Sekelompok siswa SMA dipaksa memainkan permainan Mafia yang mematikan di sebuah pusat retret. Siswa kelas 11 dari SMA Bunga Bangsa melakukan karyawisata. Saat malam tiba, semua siswa di gedung tersebut menerima pesan yang menunjukkan permainan mafia akan segera dimulai. Satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menyingkirkan teman sekelas dan menemukan Mafia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selamat Datang
Menjelang sore, bus melanju sedikit lebih cepat menuju penginapan retret. Bangunan yang jadi tempat perjalanan karyawisata murid-murid kelas 11 SMA Bunga Bangsa. Tempat dimana mereka akan bersenang-senang dan sejenak menjauh dari dunia yang penat.
Pada halaman yang terlihat asri. Sebagian murid menghirup udara sejuk dengan bahagia, sisanya hanya menghela napas malas. Mereka memutuskan untuk segera menurunkan barang bawaan dari bagasi.
"Arsya!" Dion berteriak kecil, mendekat kearah Arsya yang sedang berusaha mengangkat koper miliknya.
"Biar gue bantu”
"Eh? Nggak usah, lo juga lagi repot bawa barang bawaan lo” Arsya berujar, menatap kearah Dion yang sudah lebih dulu meraih koper miliknya.
"Nggak papa, gue nggak repot kok” Balas Dion dengan senyum tipis. Sebelum mereka lantas berjalan berdampingan, memasuki halaman pusat retret.
"Makasih, Dion" Arsya berucap cukup gugup, dengan wajah memerah akibat perlakuan Dion.
Jauh dari sana, Yuna berdecak kesal karena perlakuan yang dia inginkan justru didapatkan Arsya, bahkan tanpa dia minta. Gadis itu menarik kopernya kasar sebelum menyusul murid lain yang memasuki tempat penginapan.
"Dasar bucin” Khalil menghembuskan napasnya, melihat bagaimana perlakuan Dion kepada Arsya dan melihat raut wajah cemburu Yuna.
Khalil mengerenyitkan dahi sambil menatap sekeliling tempat, "Kayaknya nggak asing deh? Tapi emang gue pernah kesini?” Khalil bergumam pada dirinya sendiri.
"Heh, brengsek! Lo bakal terus disitu kayak patung?!” Suara Jihan terdengar mendominasi. Khalil mengalihkan pandangan kedepan, dimana Jihan, Wira, dan Hagian berada.
"Oh—Ya" Khalil bergumam pelan. Lantas berjalan memasuki tempat itu, berdampingan dengan Hagian dan kedua teman nya, atau musuh?
Sampai di dalam hall, hal pertama yang mereka lihat adalah sebuah patung wanita berkarisma indah, dengan posisi duduk anggun, dan bercat putih. Seperti pada gallery seni, yang sempat sesekali Khalil temui.
"Kenapa familiar banget?" Khalil bergumam kembali dan menatap sekeliling, untuk yang kesekian kali ia merasa ada keanehan ditempat ini.
Pindai Kode QR Untuk Terhubung ke Wifi.
"Apa sih, Khal?" Hagian membuka suara. Pria itu sempat mendengar gumaman Khalil, namun tidak terdengar dengan jelas karena bising teman-temannya memenuhi ruangan.
"Enggak” Sahut Khalil, lantas memindai kode QR yang ada di depan patung itu tanpa banyak berpikir. Disusul Hagian dan semua murid yang belum sempat memindai kode.
—
..."Selamat Datang Di Pusat Retret Bunga Bangsa"...
Fattah merekam teman-teman kelasnya yang sedang melakukan kegiatan mereka di Aula. Tapi lebih memilih menyorot pada Lisa daripada yang lainnya. Bisa dibilang, Fattah menyukai Lisa. Gadis dengan tubuh jenjang yang menguasai klub tari sekolah, jadi salah satu idola di SMA Bunga Bangsa.
Pria itu mengalihkan kameranya setelah sorot itu diketahui Lisa, mengarah pada Dion dan Yuna yang duduk berdampingan.
"Ah, Yuna pasti godain dia" Gumam Fattah.
Sejauh ini, Lisa adalah objek paling indah untuk di sorot kamera miliknya. Namun entahlah, Fattah masih terlalu gengsi untuk mengakui perasaannya, dan memilih menyorot orang lain saat lagi dan lagi Lisa mengetahui keberadaannya.
Dari kejauhan, Fattah dapat menyaksikan bagaimana Arsya menatap ke arah Dion. Padahal ada Merah yang tengah duduk bersamanya, yang terasa terabaikan.
"Sya" Merah berujar, tangan nya memukul bahu Arsya dengan pelan "Lo ngeliatin dia?"
"Uh? Gue nggak ngeliatin siapa-siapa!" Elak Arsya.
Tentu saja, Merah tak percaya dengan jawaban yang keluar dari bibir Arsya. Lagian, jelas sekali kalau gadis ini sedang menguntit Yuna yang asik berbincang dengan Dion.
"Masa sih? Denial banget sih lo, Sya. Ketara banget kok lagi ngelihatin Dion sama Yuna, lo cemburu?" Ujar Merah, sembari memainkan ponselnya.
Walaupun terkesan cuek dan tidak banyak bicara, Merah cukup peka, dan peduli. Apalagi soal sahabatnya ini.
"Apaan sih, enggak kok" Arsya mendesah kecewa. Lantas mengalihkan tatapan jauh dari Dion. Membuat Fattah terkekeh pelan dibalik kamera yang masih sibuk menyorot ke arah Arsya.
"Jadi ini segitiga?" Gumamnya, mengajukan pertanyaan pada dirinya sendiri.
"Kenapa Wifi nya nggak nyambung sih?!" Khalil mendesah kecewa, ia terduduk dan menyandarkan tubuhnya pada tembok.
"Bahkan nggak ada sinyal, anjir!" Khalil berujar lagi sambil menghembuskan nafas beratnya, lantas mengalihkan pandangan kearah Dion yang berlari menghampiri Pak Cipto, guru mereka.
"Ketua kelas! Bapak harus pergi menjemput teman-teman yang lain, jadi kau bertanggung jawab untuk menjaga teman-temanmu disini, ya!?" Suara Pak Cipto terdengar tegas.
Sementara yang lainnya menghentikan kegiatan mereka, terdiam sambil menyimak agaknya percakapan Pak Cipto, dan ketua kelas terarah pada semua murid yang ada di aula.
"Jangan melakukan apapun dan tetaplah dikamar kalian. Ketua kelas, tolong awasi mereka semua agar tidak membuat kekacauan" Pak Cipto berujar lagi.
"Baik, Pak. Terima kasih atas kepercayaan Bapak, saya akan berusaha mengawasi teman-teman dengan baik" Dion sedikit membungkukkan tubuhnya, memberikan penghormatan sebelum Pak Cipto beranjak.
"Bagus, bapak akan pergi sekarang. Jadi mungkin bapak akan kembali besok pagi. Tetaplah memakai seragam"
Setelah Pak Cipto pergi, suasana aula kembali jauh lebih berisik. Kegiatan awal, dance dengan speaker yang di sediakan, saling membentuk kelompok bicara, atau sibuk dengan ponsel masing-masing.
"Liat deh, dia ngerekam kita lagi" Melanie berujar pada teman-temannya, saat melihat Fattah masih merekam ke arah mereka.
Duarrr…
Tepat saat suara terdengar cukup menggelegar didalam aula, lampu padam bersama kericuhan dari masing-masing murid. Sebagian besar merancau ketakutan, sisanya masih berusaha tetap tenang sambil mengintai ruangan. Berharap hanya sebuah candaan semata.
"Oh! Ayolah!"
"Apa-apaan sih?"
"Hidupkan senternya!"
"Woi! Apaan sih itu, nggak usah bercanda?" Khalil berujar, menunjuk kearah tengah aula. Menyipitkan kedua matanya agar terlihat lebih jelas. Bersama seru kejut dari semua orang.
"Jangan bercanda!" Agil melempar bola yang sembari tadi menemaninya bermain, kearah seseorang yang menyelimuti tubuhnya sendiri dengan kain berwarna putih.
"Astaga, dia kenapa sih!"
"Lo serius?"
"Aish, Dasar gila!"
"Dia ngeselin banget!"
Mereka berujar dengan kesal, melihat tubuh Bima dibalik selimut putih itu, tersungkur ke lantai sambil meringis kesakitan.
"Hei! Dengerin baik-baik!” Bima berdiri dan menatap satu persatu teman kelasnya yang tersebar didalam aula.
"Ini yang gue denger dulu ya! Ada anak SMA cewek, yang bunuh diri disini,"
Bima menelan ludahnya susah payah. Sangat berat menceritakan fakta disaat semua orang sudah lebih dulu tidak percaya dengan kata yang keluar dari mulutnya.
"Jadi ada beberapa hal yang nggak boleh kalian lakukan di tempat ini, contohnya jangan ngaca pas malem"
"Terus kalok ada orang yang megang pergelangan kaki kalian pas malem, jangan melihat kebawah! Kalok aja kalian ngelanggar peraturan itu ..."
"HANTU BAKAL MUNCUL!!!" Bima tiba-tiba berteriak dan berlari mengelilingi mereka, lantas membuat semua orang ikutan berteriak histeris.
"HEI!"
"Enyahlah! Si brengsek gila!"
Mereka berujar, sesekali melempari Bima dengan botol plastik.
"Dasar gila!" Endru memukul kepala Bima dengan sedikit keras.
"Kalian takut?" Bima tertawa melihat reaksi teman-temannya, lantas ia berjalan pergi dari tempat itu. Tidak peduli dengan tatapan kesal dari semua orang.
"Aish! Sialan!"
"Udahlah, biarin aja si brengsek itu! Ayo balik ke kamar kita" Mereka mengangguk. Lantas segera berkemas dan berjalan keluar aula. Lagi pula malam juga sudah datang dan ini waktunya untuk beristirahat.
"Dasar Bima gila!" Khalil terkekeh pelan.