Erik koma selama 3 Minggu, setelah jatuh & terjun bebas dari atas ketinggian pohon kelapa, namun selama itu pula badannya hidup & berinteraksi dengan keluarga maupun orang-orang di sekelilingnya, lalu siapa yang mengendalikan dirinya jika jiwanya sedang tak bersama raganya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosy_Lea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nggak kenapa-napa
pagi itu setelah anakku sarapan, langsung aku titipin ke ibu mertua. Hari ini dia sekolah bareng bibinya. Iya, Pak Su kan anak pertama, jadi dia masih punya adik yang umurnya nggak jauh beda sama anak kami. Lucu sih, kadang kayak temenan, kadang kayak kakak-adik, tapi lebih seringnya jadi partner berantem.
Ibu mertuaku berangkat nganter anak-anak sekolah, giliran aku yang turun jadi staf cleaning service dadakan.
Rumah sendiri tetap jadi prioritas dong, yang nomor wan! Habis beresin sini, lanjut nyapu-nyapu dan ngelap debu di rumah mama mertua yang cuma beda satu tembok doang sama rumahku.
Serasa freelance, kerja dua rumah tapi gaji tetep cinta dan pahala!
Berhubung pak su tercinta belum pulang dari semalam, jadilah kesibukanku hari ini agak beda dari biasanya.
Rasanya kayak jadi single fighter sehari, dari urus anak, urus bebek, urus rumah, sampe jadi satpam hati sendiri yang nunggu kabar suami, full paket!
Jadi ceritanya setelah dua rumah beres, bersih, and kinclong, aku ambil sisa katul yang masih nyangkut di kresek belakang rumah, buat bikinin sarapan spesial asuhan kami, si bebek gemoy. terus aku rebus katul atau dedek itu pakai air mendidih.
Nah, biar buburnya nggak biasa-biasa aja, aku campurin deh eceng gondok seadanya, hasil kreasi dadakan ala tukang masak seadanya!
Jadilah sarapan super istimewa yang penuh cinta dan bumbu kasih sayang buat para bebek gemoy yang aku rawat dengan penuh perhatian. Makanannya sederhana, tapi dijamin bikin bebek-bebek itu happy dan makin gemoy!
Aku keluar dari dapur sambil menenteng kuali berisi bubur bekatul plus eceng gondok yang masih mengepul panas.
Begitu para bebek montok lihat aku datang, mereka langsung pada lari menghampiri. “Ayo, baris yang rapi, cepat!” seruku penuh semangat.
Tapi ya, namanya bebek, serapih-rapihnya mereka, tetep aja pada serobot duluan.
“woooy.. Sabaaar, sabaaar, ini masih panas nih!” aku melarang sambil nahan tawa.
Aku segera membentang papan panjang yang biasa jadi alas makan berjamaah mereka, terus tuang bubur bekatul itu memanjang di atas papan biar mereka bisa makan sambil berjejer rapi tanpa saling berdesakan.
Selesai dengan tugasku, aku cuma duduk santai, gantung kaki dan lihat para asuhanku lagi lahap sarapan. Sambil nunggu suamiku yang tiba-tiba jadi Bang Toyib, entah kapan bakal nongol pulang ke rumah.
Biasanya, setelah sholat Subuh, aku dan Pak Su berdua keluar rumah sambil bawa kresek dan arit. Kami masuk ke kebun-kebun belakang desa untuk mengumpulkan melinjo yang jatuh semalam.
Kebun itu memang milik warga, tapi mereka biasanya membolehkan siapa saja memungut buah melinjo yang sudah jatuh. Mereka hanya memanen yang masih menempel di pohon.
Alhamdulillah, itu mungkin rezeki kami, para pejuang nafkah yang cuma punya tenaga. Kami berlomba-lomba mengumpulkan melinjo bersama, dan tak jarang di kebun-kebun itu kami bertemu dengan mereka yang mungkin sama-sama sedang berjuang seperti kami.
Setelah matahari terbit dan langit mulai terang, kami pun pulang untuk menyiapkan sarapan si little star. Biasanya, jam segini aku dan suamiku sudah siap berangkat lagi, kali ini tujuannya ke hutan.
Bawa karung, golok, atau arit, kami cari apa saja di sana, entah buat ditukar uang atau sekadar dimakan. Tapi kalau aku sendirian? No way! Ogah. Mana berani masuk hutan, bisa-bisa malah dikejar anjing liar atau babi hutan. Aku sih bayanginnya udah merinding duluan, takut!
Alhasil aku cuma ongkang-ongkang kaki, nunggu sesuatu yang nggak jelas. Huh, nyebelin banget, ya!
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam rumah,
"Yuuu, ayuuu!"
Aku langsung lompat dari tempat duduk, panik, lalu nyelonong masuk rumah kayak orang kesasar.
"Ehh, Mbeeb.. udah balik?" sapaku sambil nyengir kuda.
"Iya, mau salin baju," jawabnya sambil lepas kaos.
"Habis ini mau ke villa lagi, disuruh naik pohon kelapa ambilin kelapa muda buat tamu," lanjut suamiku, lengkap dengan narasi panjang kali lebar, kayak laporan magang.
"Ooo," cuma itu yang bisa kuucap, bingung harus komen apa.
"Mbeeb, udah sarapan belum? Ini ada sisa nasi kotak," tawarku, rada khawatir.
"Leo udah sarapan belum?" dia malah nanya balik. Ya beginilah kasih sayang seorang ayah. Pasti yang di khawatiran anaknya duluan.
"Udah," jawabku singkat.
"Ooh, aku udah ngopi tadi di villa, sama gemblong. Kamu makan aja tuh nasinya," katanya santai, kayak nggak merasa berdosa semalaman ninggalin anak bini dalam kepungan musuh paling ganas sejagat raya.
Setelah selesai ganti koko dengan kaos, si dia pamit pergi lagi. Katanya mau lanjut bertualang, eh maksudnya kerja bantu-bantu di villa.
Aku? Ya balik lagi duduk bengong. Mau ngapain coba? Semua kerjaan rumah udah kelar, bebek juga udah sarapan, anak udah sekolah.
Mau nongkrong rumpi sama emak-emak tetangga? Duh, bukan bidang ku. Bisa-bisa malah jadi bahan rumpian, bukan ikut nimbrung. Jadinya ya duduk sendiri, meratapi hidup ala sinetron jam lima sore.
Detik demi detik berjalan pelan, berubah jadi menit. Belum juga satu jam Pak Su tercinta melangkah pergi, tiba-tiba suara langkah terdengar dari depan. Bapak mertua datang.
"Ayuu, Ayuuu!"
"Iya, Pak?"
"Sarung mana, sarung?"
"Sarung? Buat apa, Pak?"
"Sarung Erik mana?"
Aku buru-buru ambil sarung yang semalam Erik pakai, menyerahkannya sambil masih bingung.
"Buat apa, Pak?"
"Buat Erik... dia jatuh dari pohon kelapa."
"Apaaa?? Jatuh dari pohon kelapa??"
Aku sontak tersentak, tubuhku seperti disambar petir.
"Iya, iya... tapi nggak papa, nggak kenapa-kenapa kok," jawab bapak mertua.
Tapi telingaku sudah berdenging, mataku memanas. Duniaku rasanya langsung berputar seribu keliling. Yang barusan pamit, sekarang jatuh dari pohon? Ya Allah...
Dan melihat ekspresi bapak mertuaku yang... yah, flat-flat aja, biasa kayak abis liat ayam nyebrang jalan, sumpah ya, rasanya aku kayak lagi nyasar di dunia game level tersulit!
Kalau nggak inget dosa, ya Allah, boleh nggak sih... gibahin mertua sendiri? Sekali aja? Hadeeeh...
Sebenarnya suamiku itu anak kandungnya bukan sih?? Darah dagingnya beneran bukan?? Kok adem bener reaksinya?
Lha aku ini yang beda darah, beda daging, beda tanah penciptaan malah.. jantung rasanya udah loncat sampe tenggorokan.
Baru juga tadi dia berdiri, senyum, ganti baju... sekarang katanya jatuh dari pohon kelapa??
Dan, dan... “nggak papa kok” katanya!
Ya Allah… Masya Allaah... ampuuun Gusti. Ujian ini sungguh luar biasaa!
Aku langsung reflek merapikan kerudung, ngibrit keluar rumah sambil nyeker, lari ke arah kebun dekat villa. Udah kayak sinetron ibu-ibu kehilangan suaminya, tapi versi lebih rempong.
Seumur-umur ya bestie, aku belum pernah lihat orang jatoh terus “nggak kenapa-kenapa”. Lah wong jatoh dari teras rumah aja bisa kepelintir, jendol, bocor apalagi dari pohon kelapa setinggi cita-cita.
Yang aku tahu, jatoh itu minimal ya keseleo, lecet, atau kepala nyium tanah ya lebam, jendol, bocor. Tapi ini? Jatoh dari pohon kelapa trus katanya aman? nggak kenapa-napa? Serius nih, ini masih di bumi kan? Kok rasanya kayak hidup di syurga, tanpa luka, tanpa drama, cuma aku yang panik setengah nyawa.