NovelToon NovelToon
Kurebut Suamiku

Kurebut Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:9.7k
Nilai: 5
Nama Author: megatron

Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.

Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.

Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.

Lantas, dapat kah Lania mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Itu... Anak Kita, Atau...?

Sesaat setelah tiba di rumah, Lania membuka album, menatap satu foto. Sagara memeluk dari belakang di tepi pantai, di hari ulang tahun pernikahan mereka. Senyumnya—bahagia sekali.

“Dia lupa momen ini,” kata Lania pelan. “Tapi aku belum. Dan aku akan buat kamu ingat, Sagara. Bukan karena aku tak rela kehilanganmu. Tapi karena aku ingin kamu memutuskan sendiri, bukan diarahkan oleh bisikan-bisikan manis dari seseorang yang ‘selalu ada dan memiliki kecenderungan ikut campur’.”

Lania menangis tersedu-sedu. Perlahan tangis mereda, dia menutup album dan berdiri.

“Adisty seharusnya tahu cara menempatkan diri. Supaya tidak salah tempat berdiri,” monolog Lania di depan kaca meja rias.

Ketika Lania meletakkan hasil USG di kantor tadi, Lania melihat perubahan wajah Adisty—mata wanita itu tak setenang sebelumnya.

“Aku tak akan menyerah begitu saja,” ucap Lania tegas.

Ruangan itu sunyi. Tirai jendela setengah tertutup, membiarkan cahaya lembut sore masuk membias ke meja kayu cokelat tua. Aroma susu cokelat mengendap di udara.

Pintu kamar diketuk dari luar, Lania menoleh, ketika mendengar pintu terbuka, dia tahu siapa yang masuk. Sagara berdiri di sana, memandang dengan sejuta tanya.

“Lania,” sapa Sagara.

Langkahnya pelan. Tidak terburu-buru. Tidak ragu.

“Kamu tidak sibuk?” tanya Lania, masih berdiri di dekat meja rias.

Sagara tak langsung menjawab. Dia duduk perlahan ke atas kasur, matanya menatap wajah Lania dengan ekspresi rumit—campuran kenal, asing, dan tertahan.

“Tidak,” jawabnya akhirnya. “Aku masih bimbang.”

Dengan tenang, Lania duduk di sofa berbentuk persegi. “Aku tahu kamu belum mengingat semuanya. Tapi aku juga tahu... kamu tidak sepenuhnya lupa.”

Tarikan napas Sagara begitu dalam. Dia mengambil album kecil yang ada di atas kasur. Jemari besarnya membalik lembaran tebal satu per satu.

“Aku lihat foto-foto ini,” ujarnya. “Ada yang terasa akrab... tapi buram. Seperti mimpi yang setengah teringat.”

Dalam keheningan panjang, Sagara meneliti tiap foto. Dia sudah sampai di lembar terakhir. “Sialnya, yang paling aku ingat jelas... kamu bilang ingin pisah.”

Kali ini, Lania menimbang keputusan untuk mendekat. Dia tetap pada posisi, duduk di kursi seberang Sagara. “Itu benar. Tapi kamu lupa alasan aku minta pisah.”

Kepala terangkat perlahan, Sagara menatapnya. “Karena aku terlalu sibuk?”

“Bukan hanya itu.” Lania menatapnya lekat. “Karena aku merasa kamu bosan sama aku. Karena kamu lebih percaya orang lain dibanding aku. Karena Adisty... mulai mengambil ruang yang bukan miliknya.”

Jemari menggenggam sisi album, Sagara menunduk. Suasana mendadak tegang.

“Dia bilang... kamu kecewa karena terlalu cemburu.”

Dada seperti tertusuk sembilu, Lania tersenyum pahit. “Tentu. Karena aku tidak ingin wanita lain mengambil alih hidupmu yang seharusnya hanya untukku. Kamu pikir itu cemburu? Mungkin. Tapi itu juga cinta. Dan kamu dulu tahu bedanya.”

Hening beberapa detik.

Kening mengernyit singkat, sebelum Sagara menutup rapat kelopak mata. “Lucu ya... ingatan bisa hilang, tapi rasa tetap tinggal.”

Lania menunduk, menahan napas.

Sagara menatapnya lagi. “Aku tidak tahu siapa yang harus aku percaya sekarang. Tapi satu hal... saat kamu duduk di sini, aku merasakan sebuah rumah.”

Lania tersenyum tipis, matanya kembali berkaca-kaca.

“Kalau kamu mau waktu, aku akan tunggu. Aku tidak akan biarkan kamu membangun keyakinan dari potongan ingatan yang salah,” ucap Lania pelan. “Aku akan bantu kamu... mengingat semuanya. Dan setelah itu, kalau kamu tetap ingin pergi, aku akan terima.”

Mata tajam Sagara mulai terbuka. Dia menatap perempuan di depannya. Masih ada kabut di kepala, tetapi sesuatu mulai tampak jelas.

“Sagara, kamu ingin—”

“Aku butuh penjelasan.” Suaranya dalam, tegas. Dia tidak marah, meski ada tekanan di sana.

Lania diam. Pandangan langsung tertuju pada dua foto di tangan Sagara. Ia tahu akhirnya saat itu tiba.

Sagara menatap hasil USG itu lama sebelum meletakkannya di atas meja. Kemudian, beralih pada foto satunya. Lania dan Pandu.

“Itu... anak kita atau...?” tanya Sagara pelan.

Saliva di tenggorokan sulit di telan, Lania menghindari tatapan Sagara. Takut kecewa. Matanya berpaling dari iris hitam pekat yang dulu selalu Lania rindukan. Tatapan memuja suaminya.

“Apa perlu aku jawab?” dengkus Lania, “Anak kita— setidaknya... kalau kamu mengingat sedalam apa hubungan kita.”

Lania menahan napas, mencoba bicara dengan suara yang lebih tenang. “Aku hamil... Aku tidak langsung bilang karena kita sedang terlibat pertengkaran. Dan saat akhirnya aku siap bilang... kamu bahkan hanya mengingat Adisty dan urusan kantor.”

Ada ketegangan dalam sorot matanya, Sagara terdiam—antara bingung, marah, dan terluka.

“Kenapa kamu tidak bilang sejak awal?” tanya Sagara. “Berhenti bertele-tele, kamu tinggal jawab... bahwa bayi yang ada di perut anak kita.”

“Aku ingin bilang begitu,” bisik Lania. “Tapi aku ingin kamu benar-benar hadir waktu aku bicara. Bukan hanya duduk di ruangan yang sama sambil sibuk membuka laptop dan menyuruh Adisty mencatat.”

Napasnya tak stabil, Sagara memalingkan wajah.

Butuh beberapa detik sebelum Lania menjawab. Suara tangisnya pecah saat berkata, “Kalau kamu belum mengingat segalanya, aku bisa membesarkan anak ini sendiri.”

Keheningan turun seperti badai tanpa suara.

“Aku datang ke rumah sakit sendirian. Tidak ada kamu. Tidak ada siapa-siapa. Dan saat aku keluar... kamu bahkan tidak sadar aku pergi semalaman. Pergi ke rumah Mama Yuris.” Satu kebenaran Lania ungkapkan, dia mengadu kepada ibu mertua. Yah, walaupun tidak persis seperti itu, hanya butuh pengalihan.

Meski memorinya tidak lengkap, kata-kata Lania menampar sisi emosi terdalam, Sagara menutup matanya. Dia bingung harus percaya kepada siapa, Lania atau Adisty.

“Aku tidak menuntut mu,” pungkas Lania. “Tapi... aku benar-benar merasa tidak dipilih lagi. Tidak diprioritaskan. Aku bukan istrimu—aku hanya seseorang yang kamu ingat untuk diantar ke acara keluarga.”

Napas Lania tersendat sembari melanjutkan, “... bahkan kini bertambah... secara tidak langsung kamu menuduhku berselingkuh!”

Sagara berdiri pelan, berjalan mendekati Lania. Hujan mulai turun dan air membentur kaca jendela dengan keras.

“Adisty tidak pernah bilang apa pun tentang ini. Dia selalu memberi saran masuk akal ketika kita mulai renggang. Dia tidak pernah menunjukkan rasa tertarik terhadapku. Foto ini diambil dari lama, tetapi Adisty tidak pernah menunjukkan kepadaku.”

Tawa getir terdengar, Lania mengukir senyum pahit. “Tentu tidak. Karena jika kamu tahu tujuan nya... kamu akan menghindar. Dan dia tidak akan biarkan itu terjadi.”

Kediaman Sagara kali ini berbumbu ragu serta gelisah. Logikanya tidak menemukan keganjalan dalam perilaku Adisty selama ini. Akan tetapi, penyataan Lania mengguncang jiwanya.

Dia tahu... ada hal besar yang telah Sagara abaikan. Perasaan bersalah dan takut tanpa alasan kini tumbuh, lebih nyata daripada amnesia itu sendiri.

“Aku akan mencari tahu kebenarannya,” kata Sagara, seperti janji yang wajib terpenuhi sebelum meninggalkan kamar.

Lania kembali terisak, dia menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

1
partini
what the hell ,aihhh bad no good
partini
sehh pelakor di atas angin emang lain
Miu Nuha.
bagus othor ceritanya ☺
,, membangun konflik dn dialog itu gk mudah loh 🤧🤧 tpi ini bagus 👍
Miu Nuha.
dengkus? dengus keknya yaa 🤔
Mega: Terima kasih sudah mampir, kawal sampai tamat ya, luv luv luv more.
total 2 replies
Miu Nuha.
Lania udh hamil loh sagara 🙄🙄
Miu Nuha.
Adisty memanfaatkan hilang ingatan sagara 😩😩
Be___Mei
Nah! Kan! Ular emang. Perempuan kek begini lahir nggak bawa urat malu.
Be___Mei
Dih, nyari muka mulu ni orang
Be___Mei
Cakep Lania ihh. Tenang tapi nyimpen bom waktu.
Be___Mei
Adisty ni ibarat kucing garong yang ngincer makanan kucing lain, perlu dikandangin ni perempuan 😤
Be___Mei
Kerasa banget capeknya pasangan ini 🥺
Be___Mei
lah... Lania bukan Author yang bikin alur cerita ini. Napa jadi nyalahi Lania?? 🤨
Be___Mei
Lah, ini lagi cerita abaaanggghh!!
Be___Mei
Balik lagi ni cewek. Ada fotonya nggak kak Mega? Aku bantu santet deh 😏 mainnya licin banget kek ikan lele
Mega: ada fotonya, nanti aku kirimi Kikikik
total 1 replies
Be___Mei
Gosong dah si Sagara. Coba sabar dulu banggg, kamu tu mudah kepancing sama kabar receh nggak jelas dari Adisty. Ckckkck ...
Elisabeth Ratna Susanti
nah lho........
Memyr 67
𝗄𝖾𝗍𝗂𝗄𝖺 𝗄𝖾𝖻𝗈𝖽𝗈𝗁𝖺𝗇 𝗌𝖺𝗀𝖺𝗋𝖺 𝗆𝖾𝗇𝗀𝖺𝗆𝖻𝗂𝗅 𝖺𝗅𝗂𝗁
Memyr 67
𝗅𝖺 𝖻𝖾𝗀𝗈 𝗃𝗎𝗀𝖺 𝗌𝖺𝗀𝖺𝗋𝖺. 𝗍𝖺𝗎 𝗄𝗁𝖺𝗐𝖺𝗍𝗂𝗋 𝗌𝖺𝗆𝖺 𝗂𝗌𝗍𝗋𝗂𝗇𝗒𝖺, 𝗄𝖾𝗇𝖺𝗉𝖺 𝗃𝗎𝗀𝖺 𝗍𝗂𝖽𝖺𝗄 𝗆𝖾𝗇𝗀𝗁𝗎𝖻𝗎𝗇𝗀𝗂 𝗂𝗌𝗍𝗋𝗂𝗇𝗒𝖺 𝗌𝖺𝗆𝖺 𝗌𝖾𝗄𝖺𝗅𝗂?
Memyr 67
𝗌𝖾𝗉𝖾𝗋𝗍𝗂𝗇𝗒𝖺 𝖺𝖽𝗂𝗌𝗍𝗒 𝗀𝖺𝗀𝖺𝗅 𝗅𝖺𝗀𝗂
Memyr 67
𝗌𝖺𝗀𝖺𝗋𝖺 𝗆𝖾𝗇𝗀𝗀𝖺𝗃𝗂 𝗆𝗈𝗇𝗌𝗍𝖾𝗋 𝗎𝗇𝗍𝗎𝗄 𝖻𝖾𝗄𝖾𝗋𝗃𝖺 𝖽𝗂 𝖽𝖾𝗄𝖺𝗍𝗇𝗒𝖺
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!