Mereka melihatnya sebagai Upik Abu. Mereka salah besar. Regina adalah CEO muda yang menyimpan rahasia besar. Di rumah mertua, ia menghadapi musuh yang tak terlihat dan cinta yang diuji. Mampukah ia mengungkap kebenaran sebelum terlambat? Ataukan ia akan kehilangan segalanya? Kisah tentang cinta, keluarga, dan rahasia yang bisa mengubah takdir seseorang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ceriwis07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Upik Abu Eps 2
Pagi itu cerah, namun mentari seolah enggan menyinari hati Regina. Keluarga berkumpul, wajah-wajah mereka dilukiskan dengan kepanikan dan amarah yang membara. Regina sendiri duduk di sudut sofa, tatapannya kosong seperti sumur yang telah lama ditinggalkan.
"Bagaimana ini? Mana pengantin pria?" tanya penghulu, suaranya memecah keheningan yang sudah berlangsung hampir satu jam. Waktu terasa seperti jarum yang menusuk-nusuk kesabaran.
Hanya Arya, sang pengantin pria, yang belum menampakkan diri. Keluarganya sudah lebih dulu tiba di kediaman mempelai wanita, membawa serta harapan yang kini terasa seperti pasir yang lolos dari genggaman.
Drap... drap...
Suara langkah kaki memecah keheningan yang menyesakkan. Itu Rian, kakak dari pengantin laki-laki.
Rian ingin berbicara, namun kata-kata itu terasa berat di lidahnya, seperti batu yang menghalangi aliran sungai. Tapi ia tahu, semua harus ia katakan sekarang, jika ia tak ingin keluarganya menanggung malu yang lebih dalam.
"Arya..., Arya pergi bersama Natasya," jawabnya ragu. Suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin yang membawa berita buruk. Kebenaran itu bagai petir di siang bolong, menghancurkan harapan yang tersisa.
"Apa? Bagaimana bisa, Rian? Kenapa kamu tidak mencegah adikmu?" ucap Ibu Rian, suaranya pecah seperti kaca yang terjatuh, sembari mengguncang tubuh anak pertamanya.
Rian terdiam, lidahnya kelu. Ia melihat raut wajah kekecewaan yang terpancar dari keluarga Regina, bercampur dengan amarah yang membara seperti api yang siap membakar habis segalanya. Bahkan, dari mata ayah dan ibunya sendiri, terpancar kekecewaan yang lebih tajam dari pedang.
Sebelumnya...
"Berhenti di depan," ucap Arya, nadanya datar tanpa ekspresi.
"Kenapa?" tanya Rian, alisnya bertaut. Namun, ia tetap menuruti permintaan adiknya itu. Perlahan, ia mulai mengurangi kecepatan dan berhenti di pinggir jalan. Tak lama, sebuah mobil putih berhenti di sebelah mobilnya, memecah keheningan jalanan.
"Natasya?" gumam Rian, matanya membulat.
Natasya melambaikan tangannya pada Rian, senyumnya bagai duri yang menusuk hatinya.
Arya membuka jas putihnya, simbol pernikahan yang kini terasa seperti lelucon pahit, dan memasukkannya ke mobil milik Rian. "Aku nggak bisa menikah dengan Regina," ucapnya sambil berlari kecil memasuki mobil milik Natasya, meninggalkan Rian yang terpaku dalam kebingungan.
Rian terdiam, otaknya belum mampu mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Arya. Kata-kata itu bagai bom waktu yang baru saja meledak di dalam kepalanya. Setelah mobil yang dikendarai Natasya pergi, barulah kesadarannya pulih.
Rian memukul setir mobil dengan keras, melampiaskan amarah dan frustrasinya. "Akh... bodoh kamu, Rian! Apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu? Akh... sialan kamu, Arya!" geram Rian, suaranya bergetar menahan emosi yang meluap-luap.
Rian segera melajukan mobilnya menuju rumah Regina, pikirannya kalut bagai benang kusut. Entah apa yang nanti akan ia ucapkan, yang penting ia harus sampai di rumah calon iparnya itu secepat mungkin.
Bugh...
Sebuah pukulan telak menghantam pipinya, bagai palu godam yang meremukkan tulang.
Ayah Rian memukul anak pertamanya, amarahnya meledak bagai gunung berapi. Ia tak bisa berkata-kata, hanya desisan geram yang keluar dari bibirnya.
Orang-orang di sekitarnya segera memegangi tubuh Pak Seno, mencegah amarahnya berlanjut.
Rian hanya diam, memegangi pipinya yang terasa sakit dan panas. Namun, ia tahu jika rasa sakit ini tak sebanding dengan rasa malu yang kini menghantui kedua orang tuanya akibat ulah sang adik.
"Ke mana dia?" tanya Regina dengan wajah datar, tatapannya setajam belati. Nampak jelas ia tengah menahan tangis dan amarah yang siap meledak kapan saja.
"Pergi bersama Natasya," ucap Rian pelan, suaranya bagai bisikan angin yang membawa berita duka. Namun, kata-katanya masih dapat didengar oleh semua orang yang hadir.
Regina mengangguk pelan, lalu ia berjalan pelan menaiki tangga, menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Langkahnya gontai, seolah beban dunia berada di pundaknya.
Di dalam kamar, Regina menangisi nasibnya yang malang. Mengapa pria yang ia pilih untuk menjadi imamnya justru melukainya sedalam ini, bahkan tega lari dengan mantan pacarnya? Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang sudah sembab.
Sayup-sayup, Regina mendengar seruan "Sah!" dari lantai bawah rumahnya. Suara itu bagai petir yang menyambar hatinya. "Apa? Siapa yang menikah?" gumam Regina dalam hati, bingung dan penasaran.
Ia mematut wajahnya di cermin, melihat pantulan dirinya yang kacau balau. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan bibirnya bergetar. Ia mengambil tisu untuk menyapu sisa air matanya, mencoba mengembalikan sedikit harapan yang tersisa.
Suara pintu diketuk, memecah lamunannya. Ia dengan malas berdiri dan membuka pintu kamarnya.
Di balik pintu, sang ibu terlihat tenang dan bahagia, senyumnya merekah bagai bunga di musim semi. Di belakangnya ada Maria, seorang utusan MUA yang tadi pagi meriasnya.
Sang ibu masuk ke kamar Regina, lalu menuntunnya untuk duduk di meja rias. Maria memulai aksinya, membersihkan make-up yang sudah tujuh puluh persen memudar, bagai menghapus kenangan pahit yang baru saja terjadi.
Kuasnya dengan lincah menari di atas wajah mulus milik Regina, bagai seorang pelukis yang sedang menciptakan sebuah karya seni. Ya, Regina memang rajin merawat wajahnya, bukan dengan skincare mahal, namun lebih karena warna kulitnya yang kuning langsat, warisan dari sang ibu.
"Nah, sudah cantik lagi," ucap Maria dengan suara yang dibuat selembut mungkin, dan tak lupa tangannya melambai dengan gemulai.
Sang ibu tersenyum, matanya berbinar. "Ayo, kita temui suamimu," ucap sang ibu, menggandeng lengan Regina dengan penuh kasih sayang.
Satu demi satu anak tangga dilewati oleh ibu dan anak itu, bagai mendaki gunung yang terjal. Tak... tak... tak... Suara high heels yang dikenakan oleh Regina memecah keriuhan di lantai bawah, bagai denting lonceng yang mengumumkan kedatangan seorang ratu.
Mata Regina bertemu dengan mata sang pria yang kini telah menjadi suaminya. Bima, ya, si supir pribadi ayahnya, kini menjelma sebagai suaminya. Transformasi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sang ibu menuntun anaknya untuk duduk di sebelah Bima, yang kini sudah menjadi menantunya. Bima segera memegang kepala Regina dengan lirih, sentuhannya lembut bagai belaian angin.
Dengan khusyuk, Bima berkata, "Allahumma inni as'aluka khairaha wa khaira ma jabaltaha alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha alaihi." Artinya: "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan watak yang Engkau ciptakan padanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang Engkau ciptakan padanya."
Air mata Regina luruh, bagai hujan yang tak dapat dibendung lagi. Matanya yang merah menatap pria yang kini telah menjadi suaminya, Bima.
Dengan hati-hati, Bima memasangkan cincin miliknya yang kebesaran di jari mungil Regina. Cincin itu bagai janji yang belum sempurna, namun penuh dengan harapan.
"Untuk sementara ini dulu ya, nanti kita keluar cari cincin kawin," ucap Bima lirih, suaranya bagai bisikan doa.
Regina hanya terdiam, membisu dalam kebingungan. Bima dengan pelan menyalimkan tangannya pada wajah Regina yang mematung, sentuhannya lembut namun terasa asing.
Ia tahu, ini sangat tidak mungkin baginya dan Regina, tapi hatinya lah yang menuntunnya untuk mau menjadi suami pengganti anak majikannya. Hatinya bagai kompas yang menunjuk ke arah yang tak terduga.
Bukan Upik Abu
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar ya...