Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33.Rasa yang Sulit di Artikan
Di balik meja marmer berkilau, seorang concierge menyambut dengan senyum profesional. Setiap tamu yang datang seolah langsung tahu: tempat ini bukan sekadar apartemen, melainkan dunia yang berbeda. Dunia yang tidak mengizinkan penghuninya merasa asing.
Aldi—atau Arvian, nama aslinya—menyodorkan kartu akses.
“Permisi, Mbak. Saya mau cari unit kamar ini, bisa tolong dibantu?” suaranya tenang, sedikit berwibawa.
Petugas itu menunduk sopan, menerima kartu akses, lalu memindainya. Senyum ramah tetap terukir di wajahnya.
“Tentu, Pak Arvian. Mari, saya antar ke unitnya.”
Mereka bertiga menuju lift. Koper besar di tangan Aldi terlihat ringan, sementara Keira berjalan di sampingnya sambil menenteng tas, sesekali melirik sekeliling dengan kagum.
Lift berhenti di lantai atas. Begitu pintu terbuka, dunia seakan meluas. Koridor luas dengan dinding panel kayu mahal, diterangi cahaya lampu temaram yang hangat. Dari jendela besar di ujung lorong, kilau lampu kota tampak seperti lautan bintang.
Concierge berhenti di depan sebuah pintu. Dengan gerakan elegan, ia menempelkan kartu akses. Pintu terbuka perlahan, menampilkan ruangan yang mewah.
“Silakan, Pak Arvian. Semua fasilitas sudah tersedia. Semoga nyaman.”
Setelah sang petugas pamit, keheningan langsung menyelimuti ruangan.
Keira melangkah masuk pertama kali. Napasnya tercekat.
Ruang tamu luas dengan sofa kulit abu-abu, dinding kaca setinggi langit-langit yang memamerkan panorama kota. Balkon terbuka menampilkan gemerlap lampu jalan yang berkelip jauh di bawah sana. Di sudut, sebuah grand piano hitam berdiri anggun, menambah kesan elegan.
Ia memandang sekeliling dengan mata berbinar. Rasanya seperti masuk ke dunia lain.
Aldi ikut melangkah masuk, lalu duduk sebentar di sofa, menatap sekeliling dengan ekspresi yang sulit dibaca. Seolah kenangan lama kembali menyeruak.
Tanpa menoleh, ia mulai bercerita. Suaranya pelan, tapi mantap.
Tentang kedua orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan. Tentang Mayang dan Prasetyo yang menjadi orang tua angkatnya. Tentang perusahaan keluarganya yang direbut Darma Hadiwijaya. Dan tentang nama aslinya—Arvian—yang harus disembunyikan bertahun-tahun.
Keira diam mendengarkan, dadanya ikut sesak. Saat Aldi selesai, ia mendekat, berdiri di dekat jendela.
“Apartemen kamu bagus, Mas… sangat bagus, lebih tepatnya,” ucapnya lirih, seolah tak ingin merusak suasana.
Aldi menoleh, menatapnya, lalu tersenyum samar.
“Kamu bisa memilikinya kalau kamu suka, Kei.”
Keira spontan menoleh. Matanya membulat, wajahnya memanas.
“Tidak mungkin… kamu memang suka bercanda, Mas.” Ia tertawa kecil, mencoba meredam kegugupannya.
Namun Aldi tidak ikut tertawa. Tatapannya lurus, serius.
“Aku tidak bercanda, Kei. Aku sungguh serius.”
Detik itu, Keira merasakan sesuatu yang asing menjalari dadanya. Jantungnya berdegup cepat, wajahnya makin panas. Ia buru-buru mundur beberapa langkah, berusaha menghindari tatapan itu.
Sialnya, punggungnya membentur sofa. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, membuatnya nyaris jatuh. Aldi refleks meraih tangannya. Tapi tarikan itu justru membuat mereka berdua terhempas bersama.
Bruk.
Tubuh Aldi menimpa Keira di atas sofa.
Sejenak dunia berhenti.
Mata mereka beradu, hanya sejengkal jarak. Hembusan napas Aldi terasa hangat di wajah Keira, membuat gadis itu menahan napasnya sendiri. Waktu serasa berjalan lambat. Degup jantungnya menggema keras, nyaris memekakkan telinganya sendiri.
Aldi juga tak bergerak. Ada sesuatu di matanya—campuran ragu, gentar, dan perasaan yang sulit Keira tebak.
Beberapa detik terasa begitu panjang. Sampai akhirnya Keira buru-buru berdeham kecil, memecah keheningan. Aldi tersentak, segera bangkit dengan kikuk, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Keira duduk.
“Maaf, Kei. Aku cuma berniat membantu,” ucapnya canggung, nadanya sedikit menyesal.
Keira mengangguk singkat, pipinya masih panas. Ia buru-buru berdiri, mencari alasan untuk pergi. Matanya menangkap sebuah pintu di sudut ruangan. Ia membuka—dan langsung terdiam.
“Mas… di sini cuma ada satu kamar,” ujarnya pelan, nyaris berbisik.
Aldi mendekat, ikut melihat. Reaksi mereka sama-sama kaget. Refleks, mulut keduanya bergerak bersamaan.
“Kalau begitu, biar—”
Kalimat itu terhenti di udara.
Keheningan menggantung beberapa detik. Lalu Keira cepat-cepat menutup mulutnya sendiri, pipinya semakin merona.
“hahaha… kita kenapa sih, Mas,” ujarnya kaku, sambil menggaruk tengkuknya yang jelas-jelas tidak gatal.
Aldi ikut tertawa, tawanya rendah tapi tulus. Tawa mereka menyatu, menyingkirkan rasa canggung yang sempat begitu menekan.
$$$$$
Kayla masih terpaku di depan wastafel. Tatapannya kosong menembus pantulan wajahnya sendiri. Bibirnya bergetar, masih terasa hangat akibat kecupan tiba-tiba dari Leo di depan semua karyawan.
Jantungnya berdegup kacau. Jemarinya gemetar saat menyentuh bibirnya sendiri.
“Itu… tadi…” bisiknya lirih.
Dengan panik ia menepuk pipinya berkali-kali. “Enggak… enggak mungkin. Itu cuma mimpi buruk!” katanya keras, seolah bisa menghapus rasa yang menempel.
Namun perih di pipinya nyata. Kayla menutup wajah dengan kedua tangan.
“Ya Tuhan… ini beneran. Sialan, Leo! Berani-beraninya lo nyium gue kayak gitu!”
Tok! Tok! Tok!
“KEIRA!” suara berat Leo menggema dari luar pintu.
Kayla mendengus, mengacak rambutnya sendiri.
“Kenapa sih orang ini! Jantung gue aja belum balik normal!”
Matanya melebar. Bayangan menakutkan melintas di kepalanya.
“Dia udah berani cium gue… besok? Besok bisa aja dia…” Kayla tercekat, menutup mulut. “Astaga! Jangan sampai gue hamil anak dia. Itu enggak boleh kejadian!”
Tok! Tok! Tok!
Ketukan semakin keras.
“KEIRA!” suara Leo menekan. “Kalau kau tidak keluar, aku yang akan menyeretmu… dan melakukan lebih dari yang baru saja terjadi!”
Wajah Kayla pucat. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu lebar.
Sial bagi Leo—tangan besarnya yang bersandar di pintu kehilangan tumpuan. Tubuhnya terjungkal ke depan.
BRAK!
Pria itu mencium lantai keramik dingin.
Mata mereka sempat beradu sekejap, tapi Kayla malah menghindar ke samping, membiarkannya jatuh.
“Hampir aja…” ia menepuk dadanya lega.
Leo mendongak, rahangnya mengeras. “Kau… sengaja membiarkanku jatuh?!”
Kayla menyilangkan tangan, alisnya terangkat sinis.
“Ya terus gue harus apa? Nyambut lo kayak Cinderella nyambut pangeran? Badan lo segede itu mana bisa gue tahan.”
Leo bangkit perlahan, menahan amarah. Kini berdiri tegak, sorot matanya tajam.
“Kau memperlakukanku begini… setelah aku membelamu di depan semua orang? Aku baru saja membersihkan nama baikmu, Keira!”
Kayla menatapnya dingin, senyum miris di bibirnya.
“Maaf ya, Pak Leo. Tapi gue enggak pernah minta lo main drama begitu. Foto-foto itu aja… gue yakin lo sendiri yang bikin.”
Leo terdiam, tangannya mengepal. Napasnya berat.
“Kau pikir aku berpura-pura? Kau tahu seberapa hancur aku waktu lihat foto kemesraanmu dengan Revan?”
Kayla melangkah maju, jarak mereka nyaris sejengkal.
“Hancur? Cemburu?” ia terkekeh getir. “Leo… lo enggak cemburu. Lo cuma iri. Iri karena gue bisa bahagia, sementara lo tenggelam dalam dendam lo sendiri.”
Ucapannya menusuk. Leo tercekat, dadanya naik-turun menahan sesuatu yang tak bisa ia ucapkan.
Kayla menepuk dadanya sekali, lalu melangkah pergi.
“Lo enggak pernah benar-benar berubah.”
Pintu tertutup. Sunyi menyergap. Leo terdiam membeku, tatapannya kosong.
Namun tanpa mereka sadari, seseorang berdiri di balik dinding. Sepasang mata berkilat puas, bibirnya melengkung menyimpan rahasia.
“Jadi begitu…” bisik suara itu pelan, nyaris tak terdengar.
Senyum samar terbit, lalu langkah ringan terdengar menjauh, meninggalkan lorong.
.
.
.
Bersambung..
Keira lebih baik jujur saja. tapi aku tau maksud dari diam mu.