maira sendiri tak yakin kalau Arka—putra bosnya itu bisa menerima perjodohan ini. Mengingat siapa Maira—yang hanya seorang karyawan biasa. Tentu tidak sepadan dengan Arka.
"Jangan lama-lama, ya, Mbak."
Maira mengangguk. "Mbak pergi, ya."
"Hati-hati, Mbak."
Maira sudah memesan taksi untuk mengantarnya ke restoran yang sudah disiapkan oleh Bu Rosmala.. Bosnya itu sudah mengatur semuanya. Sebuah restoran yang menyajikan menu western dipilih untuk pertemuan pertama putranya.
Ah, sebenarnya ini bukan pertemuan pertama, sebab Maira pernah bertemu Arka beberapa kali saat pria itu berkunjung ke kantor mencari ibunya. Tetapi hanya sekadar bertemu tanpa tatap muka dan bicara. Mungkin Arka tak akan ingat siapa Maira.
Begitu sampai di restoran sebuah pesan masuk ke ponsel Maira.
Bu Rosmala. [Kamu sudah sampai?]
[Sudah, Bu.] Dengan cepat Maira mengirim balasan.
[Kamu langsung masuk saja, Arka sudah menunggu di sana.]
[Baik, Bu.]
Maira memasukkan ponselnya ke dalam tas tangan warna putih yang ia bawa. Ia menarik napas dalam. Meyakinkan diri bahwa ini adalah jalan yang sudah ia pilih.
Kemarin saat ia menerima tawaran dari Bu Rosmala, bosnya itu sudah bercerita tentang Arka yang patah hati sejak istrinya meninggal saat melahirkan. Tak ada lagi gairah hidup dalam diri pria itu. Arka menjalani aktifitas hariannya seperti robot yang sudah diprogram. Kerja, pulang dan kerja lagi. Seperti itu hari-hari Arka. Tidak ada senyum apa lagi tawa.
Hal itu membuat Rosmala sebagai seorang ibu merasa khawatir. Terlebih ada anak yang seharusnya Arka perhatikan, tapi Arka sama sekali tak mau menyentuh bayinya. Ia benar-benar kehilangan semangat hidup. Sebab itulah terbetik niat di hati Rosmala agar putranya itu memulai lagi hidup baru. Memiliki istri dan menemukan gairah cinta yang baru.
Saat pikiran itu ada, Maira datang seolah menjadi jawaban. Karyawannya ini sudah cukup ia kenal. Jujur dan nggak neko-neko. Itu yang membuat Rosmala berpikir untuk menjodohkan Arka dengan Maira.
"Selamat malam, Pak Arka," sapa Maira saat sudah sampai di meja Arka.
Arka yang sejak tadi fokus pada layar ponselnya, mendongak demi melihat kedatangan Maira.
"Maaf jika saya terlambat, saya harus mengurus ibu saya yang sedang dirawat di rumah sakit."
Arka tak menanggapi, ia hanya memberi isyarat lewat tangan agar Maira duduk. Selebihnya Arka kembali sibuk dengan ponselnya.
Ia duduk tepat di depan Arka. Meyakinkan diri semua akan baik-baik saja, meski ia punya firasat sebaliknya. Sikap tak acuh Arka menjadi pemicunya.
Tak lama pelayan datang membawa buku menu. Maira membukanya tapi ia menunggu Arka memesan. Ia tak mau lancang.
Sayangnya, Arka tak manawari Maira apa pun. Sampai pelayan menanyakan apa yang akan Maira pesan.
"Samakan saja dengan Pak Arka."
Sepanjang menunggu makanan datang, baik Maira maupun Arka sama-sama terdiam. Tak ada dialog antara keduanya, yang ada hanya hening panjang,
Bahkan sampai makanan datang, Arka tetap diam. Pria itu makan tanpa mengajak Maira. Sedang Maira sendiri tak berani mengambil inisiatif. Ia memang pemalu, terlebih pada pria yang statusnya jauh di atasnya.
"Aku sudah selesai, dan aku akan pulang." Arka berdiri. Meninggalkan Maira yang makanannya bahkan belum habis setengah.
Maira hanya bisa menatap Arka tak percaya. Sedingin itukah Arka. Jangankan bicara, menatap pun enggan. Dan sekarang pria itu pergi begitu saja mengabaikannya.
"Ya Allah ...." Maira mengembuskan napas kasar.
Rasanya akan sangat berat ke depannya. Arka seperti menutup semua akses bagi wanita baru untuk hadir dalam hidupnya. Pria itu benar-benar sudah patah hati.
Maira semakin merasa putus asa, bahkan sebelum ia memulai semuanya. Namun, ia tak punya pilihan untuk mundur. Ia sudah sepakat kemarin, dan uang yang diberikan oleh Bu Rosmala sudah ia gunakan.
Apa pun masalah ke depan, ia sudah harus siap menanggungnya. Meski dalam hati ia merasa takut dan ragu.
"Ya Allah, kuatkan aku."