"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita.
" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut.
Maxwel dan Mita adalah musuh bebuyutan dari kecil sayangnya mereka tetangga depan rumah, hal itu membuat mereka sering ribut hampir tiap hari sampai Koh Tion dan Mak Leha capek melerai pertengkaran anak mereka.
Saat ini Maxwel tengah menyelesaikan studi S2 di Singapura. Sementara Mita kini telah menjadi guru di sma 01 Jati Miring, setelah hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Tiba-tiba mereka di pertemukan kembali.
Perlahan hal kecil dalam hidup mereka kembali bertaut, apakah mereka akan kembali menjadi musuh bebuyutan yang selalu ribut seperti masa kecil? Atau justru hidup mereka akan berisi kisah romansa dan komedi yang membawa Max dan Mita ke arah yang lebih manis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1_Tawaran bu Fatma
"Mita!"
Mita menoleh ke belakang. Seorang perempuan berhijab moka berlari kecil ke arahnya sambil membawa map merah. Itu Dinda, guru Bahasa Indonesia di SMA 01 Jati Miring.
"Ada apa, Din?" tanya Mita.
"Ini, tolong sampaikan map ini ke kepala sekolah, ya? Aku nggak kuat, perut mules banget." Dinda langsung menyodorkan map itu sambil menahan perut.
"Iya deh" jawab Mita sambil menerima map.
Begitu map berpindah tangan, Dinda buru-buru lari terbirit ke arah toilet guru. Mita hanya bisa menggeleng pelan, lalu melanjutkan langkah menyusuri koridor menuju ruang kepala sekolah.
"Permisi, Pak" ucapnya sopan dari ambang pintu.
Di dalam, tampak Pak Iwan, wakil kepala sekolah, bersama beberapa guru pria lainnya. Ruang guru di sekolah ini memang dipisah antara laki-laki dan perempuan.
"Eh, Bu Mita. Ada apa?" sapa Pak Iwan dari balik meja.
Mita masuk perlahan dan menyerahkan map merah itu. "Ini titipan dari Bu Dinda, Pak, untuk Kepala Sekolah."
Pak Iwan menerimanya. "Baik, nanti saya kasih ke Pak Adrian. Kebetulan beliau lagi keluar."
Kebetulan ruang kepala sekolah menyatu dengan ruang guru ini, cuman ruangannya agak kecil.
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi."
Pak Iwan mengangguk. Mita pun kembali melangkah ke koridor. Sepanjang jalan, beberapa siswa menyapanya dengan sopan, dan ia balas dengan senyum ramah.
Ting! Ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk.
Nama Mamak terpampang jelas di layar.
📩
Mamak: Mita, kalau pulang nanti, mamak titip tempe, tahu, sama kelan. Kalau masih ada ikan, beliin tongkol. Kalau nggak ada tongkol, ikan serah aja.
Mita: Iya, Mak. Ada lagi nggak? Nanti kayak biasanya, udah dibeli eh ada yang ketinggalan.
Mamak: Kagak! Udah itu aja.
Mita tersenyum kecil, lalu menaruh ponselnya di atas meja. Pandangannya sempat jatuh pada tumpukan lembar jawaban hasil ulangan biologi kelas XI IPS¹ sebelum otaknya kembali disibukkan dengan pekerjaan.
Ia mengambil botol tumbler berisi teh manis yang dibawanya dari rumah, lalu berjalan menuju kantin sekolah.
"Bude, beli es batu" katanya sambil menyerahkan tumbler ungu itu pada Bude Surti, penjaga kantin.
"Ya ampun, Bu Mita. Berapa kali bude bilang, nggak usah bayar. Wong es-nya cuma seuprit" ucap Bude Surti dengan logat Jawanya yang khas.
Mita nyengir. Tangannya meraih beberapa cemilan di meja. "Kalau gitu, bude hitung sama ini aja, ya"
"Semua enam ribu " jawab Bude Surti.
Mita menyerahkan uang receh dua ribuan, lalu menerima kembali tumbler dan kantong plastik kecil dari tangan bude.
"Makasih, Bude" katanya dengan senyum hangat.
Ia pun kembali ke ruang guru, meletakkan tumbler di atas meja bersama kantong jajan yang barusan dibelinya.
Tangannya meraih sebuah pulpen dari tempat bulat hasil prakarya siswa. Tangan satunya sibuk memegang tumbler, sementara mulutnya menyesap es teh dingin.
"Ahhh… swuegerrr " desah Mita puas, sampai matanya merem-melek sebentar.
Setelah menaruh tumbler di meja, Mita kembali fokus mengoreksi hasil ulangan. Baru beberapa kertas, kepalanya sudah geleng-geleng. Ada yang jawabannya ngaco, ada yang di luar nalar, bahkan ada yang kayaknya nulis sambil piknik di luar angkasa.
"Hadehh… apa pula ini? Pinggang encok?? Ya Allah, siapa sih yang nulis ginian?" Mita meneliti lembar jawabannya. Nama di pojok kertas tertulis Muhammad Akmal.
"Akmal,, Akmal… pinter banget kamu, dari sepuluh soal yang bener cuma satu!" gumamnya sambil mencoret-coret nilai. Kertas itu langsung dipindahkan ke tumpukan remedi.
Belum selesai gregetan, matanya hampir copot saat membaca lembar berikutnya.
"Ya Allah, ya Rabbi… siapa pula yang punya jawaban kayak gini?" ia membalik kertas, "Ismail… oh, Mail…" ucapnya sambil bernada
Mita sampai melongo, lalu menepuk jidat. "Dari sepuluh soal, semua jawabannya manusia purba?! Ya Allah, Mail, otakmu purba kali ya!"
Mita memijat keningnya. Setelah selesai menilai dan memasukkan nilai yang di atas KKM ke dalam buku, ia buru-buru meneguk es teh lagi.
"Hahhh… kepala langsung pusing liat jawaban mereka" keluhnya, lalu meraih roti coklat yang tadi dibeli di kantin. Gigitan demi gigitan habis dalam sekejap.
Tak lama, bel sekolah berbunyi nyaring.
para guru segera berhamburan menuju kelas masing-masing untuk mengajar jam pelajaran keempat.
Mita berjalan di koridor bersama Bu Fatma, guru matematika minat.
Bu Mita, sekarang usianya berapa ya?" tanya Bu Fatma tiba-tiba.
"Hmm, saya dua puluh empat, Bu" jawab Mita sambil merapikan buku pelajaran yang dipeluknya.
"Oooh, berarti sudah mateng jadi istri dong ya" sahut Bu Fatma dengan nada menggoda.
Mita tersenyum kaku. "Haha,, Bu Fatma bisa aja."
"Bu Mita sudah ada yang punya belum?"
Mita dalam hati langsung teriak, Waduh, ada apa dengan Bu Fatma hari ini? Udah kayak intel aja pertanyaannya!
"Eumm… saya masih sendiri, Bu."
Plak! Bu Fatma menepuk buku di tangannya sambil menyeringai.
"Nahhh, kebetulan sekali ini, Bu. Ibu mau nggak sama anak saya? Soalnya anak saya sebentar lagi pulang kampung. Dia dapat tugas ngajar di sekolah kita. Jadi kalau kalian mau PDKT gampang, karena satu sekolah."
Mita sampai bengong. Rasanya baru kali ini ada orang tua nawarin anaknya secara langsung, kayak lagi promosi barang obral di pasar.
Tak lama, Bu Fatma masuk ke kelas X MIPA, meninggalkan Mita yang masih syok di koridor.
"Ah, lupakan aja Mita! Bu Fatma cuma bercanda. Iya, bercanda!" gumamnya sambil geleng-geleng kepala, mencoba menepis pikiran aneh.
Mita melanjutkan langkahnya menuju kelas XI IPS¹. Begitu masuk, murid-murid langsung duduk tegak dan memberi salam serempak setelah ketua kelas memberi aba-aba.
"Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Mita membalas salam, lalu mulai mengabsen nama satu per satu. Setelah selesai, tiba-tiba ada yang nyeletuk.
"Bu, gimana hasil ulangan kemaren??"
Suara itu datang dari Anisa, siswi manis yang duduk di depan.
Mita menarik napas panjang. "Banyak yang anjlok."
"Hah?!" seru murid-murid kompak.
"Bu, perasaan jawaban saya benar semua deh. Saya sebelum ulangan rajin baca buku" protes Akmal dengan wajah polos.
"Benar semua kepalamu, Mal. Dari sepuluh soal, yang betul cuma satu" jawab Mita ketus.
Kelas langsung pecah tawa.
"Bu, yang paling tinggi siapa nilainya?" tanya ketua kelas penasaran.
Mita diam sebentar, menyipitkan mata, lalu menatap mereka satu-satu dengan gaya dramatis. Murid-murid pun menunggu dengan wajah penuh harap.
"Yang paling tinggi…" Mita sengaja menggantung ucapannya.
"Gak ada."
"Haahhh…" kelas kompak menghela napas pasrah.
"Masa nggak ada, Bu?" protes Anisa lagi.
"Iya memang nggak ada. Karena yang paling tinggi itu ada beberapa orang, tapi nilainya hampir sama, cuma beda tipis. Paling mentok 85."
"Siapa, Bu?" Akmal masih kepo.
"Fiqa."
Semua murid langsung menoleh ke arah Fiqa, gadis berkacamata di tengah kelas. Wajah Fiqa langsung merah, antara bangga dan malu.
"Nah" lanjut Mita, "karena banyak yang belum tuntas, jadi hari ini kita remedi. Ibu kasih waktu 30 menit buat baca dan ngintip materi. Cukup halaman 20 sampai 23. Soalnya cuma lima."
"Yeaaahhh…" suara campur aduk, antara lega dan nyesek.
"Nanti kalau sempat, kita juga ada sesi tanya jawab buat nambah nilai. Materinya masih sama kayak ulangan kemarin."
___
Hay jangan lupa like dan komen, dan tunggu bab selanjutnyaa🥰