Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Deal Sinting dengan Si Mulut Manis
Malam itu, Kafe Senja tempatku kerja berubah jadi sirkus kecil. Suara blender meraung kayak monster lapar, pelanggan rebutan colokan kayak anak kos berebut nasi gratis, dan musik K-Pop dari speaker tua bergaung sumbang di telingaku.
Tapi bukan itu yang bikin kepalaku nyut-nyutan. Yang bikin deg-degan justru… jam dinding.
17.59.
Satu menit lagi.
Dan entah kenapa, jantungku berdetak kayak drum marching band.
Nggak mungkin, kan, dia beneran dateng ke kafe remahan kayak gini? batinku. Nggak mungkin Cakra Adinata—cowok dengan senyum yang bisa nyulap ranking cewek satu sekolah—mau serius sama “deal sinting” yang dia tawarin kemarin.
Aku udah tiga kali pura-pura ke toilet. Setiap kali ngaca, aku selalu nanya hal yang sama ke bayanganku sendiri: Yisa, lo waras nggak?
Jawabannya selalu sama—nggak.
Satu bagian otakku menjerit. "Dia cuma nyari hiburan, Kayyisa! Lo cuma mainan kecil buat dia yang bosen sama hidupnya!"
Tapi bagian lain, yang lebih realistis (atau mungkin lebih lapar), berbisik. "Tapi… uangnya, Yisa. SPP lunas. Utang koperasi kelar. Ayam geprek tiap hari…"
Dan pas jarum jam tepat di angka enam—cling! Bel pintu kafe berdenting.
Aku refleks mendongak.
Dan di sanalah dia berdiri.
Cakra Adinata. Si pangeran sekolah, si mulut manis, si sumber gosip harian, yang ku dengar.
Bukan dengan jas sekolahnya yang kinclong, tapi dengan hoodie hitam dengan simbol ceklis tiga dan rambut acak-acakan kayak baru kabur dari set film indie. Tapi anehnya, justru di situlah pesonanya malah meledak. Dia nggak perlu bling-bling buat jadi pusat gravitasi ruangan. Semua mata otomatis nempel ke dia.
Sialan, tetep aja ganteng, aku mengakui dalam hati. Padahal udah pake hoodie buluk gitu, masih aja bikin silau. Emang dasar bibit unggul.
Aku menelan ludah. Sial. Ini nyata.
"Telat semenit," kataku datar, mencoba menutupi getaran di suaraku.
Cakra nyengir santai. "Sorry, macet."
Senyumnya kayak biasa: tenang, percaya diri, dan nyebelin. Senyum andalannya emang bikin lemes, tapi gue nggak boleh kemakan triknya, batinku.
"Lo kan punya sopir pribadi, jet pribadi, bahkan mungkin jalan pribadi."
Dia tertawa kecil. "Macetnya di antrean kopi. Lo tau sendiri, Jakarta nggak bisa hidup tanpa kafein."
Aku mendengus, menatap hoodie-nya dari atas sampai bawah. "Lo nggak bisa hidup tanpa hal mahal, ya? Kopi dua digit aja kayak kebutuhan pokok."
"Lo pikir gue selalu haus kemewahan?" Dia menatapku, senyumnya berubah lembut. "Mungkin lo bisa ajarin gue cara bertahan hidup kayak lo."
Nah, kan, mulai lagi jurus andalannya, batinku sinis. Muka melas, nada lembut, biar gue kasihan. Nggak bakal mempan! Aku mengangkat bahu. "Kebiasaan. Udah dari bayi dikasih dot rasa hemat."
Kami terdiam sebentar, sampai akhirnya aku menatapnya lurus. "Soal tawaran gila kemarin," ujarku. "Lo nggak lagi halu, kan? Nggak lagi kena efek micin?"
Cakra malah tertawa kecil. "Nggak. Gue serius, Sa."
Aku nyipit mata, curiga. "Serius pengen pura-pura pacaran sama gue? Cowok sepopuler lo, sama cewek yang bahkan disangka karyawan magang di sekolah?"
Tatapannya tajam tapi tenang. "Lo beda dari yang lain, Kayyisa. Gue butuh yang kayak lo."
Beda dari yang lain, huh? batinku sinis. Kalimat yang dipakai cowok di tiap drama murahan sebelum nyakitin tokoh utama. Jangan-jangan dia mau bikin gue baper, terus dijadiin bahan ketawaan sama temen-temennya. Aku hampir tertawa.
Aku menghela napas, lalu nyerocos. "Oke, denger. Ada aturan kalau lo beneran mau kerja sama sama gue."
Aku mulai bacain aturan Yisa’s Law No.1 sampai No.2:
—Nggak lebay, nggak peluk-pelukan ala sinetron, nggak ikut campur urusan hidupku. Dunia kita beda, jangan lo aduk-aduk.
Cakra mencatat di ponselnya dengan serius. Emang dia rajin? batinku. "Gue tulis biar nggak lupa."
"Pake kertas aja biar hemat. Sekalian latihan jadi manusia biasa."
Dia ngakak. "Oke."
Lalu dia mulai baca balik aturan versinya.
"Pertama, lo harus bisa senyum di depan gue. Kalau lo terus manyun, semua orang bakal curiga."
"Gimana mau senyum kalo muka lo kayak pengingat utang?" Muka lo emang bikin pengen nabok, gimana mau senyum coba? Sayangnya nabok pelan-pelan muka mahal sih -_-
Dia malah ketawa lebih keras. "Latihan kontrol emosi aja, Sa. Anggep yoga wajah." Lalu lanjutnya, "Kedua, gue yang anter jemput lo minimal tiga kali seminggu."
Aku langsung melotot. "Gila aja! Gue nggak mau jadi bahan gosip sekolah!"
"Kayyisa, ini buat keliatan natural. Gue juga pengen punya temen ngobrol di mobil." Nada suaranya lembut, dan… entah kenapa, jujur. Tunggu, kok gue jadi ngerasa dia beneran kesepian sih? Nggak mungkin ah, ini pasti cuma akting! Di balik senyum sombong itu, ada sesuatu yang kosong.
Aku akhirnya mengalah. "Oke. Tapi lo nunggu di ujung jalan. Jangan sampe tetangga ngira gue pelihara anak tajir."
"Deal," katanya pelan, tapi matanya bersinar—kayak anak kecil yang baru dikasih mainan mahal. Tuh kan, seneng banget dia dasar aneh ...
Kami akhirnya tanda tangan "kontrak gila" itu. Kertas kumal di tanganku dan versi digitalnya di ponselnya.
Aku menatap lembaran itu lama-lama.
Gila. Gue beneran tanda tangan kontrak pura-pura pacaran sama Cakra Adinata Putra. Apa yang gue pikirin coba?Apa yang lo pikirin, Kayyisa? Cowok kayak dia tuh kayak api unggun—hangat di awal, tapi bisa bakar lo hidup-hidup kalau lo kelamaan duduk di dekatnya.
Cakra memperhatikan ekspresiku, lalu tersenyum tipis. "Jangan khawatir. Ini bukan kontrak jual ginjal."
"Bisa aja lo tipu. Orang kaya tuh kalau bosen suka eksperimen aneh-aneh. Siapa tahu gue besok jadi konten sosial eksperimen, ‘Bantu Cewek Miskin Demi Engagement’."
Cakra menghela napas sabar. "Gue nggak sekejam itu, Kayyisa."
Nada suaranya rendah, jujur—dan itu justru bikin aku makin curiga. Kenapa dia keliatan tulus banget sih? Bikin gue jadi nggak enak aja, batinku. Karena cowok jujur tuh jarang. Terlalu jarang buat dipercaya.
"Gimana kalau kita lowkey aja," katanya lagi. "Tanpa drama. Tanpa lebay. Cuma dua orang yang kelihatan… dekat."
Aku memiringkan kepala. "Dekat tapi pura-pura? Kayak proyek rahasia?"
"Anggap aja gitu."
Tatapan matanya lembut, tapi ada bayangan lelah di sana. Lelah jadi pusat perhatian, mungkin. Lelah pura-pura bahagia. Dia capek? Seorang Cakra Adinata capek? Nggak salah denger?
Dan di situlah aku mulai ngerasa… aneh.
Karena cowok yang biasanya sombong dan misterius itu tiba-tiba keliatan manusiawi. Stop, Kayyisa! Jangan mulai ngerasa aneh sama dia! Inget, dia tuh cowok berbahaya! Mirip cowok fiksi!
Aku buru-buru alihin pandangan. "Oke. Tapi gue punya syarat tambahan."
Aku menatapnya tajam. "Kalau kita udah sepakat kerja sama, gue nggak mau ini cuma buang waktu buat drama murahan."
Alis Cakra terangkat. "Maksudnya?"
"Syarat tambahan: hubungan pura-pura ini harus bermanfaat." Aku mencondongkan badan sedikit. "Gue mau lo bantu gue dapetin akses ke kelas tambahan sekolah. Yang cuma boleh diikutin anak-anak sultan itu."
Cakra terdiam sejenak, lalu senyumnya muncul pelan. "Kelas sore itu?"
Aku mengangguk. "Iya. Gue butuh nilai buat dapet beasiswa. Jadi kalau lo mau gue pura-pura jadi pacar lo, lo juga bantu gue buat hal yang nyata."
Dia menatapku lama, ekspresinya berubah dari geli jadi kagum. "Lo beda banget dari cewek lain yang pernah gue kenal."
Bagus kalo gue beda, gue bangga. HA HA dan gue bukan cewek yang gampang lo bodohin pake rayuan gombal, tapi pake duit. Aku menyeringai tipis. "Gue bukan cewek yang lo kenal, Cakra. Gue cewek yang lo rekrut."
Cakra menunduk, pura-pura menulis lagi di ponselnya. Kelihatannya dia sibuk, atau mungkin sedang mengecek jadwal makan dihotel bintang lima malam nanti. “Oke, Yisa’s Law No.3: Semua kegiatan pura-pura pacaran harus punya nilai edukatif."
Aku melipat tangan di dada. "Sip. Sekalian lo belajar cara hidup normal juga."
Dia menatapku sambil tertawa pelan. "Deal. Gue siap ikut les kehidupan versi lo."
Kami saling pandang sejenak.
Senyumnya pelan-pelan memudar jadi ekspresi serius yang jarang banget aku lihat di wajahnya. Tunggu, kok dia jadi keliatan serius gini? Bikin gue jadi nggak enak aja, batinku yang people pleasure. "Oke. Kalau itu bikin lo nyaman, gue bantu. Gue janji."
Dan entah kenapa, nada "gue janji"-nya bikin dada gue terasa berat. Sial, kok gue jadi deg-degan gini sih?
"Kesepakatan gila ini resmi dimulai.” katanya pelan.
Aku menarik tangan cepat, pura-pura santai padahal jantungku kayak habis sprint. "Jangan GR. Ini cuma profesional. Nggak ada cinta-cintaan."
Cakra tertawa kecil. "Profesional pura-pura. Kedengarannya absurd, tapi… gue suka."
Sialan, senyumnya lagi! batinku panik. Senyum yang bisa ngegeser logika, bikin gue lupa sama tujuan awal gue.
Aku buru-buru berdiri. "Udah, lo bayar kopi. Gue balik kerja."
"Tenang aja, gue nggak bakal kabur."
Tapi sebelum aku sempat pergi, dia nahan pergelangan tanganku. "Tunggu. Satu hal lagi."
Aku refleks menatapnya waspada. Apa lagi sekarang? Jangan bilang dia mau minta ciuman perpisahan ala drama Korea, batinku ngeri.
Dia tertawa. "Santai, cuma foto. Biar kalo ada yang nanya, gue punya bukti."
Aku menatapnya sinis. "Foto buat bukti? Lo niat banget, ya. Nih, cepat."
Kami berdua mendekat. Darel mengangkat ponsel, senyumnya cerah.
Aku? Datar kayak foto KTP.
"Senyum dikit lah."
"Senyum itu mahal, Cakra. Lo nggak bakal sanggup bayar."
Dia nyengir, menantang. "Seratus ribu?"
Aku berpikir sejenak. "Seratus ribu plus voucher traktir makanan enak kantin."
Tawa Cakra meledak keras. "Deal. Sekarang senyum."
Aku mencoba tersenyum, tapi hasilnya lebih mirip meringis. Cakra menggelengkan kepala.
“Udah deh, gini aja," kata Cakra. Dia mendekat sedikit, lalu dengan cepat mencubit pipiku.
“Aduh! Sakit!“ protesku sambil mengusap pipiku yang memerah.Tapi tanpa sadar, bibirku tertarik membentuk senyum kecil. Dan saat itulah Cakra menjepret foto.
"Nah, gitu dong. Cantik," kata Cakra sambil menunjukkan hasil fotonya.
Aku melihat foto itu. Walaupun pipiku masih merah karena dicubit, tapi senyumku terlihat lebih natural dan ... manis. Aku hampir tidak mengenali diriku sendiri. Perasaan gue lebih jelek dari ini deh ... Mungkin hape mahalnya pake filter dewa!
"Lumayan," komentarku singkat. "Udah kan? Gue beneran harus balik kerja."
Cakra mengangguk. "Oke, makasih ya, Kayyisa. Udah mau bantuin gue.“
Aku mengangkat bahu. "Jangan GR dulu. Gue bantuin lo karena gue butuh duit. bukan karena gue kasihan sama lo."
Cakra tersenyum. "Apapun alasannya, gue tetep berterima kasih."
Klik.
Satu foto, satu kesepakatan.
Dan mungkin—satu langkah menuju kekacauan yang nggak bisa kutarik lagi.
Aku menatap layar ponselnya sekilas, dan di situ aku lihat kami berdua.
Dia tersenyum tulus. Aku datar tapi mataku… kelihatan bimbang.
Sialan aku baru sadar, pikirku mungkin, kesalahan terbesar bukan saat aku tanda tangan kontrak ini. Tapi saat gue mulai penasaran siapa Cakra Adinata Putra sebenarnya.
✨Bersambung ...