Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Keesokan paginya, Halwa sudah siap berangkat ke sekolah, mengenakan seragamnya.
Walaupun semangatnya sudah pulih, jalannya masih harus pelan-pelan karena rasa sakit yang tersisa dari malam sebelumnya.
Athar, yang sudah rapi dengan setelan jasnya, memperhatikan Halwa dari ujung kepala hingga kaki, dan ia tertawa kecil melihat Halwa berjalan hati-hati.
"Semua ini salah kamu!" cibir Halwa, cemberut.
Athar berjalan mendekat, mencium bibir istrinya dengan cepat namun dalam.
"Iya, salahku. Tapi kamu suka, kan?" godanya dengan senyum nakal.
"Ayo berangkat, nanti terlambat. Hari ini aku yang mengantarmu, tidak ada Yunus."
Mereka tiba di gerbang sekolah, Athar turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Halwa, memastikan istrinya baik-baik saja.
Halwa membalas dengan senyum tipis, lalu turun dengan langkah yang sangat pelan.
"Hati-hati, Sayang. Telepon aku kalau ada apa-apa," bisik Athar, mengantarkan Halwa hingga batas gerbang dan mengacak rambutnya.
Halwa mengangguk dan melanjutkan jalannya menuju kelas.
"Hal! Kamu kenapa, Hal?" tanya Nisa, teman satu kelas Halwa, yang melihat Halwa berjalan seperti baru saja jatuh dari tangga. Nisa segera menghampiri Halwa.
"A-aku jatuh kemarin," jawab Halwa tergagap, tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya.
Nisa tanpa ragu langsung membantunya, memapah Halwa ke bangku.
Saat mereka berdua berjalan, Afrain melihat pemandangan itu.
Wajahnya langsung tegang. Ia segera berlari, mendorong Nisa sedikit menjauh dan mengambil alih memapah tubuh Halwa.
"Hal, kamu kenapa? Apa yang terjadi? Ini pasti gara-gara semalam, kan? Aku minta maaf!" tanya Afrain, nada suaranya penuh penyesalan.
Halwa terkejut dengan tindakan Afrain dan tatapan tajam Nisa.
"Tidak, Kak. Aku hanya terkilir."
Afrain mengabaikan bantahan Halwa dan membawanya duduk di bangku.
Nisa menggelengkan kepalanya melihat drama Afrain.
Ia tahu Afrain hanya mencari kesempatan. Nisa mengikuti dan ikut duduk di samping Halwa, memberikan tatapan tak suka kepada Afrain.
"Aku akan panggil guru piket, Hal. Kamu harus ke UKS," ucap Nisa, bersiap berdiri.
"Tidak usah, Sa. Aku sudah lebih baik," Halwa menahan tangan Nisa, tidak ingin menimbulkan keributan.
Afrain menatap Nisa dan Halwa bergantian. "Aku akan menjagamu, Hal. Tidak perlu ke UKS."
Halwa hanya bisa menghela napas, terjebak di antara dua temannya. Ia berharap Athar tidak melihat pemandangan ini.
Tepat saat Halwa menahan Nisa dan Afrain masih berdiri cemas di sisinya, Dinda datang.
Dinda baru saja melewati pintu kelas dan melihat drama kecil itu. Senyum sinis langsung merekah di bibirnya.
"Cih, drama apa lagi ini?" desis Dinda, berjalan angkuh mendekat ke arah Halwa.
Ia melirik tajam ke arah Halwa, lalu ke Afrain yang memasang wajah khawatir.
"Kamu yakin cuma terkilir? Atau jangan-jangan kamu habis melakukan hal-hal yang tidak senonoh sampai tidak bisa jalan?"
Nisa membalas tajam. "Jaga bicaramu, Dinda! Halwa bilang dia jatuh."
"Jatuh? Seorang kutu buku yang jalannya selalu lurus tiba-tiba jatuh?" Dinda tertawa kecil. "Atau jangan-jangan, pacar barunya yang 'om-om kaya' itu tidak sabar?"
Dinda kemudian memojokkan Halwa, mendekatkan wajahnya.
"Atau mungkin ini gara-gara Afrain semalam di Prom Night?" Dinda sengaja menekan kata Prom Night dengan suara keras, berharap semua orang mendengarnya.
"Menjijikkan. Gadis murahan yang merangkak naik hanya karena harta."
Halwa yang sejak semalam menahan rasa sakit, rasa malu, dan amarah, kini sudah mencapai batasnya.
Perkataan Dinda tentang 'wanita murahan' dan 'gadis murahan' memicu kembali semua penghinaan yang ia rasakan dari Athar.
Dalam sekejap, Halwa mengangkat tangannya.
PLAK!
Suara tamparan keras menggema di dalam kelas. Halwa menampar Dinda dengan seluruh kekuatan dan emosi yang ia tahan.
Semua orang, termasuk Afrain dan Nisa, terdiam. Dinda memegangi pipinya yang merah, matanya membelalak karena terkejut dan terhina.
"Jaga mulut kotormu, Dinda!" ucap Halwa, napasnya memburu.
"Aku bukan barang murahan! Kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupku!"
Dinda yang tidak pernah ditampar seumur hidupnya, kini berdiri dengan wajah penuh amarah.
Bel berbunyi, menandakan jam pelajaran pertama dimulai.
Nisa segera menarik Halwa menjauh dari Dinda yang masih mematung karena tamparan itu.
"Sudah, Hal. Sabar. Lebih baik kita masuk kelas."
Afrain menatap Dinda dengan tatapan dingin, lalu kembali ke tempat duduknya di kelas lain.
Dinda mengepalkan tangannya, menahan malu yang luar biasa di depan teman-temannya. Ia bersumpah akan membalas Halwa.
Pelajaran pun dimulai. Halwa berusaha fokus, namun pikirannya masih penuh dengan kejadian semalam dan tamparan barusan.
Tak terasa, bel istirahat berbunyi nyaring.
Halwa baru saja hendak meregangkan tubuhnya saat ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Athar.
[Sayang, sudah jam istirahat. Aku sudah memesankan kamu pizza kesukaanmu. Jangan lupa makan.]
Halwa tersenyum kecil. Suaminya yang posesif dan mendominasi itu ternyata juga sangat perhatian.
Beberapa saat kemudian, guru piket datang ke kelas dan memanggil Halwa.
"Halwa, ada tamu. Ada di ruang tamu sekolah," ucap Guru Piket.
Nisa yang penasaran langsung berdiri. "Aku temani, Hal."
Mereka berdua berjalan menuju ruang tamu sekolah.
Halwa sudah bisa menduga siapa yang datang. Dan benar saja, ia melihat Yunus berdiri di sana, di samping sebuah kotak pizza besar dari restoran favorit Halwa.
"Selamat siang, Nyonya. Tuan Athar meminta saya mengantarkan ini," ujar Yunus sambil menyerahkan kotak pizza.
"Terima kasih, Yunus," jawab Halwa, tersentuh dengan perhatian Athar.
Yunus menganggukkan kepalanya dan segera pamit.
Halwa dan Nisa membawa kotak pizza itu kembali ke kelas. Wangi keju dan topping langsung memenuhi ruangan.
"Wah, pizza besar sekali, Hal!" seru Nisa.
"Paman kamu yang kirim?"
Halwa menganggukkan kepalanya. Ia tidak bisa menyebut Athar 'suami' di depan Nisa. "Iya. Dia bilang aku harus makan."
"Ayo bagi-bagi!" ajak Halwa, memotong pizza dan membagikannya ke semua teman sekelasnya, termasuk Dinda yang masih terlihat kesal di sudut ruangan.
Nisa menggigit sepotong pizza dengan mata berbinar.
"Paman kamu baik banget ya, Hal. Perhatian sekali."
Halwa tersenyum, menganggukkan kepalanya. Ia tahu, 'Paman' itu memang sangat baik, sekaligus sangat menakutkan. Tapi saat ini, perhatian kecil ini terasa seperti obat penenang untuk hati dan tubuhnya yang masih sakit.
Setelah istirahat mereka kembali masuk dan menyimak pelajaran yang diberikan oleh Bu Dayang.
Detik demi detik berganti dan bel pulang sekolah berbunyi.
Halwa segera membereskan buku-bukunya dan bersiap untuk pulang.
Di depan pintu kelas, sudah ada Afrain yang menunggunya.
"Hal, ayo ke kantin sebentar. Aku mau bicara," ajak Afrain, tangannya refleks meraih lengan Halwa.
Halwa melepaskan pegangan Afrain dengan halus.
"Kak, maaf. Aku sudah dijemput."
Afrain menatap Halwa dengan mata terluka. "Hal, kenapa kamu menghindariku? Sejak semalam kamu berubah. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Ia kemudian melontarkan pertanyaan yang selama ini mengusiknya.
"Apa benar yang dikatakan Dinda? Kalau kamu ada hubungan dengan paman kamu?"
"Kak," Halwa menunduk, tidak bisa menjawab.
Tiba-tiba, sebuah suara bariton yang dalam memotong pembicaraan mereka.
"Halwa."
Afrain dan Halwa menoleh. Athar berdiri di ujung koridor, bersandar di dinding dengan tangan terlipat, tatapannya dingin dan tajam mengarah lurus ke Afrain.
Halwa segera melepaskan tangannya dari Afrain dan berjalan cepat menuju Athar.
Afrain mengejarnya, mengikuti dari belakang dengan rasa penasaran dan cemburu yang menggebu.
"Siapa dia, Hal?" bisik Afrain.
Athar dan Halwa berjalan lurus menuju mobil Athar.
Halwa langsung masuk ke kursi penumpang. Athar membuka pintu kemudi dan melirik sekilas ke Afrain yang masih berdiri mematung.
"Tidak usah mengantar. Aku akan mengurusnya sendiri," bisik Athar pada Halwa sebelum ia masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraan meninggalkan area sekolah.
Afrain segera mengeluarkan motornya dan diam-diam mengikuti mobil mewah Athar dan Halwa.
Ia melihat mereka menuju ke pusat perbelanjaan, sebuah Mall besar.
Di dalam Mall, Halwa dan Athar turun dari mobil. Halwa, yang kini tidak lagi malu, menggenggam erat tangan Athar.
Mereka berdua terlihat serasi dan dominan, menarik perhatian banyak pengunjung.
Athar membawa Halwa menuju ke sebuah boutique mewah yang menjual pakaian dalam dan baju tidur.
"Kita pilih baju tidur yang baru. Gaun yang semalam sudah robek, kan?" bisik Athar di telinga Halwa, nadanya menggoda.
Di tengah memilih baju tidur sutra, Athar menoleh dan mencium pipi Halwa.
"Aku suka kalau kamu yang memilihnya."
Afrain, yang berhasil menyelinap dan mengikuti mereka dari kejauhan, membelalakkan matanya saat melihat adegan Athar mencium Halwa.
"Jadi benar apa yang dikatakan Dinda. Halwa memang menyukai pria kaya. Wanita itu sudah menikah, dan dia berbohong padaku," gumam Afrain, tangannya gemetar.
Dengan cepat, Afrain mengeluarkan ponselnya dan mengambil beberapa foto Athar dan Halwa yang sedang bermesraan di boutique itu.
Setelah mengambil foto, Afrain tidak tahan lagi. Rasa cemburu dan kecewa memuncak.
Ia meninggalkan Mall, mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, hatinya hancur berkeping-keping.