Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Amira tidak menyangka, Angga semakin hari semakin membuat dirinya merasa terkekang dalam batas kesabaran yang tipis. Setiap kata, setiap tatapan, bahkan senyum yang seharusnya menenangkan, kini terasa seperti belenggu yang menyesakkan dada.
Mata Amira berkaca, menatap riak air kolam yang tenang di hadapannya. Setiap gelombang kecil yang terbentuk di permukaan air seolah memantulkan kegelisahan yang ia rasakan di dalam hati.
"Non Amira?" Ucap Mbok Surti mengejutkan.
Amira tersentak, dadanya berdebar, dan segera menyeka wajahnya yang basah oleh air mata. Ia menoleh perlahan ke arah wanita tua yang sudah ada didekatnya. "Mbo-Mbok,"
"Non baik-baik aja?" Tanya Mbok Surti.
Amira mengangguk tanpa suara.
"Si Mbok lihat Non dari arah dapur,"
Amira melirik dapur terbuka yang menghadap langsung ke halaman belakang. Tanpa Amira sadari, entah berapa lama Mbok Surti yang sibuk di dapur memperhatikan dirinya yang sendiri, duduk dengan segala kegelisahan hatinya.
"Kalau Non sakit, Si Mbok siapkan sup hangat dan beberapa obat buat Non, obat tradisional. Insyaallah cepet sembuh." Lanjut Mbok Surti.
"Aku gak apa-apa kok, Mbok." Geleng Amira. "Aku baik--"
“Aku gak apa-apa kok, Mbok.” Geleng Amira pelan. “Aku baik—”
“AMIRAAAAA!”
Seruan itu terdengar nyaring, memecah ketenangan halaman belakang. Amira dan Mbok Surti menoleh cepat ke arah suara. Di ujung jalan setapak, Hilda tengah berjalan mendekati mereka.
Amira beranjak dan menahan diri sejenak, hatinya berdegup kencang. Ada campuran rasa cemas yang sulit ia kendalikan. Matanya menatap Hilda, mencoba membaca maksud di balik wajah ibu mertuanya itu. "Ta-Tante,"
"Ternyata kamu disini?!" Ucap Hilda dengan nada setengah meninggi. "Enak banget ya, kamu santai-santai duduk di halaman!"
"Maaf, Tante. A-aku..."
"Di depan ada tamu arisan saya!" Potong Bila "Kamu siapkan kue dan minuman buat tamu saya sekarang juga!"
"Ma-Maaf, Buk." Mbok Surti menyela, menarik mata Hilda dari Amira. "Biar saya saja yang siapkan, Buk."
Hilda menggeleng dengan wajah geram. "Suruh siapa Mbok ngatur-ngatur?!"
Mbok Surti tertunduk seketika.
"Mbok kan sudah saya tugaskan buat belanja keperluan dapur, kenapa masih di sini?!"
Wajah Mbok Surti mengangkat menatap majikannya lagi. "Ta-Tapi, Buk..."
"Mau saya pecat?!"
"Tidak, Buk." Geleng Mbok Surti. "Ba-baik kalau begitu, saya permisi pergi dulu."
Hilda hanya melambaikan tangan, seolah menuntun wanita yang sudah lama bekerja bersama mereka itu pergi. Tatapan Mbok Surti penuh perhatian dan kehangatan, namun Amira tahu, di balik langkah tenang wanita tua itu, ada rasa khawatir yang mendalam untuknya. Dan, satu-satunya orang yang peduli padanya saat ini hanyalah Mbok Surti.
“Heh!” Hilda mendorong bahu Amira dengan tegas, hampir membuat anak menantunya terhuyung ke belakang.
Mata Amira melebar, terkejut oleh dorongan itu.
“Bengong, lagi! Kamu gak denger apa yang saya perintahkan?!” Seru Hilda, nadanya setengah marah, setengah kesal. Wajahnya memerah, dan matanya menatap Amira dengan campuran kemarahan dan rasa geram yang sulit disembunyikan. Nyaris, seperti sebuah kebencian.
Amira menelan ludah, menyeimbangkan dirinya, dan menatap Ibu mertuanya lagi dengan hati yang berdegup kencang. "Ba-baik, Tante."
"Saya tunggu kamu di depan!"
"Baik, Tante."
"SEKARANG!"
****
Amira berdiri di depan meja dapur, tangannya cekatan menyiapkan kudapan kue dan minuman untuk Hilda dan teman-temannya. Ia mengambil piring pipih yang ukurannya cukup untuk menata beberapa jenis kue.
Dengan sedikit gemetar, ia mulai menata kue satu per satu di atas piring porselen berwarna gading itu. Setiap potongan disusun dengan jarak yang sama, sisi-sisinya dibersihkan dengan tisu lembut agar tak ada remah yang tersisa. Setiap gerakannya penuh perhatian—lebih tepatnya, teliti. Sebab ia tahu benar, salah sedikit saja, Ibu mertuanya itu bisa langsung marah tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan.
Kemudian, ia mengatur gelas-gelas cantik di atas nampan, menuangkan teh hangat dan menambahkan hiasan daun mint di atasnya. Sesekali, ia juga menoleh ke arah pintu, memastikan tak ada langkah Hilda yang tiba-tiba muncul untuk memeriksa hasil kerjanya. Ia sudah hafal betul—wanitaitu punya kebiasaan masuk tanpa suara, lalu berdiri di belakangnya, menilai tanpa banyak bicara, sebelum akhirnya mengomentari hal kecil yang luput dari perhatiannya.
Setelah dirasa semuanya sudah selesai, Amira menatap hasil kerjanya untuk terakhir kali—kue tertata rapi di piring pipih, minuman disusun simetris di atas nampan perak yang berkilau di bawah cahaya matahari. Tidak ada remah, tidak ada noda, semua terlihat sempurna. Setidaknya, cukup sempurna untuk menghindari amarah Hilda.
Dengan hati-hati, Amira mengangkat nampan itu. Beratnya tidak seberapa, tapi entah mengapa tangannya terasa tegang, seolah setiap langkah yang akan ia ambil mengandung risiko tersendiri. Ia tahu, satu kesalahan kecil saja—nampan miring, gelas bergeser, kue terjatuh—bisa mengundang tatapan tajam dan komentar dingin dari ibu mertuanya.
Ia berjalan perlahan keluar dari dapur. Suara langkahnya yang lembut berpadu dengan derit halus lantai marmer, menandakan pergerakannya yang penuh kehati-hatian. Dari kejauhan, terdengar tawa dan percakapan ringan—suara wanita-wanita paruh baya yang sedang bersenang-senang, diselingi nada lembut Hilda yang terdengar jelas, berwibawa namun menusuk hati bagi Amira.
Semakin dekat ke ruang tamu, semakin berat langkahnya. Ia bisa mendengar bagaimana tawa mereka menggema, bagaimana setiap kata yang diucapkan penuh kesan berkelas dan formalitas sosial yang harus ia jaga.
Perlahan, Amira melangkah lagi. Cahaya dari lampu gantung kristal di ruang tamu membuat wajah para tamu tampak bersinar—ibu-ibu berpakaian elegan, duduk melingkar sambil menyesap teh. Hilda duduk di kursi utama, mengenakan dress berwarna lembut dan terlihat mahal, wajahnya tampak berseri di hadapan para tamu, seolah seluruh rumah ini adalah panggung kecil yang harus dijaganya tetap sempurna.
“Pe-permisi,” ucap Amira lirih. Suaranya memecah riuh tawa dan percakapan ringan di ruang tamu. Seketika, suasana menjadi hening. Semua mata terarah padanya—tatapan-tatapan yang seolah menelusuri setiap detail dari wajah, pakaian, hingga cara ia membawa nampan di tangannya.
Amira bisa merasakan tengkuknya hangat, seolah sorotan itu terlalu berat untuk ditanggung. Ia menunduk sopan, mencoba menenangkan diri, lalu perlahan melangkah mendekat ke meja tamu.
"I-ini siapa, Jeng?” tanya salah satu tamu, nada suaranya terdengar ingin tahu, disertai senyum tipis yang penuh rasa penasaran.
"Ini menantu jeng Hilda?" Celetuk wanita lainnya, menebak.
Amira melempar senyum setelah menghidangkan minuman dan beberapa kudapan kue ia tata rapi sempurna di atas meja kaca. "Sa-saya..."
“Apa, Jeng? Menantu?!” potong Hilda cepat, nada suaranya meninggi dan disertai tawa yang terdengar menohok. Ia menatap Amira dari ujung kepala hingga kaki, lalu menoleh pada para tamunya sambil tersenyum sinis. "Ini pembantu saya, jeng!" Jelasnya, suaranya tegas dan dingin.
Sekejap suasana di ruang tamu seolah membeku. Amira menatap ibu mertuanya dengan mata membesar, tubuhnya kaku. Ucapan itu terasa menampar keras—lebih menyakitkan dari tawa ejekan mana pun.
Para tamu yang semula masih tersenyum kini saling berpandangan, beberapa pura-pura menunduk, sebagian lagi menahan ekspresi terkejut. Salah satu dari mereka berdeham pelan, mencoba mencairkan suasana, tapi Hilda sudah terlanjur menatap Amira dengan tatapan penuh tekanan.
"Kira saya menantu Jeng Hilda,” tanggap salah satu tamu, suaranya terdengar ringan tapi penuh rasa ingin tahu. Ia menatap Hilda dan Amira secara bergantian, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Soalnya lumayan cantik, ya. Wajahnya lembut.”
" Ya ampun, jeng!" Tepis Hilda cepat sambil mengibas tangannya ke udara, seolah ucapan tamunya tadi sesuatu yang lucu sekaligus mustahil. "Mana mungkin si saya punya menantu modelan pembantu seperti dia ini?!"
Amira yang masih berdiri di sisi meja, tubuhnya seolah membatu. Nampan di tangannya bergetar halus. Pandangannya menunduk, tapi matanya mulai memanas, menahan air mata yang nyaris jatuh.
"Airlangga alias Angga anak saya itu seorang CEO perusahaan terkenal, tampan, mapan, pintar, sukses. Mana mungkin mendapatkan seorang istri seperti pembantu saya ini?" Cecar Hilda. "Kalaupun saya punya menantu nanti, saya tidak akan memperlakukannya seperti seorang pembantu. Saya akan ajak dia pergi ke mall, belanja bareng, nyalon dan sebagainya. Karena, Angga itu harus memiliki wanita yang setara dengan keluarga saya."
Suara Hilda terdengar cukup dekat untuk sampai ke telinga Amira—terlalu dekat, bahkan. Seolah sengaja diarahkan padanya, bukan sekadar percakapan biasa. "Gak sembarangan!" Tambahnya sambil melirik Amira yang sedari tadi hanya tertunduk.
Beberapa tamu terkekeh kecil, mencoba ikut tertawa meski wajah mereka tampak kaku. Namun bagi Amira, suara tawa itu seperti gema penghinaan yang memantul terus-menerus di kepalanya.
“Heh,” suara Hilda terdengar tajam, disusul tepukan di bahu Amira—keras, membuat tubuhnya sedikit tersentak. “Kenapa masih di sini, si? Udah sana pergi!" Matanya menyipit penuh ketidaksabaran. “Beresin dapur! Setelah itu kolam di belakang—airnya kotor banget, kamu gak liat?!”
Nada suaranya meninggi di akhir kalimat, membuat beberapa tamu yang masih duduk di ruang tamu saling berpandangan canggung. Tapi Hilda sama sekali tak peduli. Ia berdiri tegak, menatap Amira seperti menatap seseorang yang tak pantas berada di hadapannya.
Amira menunduk dalam, kedua tangannya menggenggam ujung bajunya erat-erat. “Baik, Tante,” Jawabnya pelan.
"Tante?” bisik salah satu tamu pada temannya di sebelah, nada suaranya setengah berbisik tapi cukup jelas untuk terdengar di telinga Hilda.
" Ah," Hilda menoleh ke arah temannya. "Dia ini selalu menyebut saya dengan panggilan itu kalau Ibu. Kesannya jadi saya terlalu tua."
Tamu yang bicara tadi membulatkan bibirnya, lalu mengangguk cepat dengan senyum canggung. “I-iya, Jeng… maaf, saya refleks aja. Soalnya semua orang biasanya manggil ‘Ibu atau kanjeng’…”
Hilda hanya tertawa—tawa yang terdengar ringan, namun sarat dengan nada sinis yang sulit disembunyikan. Ia melirik ke arah Amira, pandangannya tajam namun tersenyum palsu, seolah menegaskan siapa yang berkuasa di ruangan itu.
Sedangkan Amira, yang sedari tadi duduk di ujung kursi dengan tubuh menunduk sopan, meremas jemari di pangkuannya. Ia tidak berani menatap siapa pun, apalagi Hilda. Suasana di ruang tamu terasa sesak meski penuh canda tawa.
Saat itu juga, ia beranjak. Gerakannya pelan, hati-hati agar tidak menarik perhatian siapa pun—terutama Hilda. Namun, tetap saja, setiap langkah kecilnya terasa berat, semua mata masih mengunci padanya. "Ma-maaf semuanya. Saya permisi dulu,"
Amira mulai berbalik dan berjalan meninggalkan ruang tamu sambil menggigit bibir bawahnya, menahan getar yang nyaris pecah di tenggorokannya. Nampan di tangannya bergetar halus. Begitu tiba di dapur, ia menarik kursi lalu terduduk lemas dan mulai menangis, memecah rasa sakit yang sedari tadi ia tahan.
****