Rachel sering mendapatkan siksaan dan fitnah keji dari keluarga Salvador. Aiden yang merupakan suami Rachel turut ambil dalam kesengsaraan yang menimpanya.
Suatu hari ketika keduanya bertengkar hebat di bawah guyuran hujan badai, sebuah papan reklame tumbang menimpa mobil mereka. Begitu keduanya tersadar, jiwa mereka tertukar.
Jiwa Aiden yang terperangkap dalam tubuh Rachel membuatnya tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada sang istri selama tiga tahun ini. Begitu juga dengan Rachel, jadi mengetahui rahasia yang selama ini disembunyikan oleh suaminya.
Ikuti keseruan kisah mereka yang bikin kalian kesal, tertawa, tegang, dan penuh misteri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Aiden mengumpulkan semua orang di ruang tengah yang luas dan megah, tempat itu biasanya digunakan hanya untuk menjamu tamu penting. Kali ini, ruangan itu dipenuhi ketegangan yang membungkam.
Lampu gantung kristal berkilauan di langit-langit, tetapi kilauannya tak mampu menyamarkan hawa dingin yang menyusup ke hati setiap penghuni rumah. Semua orang berdiri membentuk setengah lingkaran, wajah mereka tegang, gelisah, dan penuh kecemasan.
Aiden duduk di sofa utama dengan tubuh bersandar dingin, satu kaki diletakkan di atas lutut yang lain. Tatapannya tajam seperti bilah pisau yang siap menebas siapa saja. Wajahnya tidak menunjukkan belas kasih sedikit pun.
Mata pria itu menyiratkan kemarahan yang disimpan rapat-rapat, tetapi bisa meledak kapan saja. Sosoknya bak raja dalam pengadilan, siap menghakimi para pelaku yang sudah terlalu lama merasa kebal.
Nenek Hilda duduk di sofa seberangnya, gelisah. Jemarinya saling meremas dan pandangannya menatap kosong ke depan. Jantung dia berdetak cepat, seolah bisa terdengar oleh semua orang di ruangan itu. Dia tahu, kali ini Aiden tidak sedang main-main.
"Kenapa Aiden sekarang jadi mudah marah dan selalu membela Rachel?" batin Nenek Hilang dengan dada yang bergemuruh. Selama ini, dia bisa mengendalikan cucunya. Tapi sekarang? Aiden seperti sosok yang berbeda, menjadi lebih keras, tegas, dan tidak mudah dibujuk olehnya.
Dari sudut ruangan, Hillary menatap Nenek Hilda. Mata mereka saling bertemu dan sama-sama merasa kecemasan. Hillary menggigit bibir bawahnya, tubuhnya sedikit bergetar. Dia takut Aiden memberi hukuman karena sejak Rachel mengalami kecelakaan, sepupunya itu tak lagi menunjukkan kepedulian kepadanya. Rachel kini menjadi pusat perhatian Aiden dan hal itu membuatnya merasa terancam.
"Apa Rachel mengatakan sesuatu sampai membuat Aiden semarah ini?" pikir Nenek Hilda gelisah. "Bisa gawat kalau sampai itu terjadi. Bisa-bisa kita dimasukkan ke penjara."
Ruangan itu makin sunyi saat Aiden membuka suara, suaranya berat dan menekan, seperti petir yang menyambar dalam keheningan.
"Apa yang kalian lakukan sampai Rachel seperti itu?" tanya Aiden dengan ekspresi dingin dan nada menghakimi. Walau kata-katanya ditujukan kepada semua, tapi matanya mengunci dua orang, yaitu Nenek Hilda dan Hillary.
Suasana seketika membeku. Seolah tidak ada yang berani bernapas keras. Suara detak jam dinding pun terasa seperti palu yang menghantam rasa bersalah para pekerja yang ada di sana.
"Mu-mungkin saja dia ter-jatuh dan ke-palanya terbentur se-suatu yang membuat tubuhnya ter-luka seperti itu," kata Hillary terbata-bata. Suaranya lirih dan bergetar. Kalimat yang meluncur dari bibirnya tak meyakinkan siapa pun bagi yang mendengarnya.
Aiden tersenyum tipis. Bukan senyum ramah, melainkan senyum tajam yang penuh ironi.
"Itu bukan luka orang yang terjatuh, Hillary. Sudah jelas itu luka akibat cambukan. Begitu banyak luka sayatan memanjang di punggung Rachel."
Ucapan Aiden seperti palu godam yang menghantam hati semua orang di ruangan itu.
Hillary langsung pucat. Matanya melirik ke arah Anne, pelayan yang selama ini menjadi sekutunya. Saat Anne mengangguk kecil, barulah Hillary bisa bernapas sedikit lebih lega. Meski begitu keadaan tidak sepenuhnya aman.
Kemudian, suara Aiden kembali menggema dengan nada tinggi. "Kenapa kamera CCTV rusak tidak melapor? Apa aku terlalu miskin untuk membeli yang baru?"
Suasana kembali tegang. Semua pelayan saling melirik. Tak ada yang berani bersuara hingga seorang pria berseragam biru navy maju dengan gugup.
"Maaf, Tuan. Kamera CCTV rusak baru terjadi tadi pagi."
Aiden mendengus sinis. Tawanya tercekat di tenggorokan, lebih menyeramkan daripada tawa keras. Ia tahu betul permainan kotor macam apa yang sedang mereka mainkan. Sudah sering hal serupa terjadi. Hanya saja kali ini dia tidak akan membiarkan mereka lolos.
"Seharusnya kamu segera menghubungi Anne karena dia yang bertanggung jawab atas rumah ini." Tatapan Aiden menukik tajam ke arah kepala pelayan itu.
Anne menunduk, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Dia tahu, ketahuan sedikit saja bisa mengakhiri karier, bahkan hidupnya di rumah ini.
"Maaf, Tuan. Kita tidak fokus ke kamera nomor 13 itu," ujar penjaga itu lagi, makin tidak meyakinkan.
"Sudahlah Aiden. Lagian Rachel sudah mendapatkan pengobatan dari dokter. Dia tidak kehilangan nyawanya, kan?" Nenek Hilda mencoba meredam ketegangan, suaranya datar dan seolah tak peduli.
Aiden menoleh pelan. Sorot matanya dingin, penuh kemarahan yang tertahan. Ia bangkit dari duduknya dan mendekat selangkah.
"Jika hal yang sama terjadi kepada Hillary, apa kita semua juga akan membiarkan pelakunya dan tidak mendapat keadilan?" tanya Aiden pelan namun menampar keras. Suaranya mengandung ancaman yang membuat udara di ruangan makin sesak.
Tidak ada yang berani menjawab. Semua tahu, Aiden telah berubah. Saat ini, mereka sedang berhadapan dengan seseorang yang tak akan mundur sebelum keadilan ditegakkan, meski itu berarti menggulingkan keluarga sendiri.
Dalam benaknya, Aiden memutar kembali semua kenangan tentang perlakuan semena-mena mereka terhadap Rachel. Selama ini, dia memilih diam. Namun, tidak kali ini. Sekarang, dia akan menebus semua ketidakadilan dengan tangan dan kehendaknya sendiri.
"Jika terbukti kalian melakukan kejahatan kepada Rachel, aku tidak akan segan-segan memberi hukuman kepadanya," kata Aiden seperti vonis hakim. "Aku tidak pernah bermain-main dengan Ucapan ku."
Nenek Hilda terkejut bukan main. Bibirnya bergetar, nyaris tak percaya pada kalimat yang baru saja keluar dari mulut Aiden. Suara cucunya itu begitu tegas dan dingin, seolah memutus semua bentuk empati yang dulu pernah ia kenal darinya.
Begitu pula dengan Hillary. Wajahnya memucat seperti baru saja melihat hantu. Detak jantungnya berdegup kencang, nyaris menembus tulang rusuknya. Napas mulai pendek-pendek dan kakinya gemetar hebat. Ia tahu benar, Aiden bukan orang yang bicara tanpa tindakan. Ketika laki-laki itu sudah marah, tak ada satu pun yang bisa menenangkannya.
Pintu ruang tengah tiba-tiba terbuka. Seorang pria bertubuh tinggi dengan pakaian rapi dan wajah serius masuk ke dalam, memecah keheningan yang mencekam. Di tangannya, ia membawa sebuah laptop yang masih menyala.
“Tuan, rekaman CCTV sudah bisa dipulihkan,” ujarnya sambil menyerahkan laptop itu langsung ke tangan Aiden.
Seisi ruangan tersentak. Orang-orang yang merasa bersalah langsung kaku di tempat. Jantung mereka serasa terlepas dari dada. Bagaimana mungkin rekaman yang katanya telah dihapus, kini kembali dalam waktu secepat itu?
***
mendengar srmua doa dan kesakitan Rachrl..
supaya mata Aiden tervelek pada pendeeitaan Rachrk selama ini..
😀😀😀❤❤❤❤
Karena selama ini Aiden ga pernah percaya dg Rachel,,tp mudah diperdaya org" disekelilingnya
Dan bisa ngerasain di cambuk nenekmu
❤❤❤❤❤❤
😀😀😀😀❤❤❤❤