Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hidup di dunia lain
Pagi kedua di rumah Nyai Laras. Danu duduk di beranda, mengenakan jaket almamater yang sudah mulai pudar warnanya. Tangan kirinya memegang gelas teh panas, sementara tangan kanan memegang ponsel. Jari-jarinya ragu-ragu mengetik pesan.
“Pak Dosen, saya izin tidak hadir kelas minggu ini karena ada urusan keluarga di luar kota. Terima kasih.”
Dikirim.
Ia menghela napas panjang. Ini sudah hari kedua ia membolos. Padahal minggu depan ada kuis Matematika Diskrit, dan tugas kelompok yang belum ia kontribusikan.
Tak memerlukan waktu lama, Danu kembali mengotak-atik ponsel nya, dan kini tujuan nya untuk menelepon sahabatnya di kota, Bayu.
“Bay, lu percaya enggak... kalau gua tiba-tiba dikasih rumah gede dan dibilang udah nikah sama janda umur 60?”
Di ujung telepon, Bayu tertawa terbahak. “Bro, lu lagi mabuk kopi? Atau kelelahan skripsi?”
“Gua serius, Bay. Gua di desa antah-berantah. Semua orang yakin gua suaminya janda itu. Bahkan dokumen hukum pun begitu. Dan... ada yang lebih aneh, Bay. Gua liat Lukisan jaman dulu yang wajahnya sama persis seperti gua"
“Lu harus pulang, Nu. Biar gua jemput. Kalau perlu bareng anak-anak. Lu butuh realita.”
Danu terdiam.
“Iya... gua juga mikir gitu“
Bayu menghela napas di seberang. “Hati-hati, Bro. Jangan lama-lama di tempat aneh. Mending sekarang lo Share lock ada dimana, Gua susul!”
Tut.
Panggilan diputus sepihak.
Danu memandangi layar ponselnya yang menampilkan panggilan berakhir. Ia ragu sejenak, lalu mulai mengetik lokasi.
Namun, saat hendak menekan tombol kirim, sinyal ponselnya tiba-tiba hilang. Tak ada jaringan.
Ia mengangkat ponsel tinggi-tinggi, melangkah ke ujung beranda, bahkan menjulurkan tangannya melewati pagar kayu tua, tapi tetap nihil. Layar hanya menampilkan tulisan: No service.
"Ah, sial…" gumamnya. "Perasaan tadi sinyal nya aman-aman aja, masih bisa nelpon…”
"Sedang mencari sinyal, Mas?"
Danu menoleh cepat. Laras berdiri di ambang pintu, wajahnya tenang seperti biasa, seolah tak terganggu oleh urusan dunia modern.
"Iya. Barusan sinyal hilang. Padahal baru mau kirim sharelock ke teman kampus.”
Laras tersenyum kecil, langkahnya ringan saat menghampiri. "Memang begitu di sini, Mas. Sinyal kadang datang, kadang menghilang tanpa aba-aba. Seperti kenangan... kadang muncul, kadang enggan kembali."
Danu hanya mengangguk kecil. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
Laras kemudian duduk di bangku panjang berseberangan dengannya. Ia menggenggam cangkir kecil berisi wedang jahe yang baru saja dibawakan oleh salah satu pembantu rumah.
"Mas Danu masih merasa ini semua tidak masuk akal, ya?"
Danu mengangguk pelan. “Sejujurnya iya. Saya… saya enggak tahu harus percaya apa. Semua orang di sini seolah mengenal saya, Bahkan Anda pun, seakan tahu banyak tentang saya. Tapi saya sendiri bingung… saya bahkan enggak tahu saya siapa di mata kalian.”
Laras menatapnya lama, sorot matanya teduh namun menyimpan sesuatu yang sulit dibaca. Ia tidak langsung menjawab, hanya menghela napas sejenak.
"Ketika seseorang berada di tempat asing, ada dua kemungkinan. ia tersesat, atau… ia dipanggil pulang."
Danu menatapnya, bingung.
Laras melanjutkan dengan suara yang lembut namun mengandung kekuatan, "Panjenengan tidak sedang tersesat, Mas. Tapi jiwa panjenengan sedang diajak pulang… untuk menyempurnakan sesuatu yang pernah tertinggal."
"Dan itu maksudnya apa?"
Laras tidak menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangan ke halaman yang masih diselimuti embun pagi.
"Ada tamu yang akan datang hari ini," ujarnya tiba-tiba. "Mungkin setelah bertemu beliau, hati panjenengan akan sedikit lebih tenang."
"Siapa?"
Laras kembali menatap Danu, kali ini dengan senyum samar. "Seseorang dari masa lalu yang tidak pernah benar-benar pergi."
Lalu ia berdiri dengan anggun.
"Mas Danu bisa beristirahat dulu. Nanti saat beliau tiba, saya panggil."
Sambil melangkah masuk, Laras sempat menoleh sebentar.
"Dan mengenai sinyal itu… mungkin semesta memang sedang tidak ingin panjenengan pergi dulu."
Danu hanya bisa memandangi punggung Laras yang menghilang di balik pintu. Di dalam dadanya, pertanyaan justru semakin banyak. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan bisa sembarangan keluar dari rumah ini. Bukan karena terkunci secara fisik... tapi seolah ada sesuatu yang menahannya.
*****
Beberapa jam berlalu,
Sore itu, langit berwarna jingga pucat. Suara burung gereja bersahutan di pohon mangga di belakang rumah, dan angin semilir membawa harum wangi melati yang samar-samar menyusup dari pekarangan depan. Di dalam kamar yang berjendela lebar, Danu masih terlelap di atas dipan kayu. Nafasnya teratur, jaket almamaternya terlipat di ujung ranjang.
Perlahan, terdengar ketukan halus di pintu kamar. Disusul suara lembut, nyaris seperti bisikan.
"Mas Danu… bangun, sudah sore. Sebaiknya mandi lah lebih dulu, lalu bergegas ke teras depan…”
Danu mengerjap pelan, kelopak matanya berat. Suara itu… Laras. Ia perlahan membuka mata dan menoleh ke arah pintu yang setengah terbuka.
"Hmm… ada apa?” tanyanya, suaranya masih serak.
Laras berdiri tenang di ambang pintu. Senyumnya lembut, dan rambutnya diikat rapi ke belakang.
"Tamu yang aku ceritakan tadi akan segera datang. Beliau sudah perjalanan ke sini"
Danu terduduk perlahan. "Siapa?"
Laras menunduk sedikit. "Nanti kamu akan tahu sendiri. Beliau sudah cukup sepuh, tapi masih kuat berjalan kaki dari lereng ke sini."
Danu hanya bisa mengangguk pelan, lalu bergegas berjalan kearah sumur belakang, membersihkan diri, mengganti kausnya, lalu menuju ke beranda tempatnya duduk tadi pagi.
Kali ini, udara terasa lebih hangat, dan cahaya senja menyusup lembut melalui sela pohon sawo di halaman samping.
Tak lama, dari kejauhan, langkah-langkah pelan terdengar mendekat. Suara tongkat kayu mengetuk tanah. Danu menoleh.
Seorang kakek berjalan perlahan diiringi dua pemuda desa. Jubah lurik tua membalut tubuhnya yang ringkih, dan rambut putihnya digelung sederhana. Tapi yang membuat Danu tercengang bukan penampilannya…
Wajahnya...
Danu terpaku.
Itu Pak Raga! Dosen filsafat Timur di kampusnya. Bedanya, pria ini tampak jauh lebih tua, seperti versi Pak Raga yang sudah menua 30 tahun. Tapi mata itu, cara berjalan, garis wajahnya… semuanya terlalu mirip untuk disebut kebetulan.
Laras berdiri di sisi kanan Danu, diam dengan tatapan tenang. Sementara Danu langsung berdiri dan masih memandangi si tamu dengan alis mengernyit.
"Pak Raga? Bapak disini juga?"
Pria tua itu berhenti di hadapan Danu. Pandangannya teduh, dalam, seolah bisa melihat isi hati seseorang hanya dari sorot mata. Ia tersenyum samar, lalu memiringkan kepala sedikit ke kanan, heran.
"Raga?" ulangnya pelan. "Kau memanggil ku pak Raga?"
Danu mengerutkan dahi. "Iya, ini Pak Raga, kan? Dosen filsafat di Universitas Antares?”
Si kakek tertawa kecil. Suaranya ringan, tapi terasa asing di telinga Danu.
"Dosen? Universitas? Saya tak tahu itu apa, nak. Aku ini… hanya seorang pertapa tua yang hidup di atas gunung, jauh dari hiruk-pikuk kota." Ia menatap Laras sekilas, lalu menoleh kembali pada Danu. "Aku ini guru pertama mu"
Danu mengerutkan alis semakin dalam. "Guru pertapa...? Maaf, saya rasa kakek keliru. Saya bukan murid pertapa. Saya bukan siapa-siapa. Saya ini Danu, mahasiswa biasa, dan bela diri saja baru belajar waktu SMA. Itu pun karena paksaan guru olahraga."
"Karate…" gumam si kakek, seperti mencoba mengingat. "Nama baru untuk ilmu bertarung, barangkali. Tapi bukan itu yang aku maksud. Ilmu yang kamu pelajari bukan hanya gerak tubuh, tapi juga gerak jiwa. Kau pernah menjadi muridku, di waktu yang tak lagi dicatat kalender."
Danu menatap pria itu, berusaha menyeimbangkan logikanya yang mulai retak. Hatinya yakin benar, pria ini, entah bagaimana sangat mirip dengan dosennya. Terlalu mirip untuk disebut kebetulan. Tapi tutur katanya, pengetahuannya… seolah dari dunia yang berbeda.
"Mas Danu, duduklah dulu…"
Disela rasa kebingungan, suara Laras terucap tenang namun mengandung ajakan tulus. "Kakek ini cuma ingin bersilaturahmi ke rumah kita. Sudah lama sekali beliau tidak mampir.”
Danu menatap Laras sejenak. "Tapi… Dia—dia ini mirip dengan dosenku. Sangat mirip. Aku tidak berbohong. Namanya Pak Raga. Cara duduknya, sorot matanya, bahkan cara senyumnya juga…"
Laras tersenyum kecil. "Mirip, ya? Tapi beliau bukan orang yang kamu maksud. Percayalah, kakek ini tidak kenal siapa-siapa dari kota. Namanya… Mbah Rawi. Dulu beliau sering mengunjungi rumah kita ini."
"Mbah Rawi…" Danu mengulang, suaranya pelan, seperti ingin meyakinkan diri sendiri.
"Duduklah, nak. Sore ini belum waktunya menjawab semua pertanyaan. Tapi izinkan aku mengenal kembali wajah muridku dalam dirimu."
Mbah Rawi tersenyum tipis. Ia lalu melangkah perlahan ke arah kursi kayu di sisi beranda, duduk dengan tenang, lalu menepuk bangku kosong di sampingnya.
Danu berdiri diam di tempat. Kebingungan menggantung di dadanya, antara ingin mendengar atau melarikan diri.
"Aku sungguh tidak tahu siapa itu Pak Raga. Tapi aku tahu siapa kamu. Meski kamu tampak berbeda sekarang, cahaya dalam jiwamu masih sama.”
Kakek tua itu menoleh pada Danu. Tatapannya teduh, tapi ada gurat kebingungan kecil di sudut matanya.
Danu menghela napas. Ia akhirnya menarik bangku kayu yang agak berdebu di samping Mbah Rawi, lalu duduk. Perlahan. Hati-hati. Ia tetap menjaga jarak, tapi cukup dekat untuk bisa melihat lebih jelas.
"Aku bingung, tolong jelaskan padaku. Semua orang di sini bilang aku ini ‘dulu pernah begini’, ‘pernah belajar itu’… Tapi aku sendiri tidak pernah merasa begitu. Aku cuma mahasiswa. Hidup di kota. Baru tahu tempat ini kemarin."
Mbah Rawi tersenyum, seperti orang tua yang menyaksikan cucunya mengeluh soal tugas sekolah.
"Kita semua memang hidup dalam garis waktu, Danu. Tapi tidak semua kenangan ikut dalam ransel kita saat berjalan."
"Kenangan?" Danu menyipitkan mata. "Mbah ini ngomong kayak—"
"—kayak dongeng?" potong Mbah Rawi. "Mungkin begitu. Tapi siapa tahu, dongeng yang dulu kamu anggap cuma cerita, sebenarnya adalah bagian dari hidupmu yang sempat kamu lupakan."
Danu tertawa kecil, sinis. "Mbah… saya ini bukan murid petapa. Saya bukan pendekar. Dan saya tidak sakti"
"Tapi kamu tetap belajar untuk bertahan, bukan?" ucap Mbah Rawi, pelan. "Dan itu sudah cukup membuatmu bertahan sampai sini."
Sore makin merambat. Burung-burung mulai kembali ke sarang. Di pekarangan, angin mengayun ranting jambu yang merunduk rendah.
Laras masih duduk di depan mereka, diam, membiarkan suasana mengalir apa adanya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Danu, lalu tersenyum tipis saat melihat lelaki itu tak langsung pergi.
"Kalau mas Danu mau pulang dulu ke kota, silakan," ucap Laras pada akhirnya, suara nya pelan namun terdengar hangat di telinga. "Tapi… aku minta, mas kembali ke sini lagi. Selesaikan yang dulu sempat mas mulai pada Nyai Laras."
Danu menoleh cepat. "Nyai Laras? Maksudmu kamu?"
Laras tidak menjawab. Ia hanya menunduk pelan, sambil menepuk celananya yang terkena debu dari ambang pintu.
Sedangkan Danu terlihat memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang ingin keluar namun belum punya bentuk.
"Aku pulang besok," katanya akhirnya.
Laras mengangguk pelan, matanya menatap Mbah Rawi yang balas menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan, antara lega dan haru yang ditahan.
"Tapi…" lanjut Danu, menatap keduanya, "aku janji akan kembali. Tapi Jangan senang dulu, aku kembali bukan untuk mengakui jika aku ini orang yang kalian maksud selama ini. Tapi sebaliknya, aku kembali karena aku akan buktikan jika aku adalah Danu. Manusia lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan kalian"
Mbah Rawi tersenyum, kali ini lebih lebar. "Itu saja sudah cukup untuk hari ini, nak. Terima kasih."