Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Tidak Terdaftar
Hari berikutnya, aku duduk di ruang kelas bersama Nayla, teman sekamarku di asrama. Orangnya rame, cepat akrab, dan suka memelintir kata jadi jokes yang bikin aku bingung sendiri.
“Eh, kakak kelompok kita yang cowok itu... yang pendiem tapi ganteng. Si Fatur. Dia siapa sih?” tanyaku.
Nayla berhenti menggigit bolpennya. “Fatur? Yang mana? Kita cuma punya Kak Citra dan Kak Bima. Dua-duanya cewek sama cowok gondrong yang suka teriak-teriak itu.”
Aku menatapnya. “Nggak mungkin. Aku udah ngobrol. Namanya Ale. Jaketnya ada nama ‘Fatur’.”
Nayla tertawa pendek. “Wina, jangan halu. Serius, aku hafal semua panitia. Nggak ada Ale atau Fatur.”
Deg.
Aku tertawa kaku, pura-pura ikut bercanda, padahal tengkukku dingin. Tapi saat aku buka catatan yang kutulis semalam, di antara deretan tugas dan jadwal, ada satu kalimat aneh yang bukan tulisanku:
“Jangan takut. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Tulisannya rapi. Bukan tulisan tangan seperti catatanku yang sedikit miring dan tergesa. Ini lebih tenang, lebih... matang. Dan aku yakin seratus persen, aku tidak menulis kalimat itu. Kertas itu bahkan bukan dari buku yang kubeli di toko kampus—kertasnya agak kekuningan, seperti sobekan dari jurnal tua.
“Wina?” Nayla menyenggol bahuku. “Ngapain bengong? Catatan lo keren juga, kayak surat cinta ke diri sendiri.”
Aku buru-buru menutup buku. “Nggak, cuma nginget jadwal aja.”
“Jadwal atau dia?” godanya. “Masih keinget si ‘Fatur’ itu?”
Aku tertawa hambar, padahal jantungku mulai berdebar tak karuan. Perasaan itu kembali lagi. Perasaan sedang diawasi. Diperhatikan oleh seseorang yang tak terlihat—atau mungkin, tak bisa dilihat oleh orang lain.
---
Siang harinya, aku memberanikan diri menyusup ke ruang panitia. Di balik pintu aula yang setengah terbuka, kulihat beberapa senior sedang membahas teknis acara. Aku mencari-cari sosok Ale. Tapi nihil.
“Permisi, Kak,” sapaku ke seorang panitia perempuan yang sedang mengetik di laptop.
Dia menoleh. “Iya, ada yang bisa dibantu?”
“Maaf... saya cuma mau nanya. Di daftar panitia ospek, ada yang namanya Aleandro Reza Fatur nggak? Atau Ale... Fatur... gitu?”
Ia mengernyitkan dahi, menoleh ke layar. “Nggak ada nama itu di list panitia. Kamu yakin dia panitia?”
Aku mengangguk cepat. “Saya ketemu dia kemarin. Dia bilang dia pendamping kelompok tiga.”
Panitia itu memutar laptopnya ke arahku. “Ini daftar lengkap panitia. Cuma dua pendamping kelompok tiga: Citra dan Bima. Nggak ada yang lain.”
Deg.
Aku menelan ludah. “Oke, makasih, Kak…”
Aku mundur pelan dan keluar dari ruangan. Langkahku terasa ringan tapi juga menggigil. Dunia seperti kehilangan fondasi logisnya. Kalau Ale bukan panitia... siapa dia?
Atau lebih tepatnya: apa dia?
---
Malamnya, aku tak bisa tidur.
Langit kampus tampak pekat dari jendela asrama, dan suara jangkrik seperti menggema dari alam yang lebih jauh. Aku terbaring di ranjang bawah, memeluk buku catatan, dan jantungku berdebar kencang saat samar-samar aku mendengar langkah kaki melewati koridor.
Langkah itu berhenti tepat di depan kamar kami. Hening. Nafasku tertahan.
Lalu...
Tok. Tok. Tok.
Tiga ketukan pelan di pintu.
Nayla terlelap. Aku tak sanggup bangkit. Mataku tertuju pada pintu yang tak bergerak. Lalu kulihat... secarik kertas diselipkan di bawah celahnya.
Aku menunggu beberapa menit sebelum bangkit dengan tangan gemetar. Kukutip kertas itu dan kubuka perlahan.
Tulisan tangan yang sama. Kalimat baru.
“Besok pukul empat sore. Di taman belakang. Ada sesuatu yang harus kamu tahu.”
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup