Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Pagi itu udara terasa aneh — bukan dingin, tapi seperti ada sesuatu yang berat menggantung di udara.
Aku bangun lebih cepat dari biasanya, mungkin karena kebiasaan baru yang muncul sejak sistem itu datang.
Entah kenapa, tubuhku jadi seperti punya jam alami sendiri.
Dinda masih tidur, wajahnya tenang.
Ada rasa puas kecil di dada setiap kali aku lihat dia bisa istirahat tanpa wajah tegang seperti dulu.
Beberapa minggu belakangan, kami memang lebih sering tertawa bersama.
Mungkin, sistem ini nggak sepenuhnya buruk.
Aku turun ke dapur, nyalain kompor, dan mulai bikin sarapan.
Tiba-tiba notifikasi muncul di HP yang tergeletak di meja.
[Misi Pagi: Siapkan sarapan untuk istri dengan rasa cinta.]
[Bonus tersembunyi jika suasana hati istri meningkat signifikan.]
Aku senyum kecil.
“Baiklah, Sistem. Kali ini kita bikin sesuatu yang spesial.”
Aku buka kulkas, lihat bahan seadanya: telur, roti, dan sosis.
Nggak banyak sih, tapi cukup.
Sambil masak, aku putar lagu dari ponsel. Lagu yang dulu sering kami dengar waktu masih pacaran.
Suara lembut dari penyanyi itu bikin suasana dapur terasa hangat.
Dan entah kenapa, aku sempat merasa kayak balik ke masa lalu — masa di mana aku belum sibuk mengejar pekerjaan, belum kehilangan arah, belum bikin Dinda kecewa.
“Selamat pagi, Chef,” suara lembut Dinda bikin aku menoleh.
Dia berdiri di pintu dapur, rambut acak-acakan tapi senyum hangat.
“Tumben masak pagi-pagi banget,” katanya sambil nyium aroma roti panggang.
“Aku latihan jadi suami ideal,” jawabku dengan gaya sok serius.
Dia ngakak. “Wah, jangan-jangan kamu ikutan challenge dari internet tuh, yang suami romantis tujuh hari?”
Aku senyum kecil. “Anggap aja gitu.”
Dia duduk di meja, nunggu sarapan tersaji.
Aku taruh piring di depannya — roti panggang isi telur dan sosis, ditambah teh hangat.
Sederhana, tapi kelihatannya cukup menggugah selera.
Dia nyicip satu gigitan, lalu berhenti sebentar.
Aku menahan napas, takut rasanya aneh.
“Enak, Rak,” katanya pelan. “Serius, kamu makin jago aja masak.”
Aku tertawa lega. “Mungkin karena bahannya dari cinta.”
Dinda nyengir. “Duh, gombalan receh pagi-pagi.”
Kami berdua tertawa.
Dan di tengah tawa itu, sistem tiba-tiba berbunyi.
[Misi selesai. +30 Poin Kehangatan.]
[Bonus didapat: Skill “Intuisi Emosi Lv.1.”]
Aku berhenti sejenak. “Intuisi Emosi?”
[Kemampuan untuk merasakan emosi pasangan secara samar melalui kontak langsung atau jarak pendek.]
Menarik juga.
Tapi jujur, sedikit aneh.
Siangnya, aku duduk di ruang tamu sambil baca dokumen lamaran kerja.
Sudah beberapa hari ini aku coba kirim CV ke beberapa perusahaan.
Kalau sistem ini bantu aku jadi suami lebih baik, mungkin saatnya aku juga beneran perbaiki hidupku sendiri.
Sambil ngetik di laptop, aku lihat dari jendela — Rian lagi berdiri di depan rumahnya, lagi-lagi dengan ekspresi kosong.
Dia kelihatan kayak orang nunggu sesuatu.
HP-nya di tangan, tapi dia nggak ngapa-ngapain.
Entah kenapa, aku tiba-tiba pengin nyapa.
Mungkin karena sejak terakhir kali kami ngobrol, aku masih kepikiran.
Jadi aku keluar aja.
“Pagi, Pak Rian!”
Dia menoleh pelan. “Pagi juga, Raka.”
“Lagi nunggu ojek, ya?”
“Bukan. Lagi nunggu instruksi.”
Aku refleks mengernyit. “Instruksi?”
Dia menatapku lama, lalu tersenyum tipis. “Ah, cuma istilah kerjaan. Kamu sekarang sibuk apa?”
Aku cepat-cepat alihkan topik. “Lagi nyari kerjaan lagi, Pak. Sekalian belajar jadi suami baik.”
Dia menatapku lama, seolah menilai sesuatu dari ekspresiku.
Akhirnya dia bilang pelan, “Kadang perubahan itu nggak datang tanpa alasan, Raka. Hati-hati kalau sesuatu terasa terlalu mudah.”
Aku hanya bisa mengangguk.
Setelah dia masuk rumah, jantungku berdetak agak cepat.
“Lagi-lagi ngomong aneh,” gumamku.
Sore hari, Dinda pulang lebih awal.
Kami duduk di teras sambil minum es teh.
Dia terlihat santai, tapi matanya memperhatikan aku lama.
“Kamu kenapa sih, akhir-akhir ini kayak ada yang kamu sembunyiin,” katanya tiba-tiba.
Deg.
Aku langsung gugup.
“Nggak, cuma… lagi banyak mikir aja.”
“Mikir apa? Kamu tuh beda, Rak. Lebih tenang tapi kayak… ada yang kamu rencanain.”
Aku berusaha tetap tersenyum. “Mungkin karena aku mulai belajar ngatur diri. Supaya nggak bikin kamu khawatir terus.”
Dia mengangguk pelan, tapi ekspresinya belum sepenuhnya yakin.
Aku pengin jujur, pengin cerita soal sistem ini… tapi aku takut dia malah ngerasa aneh atau nggak percaya.
Jadi aku tahan dulu.
[Peringatan: Emosi pasangan terdeteksi - Curiga ringan (35%).]
Aku melirik HP cepat-cepat, terus matiin layarnya.
“Curiga ringan” katanya. Yah, jelas aja, siapa yang nggak curiga kalau suaminya tiba-tiba berubah total.
Aku coba ubah suasana.
“Eh, besok kamu libur, kan?”
“Iya. Kenapa?”
“Gimana kalau kita ke taman kota? Piknik kecil-kecilan.”
Dia tersenyum tipis. “Udah lama nggak jalan bareng, ya?”
“Makanya. Sekalian nostalgia.”
Wajahnya mulai cerah.
[Emosi pasangan berubah: Senang (75%).]
Aku tersenyum puas.
Oke, mungkin aku masih bisa jaga keseimbangan ini — antara rahasia dan kebahagiaan.
Malamnya, waktu aku beresin piring di dapur, sistem muncul lagi.
[Pembaruan Sistem Tersedia.]
[Fitur baru: “Mode Sinkronisasi.”]
[Deskripsi: Menghubungkan dua pengguna sistem dalam radius 100 meter.]
Aku berhenti gerak. “Sinkronisasi…?”
[Peringatan: 1 pengguna lain dengan frekuensi sistem serupa terdeteksi di area sekitar.]
Aku langsung tahu siapa maksudnya.
Rian.
Tapi kali ini aku nggak panik.
Aku hanya menarik napas panjang dan menatap layar itu lama.
“Kalau kamu mau nyambungin aku sama dia, sistem… tolong jangan sekarang.”
[Mode Sinkronisasi ditunda.]
Aku matikan HP.
Entah kenapa, meskipun rasa penasaran besar banget, aku ngerasa belum siap.
Belum saatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku, sistem, dan Rian.
Sekarang fokusku cuma satu:
Menjaga hubungan ini tetap utuh, apapun yang terjadi.
Malam mulai tenang.
Dinda udah tidur lebih dulu, sementara aku duduk di balkon sambil ngopi.
Hujan rintik-rintik turun pelan, dan dari jauh aku lihat lampu rumah Rian masih menyala.
Bayangannya kelihatan dari balik tirai — dia duduk di depan layar, sama sepertiku.
Entah kenapa, perasaan aneh muncul di dada.
Kayak… ada sesuatu yang menghubungkan kami tanpa kami sadari.
Tapi aku memilih untuk nggak mikirin itu dulu.
Untuk malam ini, aku cuma pengin menikmati kopi hangat dan suara hujan.