Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Kencang di Celana
Setelah empat prajurit yang sempat menghadang melarikan diri dengan dalih “mundur”, kereta dan pedati kuda rombongan Kentang Kebo melanjutkan perjalanan menuju pusat Kota Karang Lindur, ibu kota Kadipaten Ombak Lelap, salah satu kadipaten pesisir yang dimiliki oleh Kerajaan Pasir Langit. Namun, Karang Lindur termasuk agak jauh dari pantai.
Ketika jalan di depan menikung dan tertutup oleh kebun tebu plus pagar bambunya, terdengar suara keramaian karena banyaknya manusia yang bergerak, seperti suara lari kaki, suara gesekan benda, hingga suara napas yang terengah-engah. Suara terengah itu bukan jenis kepuasan, tetapi suara terengah karena jiwa yang tegang.
Namun, hanya Kentang Kebo yang mendengarnya. Adapun kelima abdinya yang bertingkah OKB alias Orang Kaya Baru, tidak mendengar sama sekali, seolah-olah mereka sedang berada di alam jin. Itu terjadi karena indera pendengaran Kentang Kebo selaku orang sakti sesensitif pendengaran ayam. Jangan ditanya seberapa tajam pendengaran seekor ayam, yang pasti tidak bisa dibandingkan dengan tajamnya sembilu.
Meski bisa menduga kondisi yang terdengar tapi belum terlihat itu, Kentang Kebo tetap duduk bersandar santai di kursi keretanya. Maklum, orang sakti. Akan lucu jadinya jika orang sakti terlihat panik atau gelisah.
Akhirnya kereta dan pedati kuda itu bergerak menikung mengikuti jalan tanah yang kering. Pemandangan yang awalnya terhalang oleh kebun tebu, akhirnya terbuka lebar. Suoto, Marno, Puyul, Indah dan Ampila memandang serius apa yang ada di depan sana, tetapi Kentang Kebo tetap santai karena dia sudah menduganya.
Suoto dan Puyul selaku pengendali kuda dua kendaraan tersebut, menghentikan laju kuda.
Di depan sana, sejauh dua kali lemparan mangga muda, ada puluhan prajurit berseragam biru-biru bersenjata tombak sebagian dan sebagian lagi bersenjatakan pedang. Semuanya memegang tameng kayu tebal berpola lingkaran, seperti tameng superhero Kapten Kasarung.
Formasi dari pasukan kadipaten itu menunjukkan bahwa mereka siap berperang. Itupun artinya mereka telah menunggu kedatangan rombongan Kentang Kebo yang beberapa menit lalu sempat dihadang oleh empat prajurit dari mereka.
Formasi itu sangat ketat karena menutup jalan. Seekor tikus pun mungkin tidak bisa lewat, apalagi para prajurit itu tidak geli terhadap hewan pengerat.
Di belakang barisan pasukan prajurit yang dua lapis, ada satu regu pasukan prajurit berkuda yang dipimpin oleh seorang perwira. Perwira itu terlihat menonjol, tapi bukan karena otot dadanya yang lebih besar dan keras, melainkan terlihat dari asesoris yang dia kenakan di kepala dan kedua lengannya. Senjatanya pun hanya sebilah keris yang diselipkan di depan perut. Semakin tinggi kesaktian dan kedudukan seorang prajurit, biasanya senjatanya semakin lebih kecil dari anak buahnya.
Meski kelima abdi Kentang Kebo memandang serius kepada pasukan yang menghadang, tetapi kelima orang itu lagi-lagi tidak cemas. Lagi-lagi pula, mereka sudah pernah melihat jumlah pasukan yang lebih banyak dari yang mereka lihat saat ini. Mereka pun sudah pernah mengurusi lebih seratus mayat yang dibunuh oleh Kentang Kebo dalam waktu singkat.
“Wuahahaha! Cari mata!” teriak Suoto yang didahului dengan tawa yang tidak tulus alias tawa yang dipaksakan.
“Cari mati, Suoto!” ralat Marno. “Bukan cari mata karena mereka semua punya mata.”
Kali ini Kentang Kebo tidak tertawa mendengar kekeliruan Suoto yang memang terjadi secara alami.
“Terserah aku mau berkata apa, Marno. Mulut mulutku sendiri. Aku ini Abdi Nomor Satu!” debat Suoto arogan.
“Huh! Nomor satu saja bangga, padahal nomor tiga itu lebih besar dari satu,” dengus Marno mendumel.
“Eh?” terkejut Suoto mendengar kata-kata Marno, sampai-sampai dia menengok kepada rekannya itu.
Kali ini dia berani menengok, karena kuda penarik kereta sedang tidak berjalan. Jikalau pun kedua kuda itu menengok, setidaknya kereta kuda tidak ikut berbelok arah.
“Iya ya, nomor tiga lebih besar dari satu, ya,” ucap Suoto pelan dengan kening mengerut, serius berpikir. Otaknya membenarkan perkataan Marno.
“Jadi, kau jangan sombong,” kata Marno dengan lirikan sinis dan merasa menang karena berhasil mengerjai pikiran Suoto, yang dia sudah tahu serendah apa tingkat kecerdasannya.
Kentang Kebo sendiri tidak mempedulikan perdebatan dua abdinya itu.
Srek srek srek!
“Wuaah!” pekik Suoto dan Marno kompak saat tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kemunculan mendadak sejumlah prajurit dari dalam kebun tebu.
Sebanyak belasan prajurit berseragam biru-biru muncul di sela-sela pohon tebu di samping kiri jalan. Tangan mereka langsung berbekal anak panah yang sudah terpasang di busur dan telah ditarik kencang. Tinggal menunggu perintah pelepasan. Bidikan terarah jelas kepada Kentang Kebo dan kelima abdinya. Jarak bidik pun terbilang dekat, sejauh dua galah yang biasa digunakan untuk mencuri mangga tetangga.
“Hahahak!” tawa Suoto dan Marno setelah sempat terkejut.
Meski kemunculan pasukan prajurit panah sangat mengancam, tetapi itu tidak membuat Suoto dan Marno takut, terbukti mereka tertawa. Seolah-olah kondisi itu hanyalah prank. Sikap Abdi Nomor Satu dan Tiga itu membuat Kentang Kebo hanya tersenyum.
Namun, berbeda dengan Puyul dan dua istri yang bersamanya. Bukan Puyul istrinya dua, tetapi dua wanita yang berstatus istri. Jangan salah paham.
Mereka bertiga dilanda sedikit rasa cemas. Suoto dan Marno bisa tetap tenang karena Kentang Kebo satu kendaraan dengan mereka. Namun Puyul, Indah dan Ampila, mereka bertiga tidak satu kendaraan dengan sang majikan. Meski sudah mengakui kesaktian sang majikan, tetapi kondisi saat itu membuat mereka kembali memiliki keraguan bahwa mereka akan aman apa pun kondisi dan cuacanya.
Wajah Puyul, Indah dan Ampila terlihat agak tegang, tidak seperti Suoto dan Marno yang sangat rileks dengan tawanya.
“Panah!” teriak komandan berkuda di belakang pasukan dua baris di depan sana.
Set set set!
Ketika mendengar teriakan komando itu, Suoto dan Marno seketika berhenti tertawa karena ada rasa khawatir yang muncul saat itu juga, seperti percikan listrik yang korslet. Mereka khawatir jika majikannya telat menggunakan kesaktiannya.
Sementara Puyul, Indah dan Ampila sudah memikirkan mati karena pada saat yang sama para prajurit yang ada di sisi kiri mereka melepaskan anak panahnya.
Sebanyak kurang dari dua puluh anak panah melesat sangat cepat meninggalkan busurnya. Namun, dunia seperti berhenti beroperasi. Belasan anak panah itu mematung dan melayang di udara. Belum ada satu pun anak panah yang sampai kepada target. Para anak panah itu terhenti hanya satu jengkal dari wajah, dada dan tubuh Kentang Kebo dan kelima abdinya.
Komandan dan semua prajurit kadipaten yang hadir hanya bisa terkejut melihat kejadian aneh tapi nyata itu.
Nyaris copot jantung Puyul, Indah dan Ampila melihat batang-batang anak panah yang diam melayang sangat dekat dengan mereka.
Wajah Suoto dan Marno pun terkejut dengan mata terbeliak.
“Haha! Hahaha!” tawa Suoto. Awalnya hanya dua kali “ha” dia tertawa sebagai transisi dari keterkejutan kepada tertawa. Setelahnya, barulah dia tertawa yang terdengar canggung dan dipaksakan.
“Hehehe!” Sementara Marno hanya cengengesan melihat nyawanya hampir melayang.
Kelima abdi itu tahu bahwa kesaktian Kentang Kebo sedang mode aktif. Kelimanya sudah berangsur kembali tenang karena fakta menunjukkan bahwa majikan mereka melindungi.
“Puyul!” panggil Kentang Kebo tanpa menengok ke belakang.
“Hamba, Gu-gusti Pendekar!” sahut Puyul yang ada di pedati kuda di belakang kereta kuda. Namun, sangat jelas terdengar suaranya gemetar dan tergagap.
“Punguti anak panah itu!” perintah Kentang Kebo, lagi-lagi tanpa menengok. Pandangannya tertuju lurus kepada komandan prajurit di depan sana.
“Baik, Gusti Pendekar!” sahut Puyul.
Puyul lalu meraih satu anak panah terdekat. Setelah itu, dia berdiri hendak menjangkau anak panah lainnya yang menggantung di udara. Namun, Puyul terkejut. Pasalnya, ketika berdiri, kedua kakinya gemetar di tempat.
“Kakang Puyul!” pekik Indah terkejut kepada suaminya. Lalu tanyanya dengan tatapan seperti marah, “Kau kencing, Kakang?”
Terkejut Ampila serta Suoto dan Marno. Kali ini Kentang Kebo harus ikut terkejut. Dia dan kedua abdi lelakinya segera menengok ke belakang dan pandangan langsung ditembakkan ke celana Puyul.
“Jiahahahak!” Meledak tawa Suoto dan Marno.
Sementara di pedati kuda, Ampila hanya tertawa cekikikan sembari menutup giginya. Maklum, giginya merah karena terkena lunturan gincu. Sepertinya dia beli lipstik online yang paling murah dan gratis ongkir.
Mereka melihat ada warna basah pada celana Puyul, tepatnya di pusat markasnya.
“Hahaha! Puyul kencang di dalam celana!” teriak Suoto menertawakan suami Indah itu. (RH)