Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 24
Malam itu udara Jakarta sedikit gerah, tapi ramai oleh suara langkah kaki dan napas yang masih memburu usai sesi sparing. Dojo Black Eagle sudah mulai sepi, sebagian besar murid telah berpamitan.
Namun di sudut parkiran yang terang, perhatian tiba-tiba terfokus pada satu mobil sport mewah berwarna merah menyala milik Kia.
Kia dengan santai menyampirkan jaketnya ke lengan sambil membuka pintu mobil. Di sampingnya, Ustadz Damar Faiz Alfarez terlihat kalem seperti biasa, mengenakan hoodie hitam tipis dan celana training yang membuatnya terlihat lebih seperti atlet MMA daripada pendakwah.
Baru saja Damar hendak membuka pintu penumpang, suara usil dari belakang menggema.
“Ustadz Damar naik mobil sport?!” seru Rico sambil tertawa geli.
Azka menyambung cepat, “Weh, ini baru namanya dai zaman now! Mobilnya nyala kayak hati jomblo.”
Thoriq pun menyelip di antara mereka, ikut menggoda, “Cocoknya Ustadz tuh naik motor Supra lawas, bukan mobil beginian. Ini mah aura surganya bisa pudar!”
Kia langsung memutar tubuh, melipat tangan di dada sambil melirik tajam. “Eh kalian, ustadz kalian ini barusan bikin kalian ngos-ngosan di matras, masih juga sempat godain?”
Damar hanya tersenyum kalem, lalu menoleh ke arah tiga pemuda itu. “Tenang saja mobil ini cuma alat selama hati yang mengemudi tetap lurus, insya Allah sampai tujuan,” katanya pelan tapi menusuk.
“Wah, ustadz balesnya syar’i tapi nyentil,” gumam Bayu sambil nyengir nahan tawa.
Tibo iseng mendekat ke arah mobil, lalu pura-pura mengetuk bodinya. “Tapi serius, Kia mobil semewah ini disuruh jalan sama Ustadz? Jangan sampe dia cari gigi malah baca ayat.”
Kia mengangkat kunci mobilnya dan memutar ke udara, “Yang penting bukan kalian yang nyetir, nanti mobilku malah dibawa sparing di jalan raya.”
“Setidaknya kasih dia latihan dulu kak Kia. Ustadz Damar tuh bukan tipikal yang ngebut, dia lebih cocok naik unta pelan tapi khidmat,” tambah Thoriq.
Ustadz Damar akhirnya terkekeh pelan. “Terima kasih atas kepercayaannya, Kia. Tapi kalau mereka masih belum percaya saya bisa bawa mobil ini.”
Damar lalu membuka pintu pengemudi dan duduk tenang di belakang kemudi, meletakkan tangan di setir seperti profesional.
“Mungkin kita perlu lomba drifting besok ba’da subuh, bagaimana?” ujarnya kalem namun mengandung tantangan halus.
Ketiganya langsung tertawa terbahak-bahak, tak menyangka sang ustadz bisa seluwes itu.
“Ustadz boleh juga,” ujar Galang sambil mengangkat dua jempol.
Mobil pun melaju pelan meninggalkan halaman dojo, dengan suara knalpot yang mendesis elegan. Di dalam mobil, Kia melirik sejenak ke arah Damar.
“Jadi Mas ustadz beneran bisa nyetir mobil beginian?”
Damar menatap jalan lurus ke depan, lalu berkata dengan senyum samar, “Segala yang sulit kalau diawali niat yang baik insya Allah bisa.”
Kia cuma nyengir. “Oke deh, next time bawa aku muter di Mandai. Kalau mas bisa belokin mobil ini sambil ceramah baru aku takjub.”
“Deal.”
Dan malam itu, mobil merah menyala itu pun melaju pelan menuju jalan utama, diiringi suara tawa kecil di dalam kabinnya.
Semua orang terkagum-kagum, tak menyangka bahwa di balik sosoknya yang sederhana dan tutur katanya yang lembut, tersimpan banyak kejutan.
Wajah tampannya sering menghiasi majelis ilmu, tutur bijaknya meredakan amarah, langkahnya ringan namun penuh wibawa.
DIa dikenal sebagai guru andalan di pesantren, rajin berdakwah, selalu menjadi panutan para santri dan masyarakat sekitar.
Namun, yang membuat semua mata makin terbuka lebar adalah ketika mereka mengetahui bahwa pria itu ternyata memiliki usaha sendiri yang telah berjalan dengan mandiri dan penuh integritas.
Usaha yang dirintisnya diam-diam, bukan untuk pamer, tapi sebagai bentuk kemandirian dan tanggung jawab.
Siapa lagi kalau bukan Ustadz Damar Faiz Alfarez, suami dari perempuan muda yang juga tak kalah mempesona, Kia Eveline Kazehaya.
Pasangan yang tak hanya serasi secara lahiriah, tapi juga kuat dalam visi dan misi kehidupan. Mereka seperti dua cahaya yang saling menguatkan, saling menuntun dalam perjalanan panjang menuju ridha Ilahi.
Kia Eveline Kazehaya memperbaiki hijabnya yang masih sedikit miring, cermin kecil di tangannya memantulkan bayangan wajah yang masih berusaha terbiasa dengan tampilan barunya sebagai seorang istri sekaligus santri.
Jari-jarinya merapikan bagian bawah dagu, lalu tersenyum kecil sambil melirik ke arah suaminya yang sedang duduk santai membaca kitab di teras pesantren.
“Suamiku ini…” lirihnya pelan kemudian suara itu berubah sedikit lebih nyaring saat ia menoleh penuh tanya.
“Masih banyak ya, skill tersembunyi? Jangan-jangan masih ada yang disimpan juga dari aku?”
Ustadz Damar hanya mengangkat alis, senyumnya simpul penuh misteri, tapi tatapan matanya hangat, seperti biasa tenang, meneduhkan dan sulit ditebak.
“Kalau kubilang kejutan berikutnya lebih besar dari sekadar bisnis, Kia siap?” ucapnya tenang sambil tetap memandangi kitab di tangannya.
Kia mendecak pelan, pura-pura kesal, lalu tertawa kecil.
“Duh, ustadzku ini rajin dakwah, guru pesantren, pebisnis, romantis, sekarang misterius pula.”
Ustadz Damar menutup kitabnya perlahan, menatap Kia dengan senyum yang tak lagi hanya sederhana, tapi penuh makna.
“Aku nggak nyimpan apa-apa, Kia… aku cuma nunggu waktu yang tepat buat kasih semua, pelan-pelan, sampai kamu siap nerima segalanya dariku, lahir dan batin.”
Hati Kia mencelos diam-diam ia bersyukur, lelaki yang dipilihnya ternyata lebih dari sekadar suami ia adalah anugerah.
Ustadz Damar menatap Kia yang masih sibuk merapikan hijabnya di depan cermin kecil.
Senyumnya tak lekang sejak tadi, lalu suara tenangnya mengalun pelan tapi penuh harap.
“Sekarang giliran aku yang minta sesuatu, Kia…”
Kia berhenti sejenak, menoleh pelan ke arahnya dengan alis terangkat penasaran.
“Apa tuh, Ustadz?” godanya ringan.
Damar menyandarkan punggungnya ke dinding, kitab yang tadi dibacanya diletakkan di meja kayu di sampingnya.
“Besok kamu bisa temenin aku ke acara dakwah di luar daerah? Kayaknya cocok deh sekalian refreshing, kan kamu juga lagi libur, nggak ke perusahaan MK Corp, kan?”
Kia terdiam beberapa detik, lalu tersenyum lembut sambil mendekat dan duduk di sisi suaminya.
“Kalau cuma nemenin Ustadz Damar dakwah, apalagi sambil liburan, aku paling depan daftarnya,” ucapnya sambil menyenggol pelan lengan suaminya.
Damar tertawa kecil, menatap istrinya dengan pandangan yang tak bisa disembunyikan ada kagum, ada cinta, dan ada rasa syukur.
“Terima kasih, Kia. Rasanya kalau kamu ikut, langkahku lebih ringan. Kamu bukan cuma istri kamu teman seperjuangan.”
Kia tersenyum makin dalam, menyandarkan kepalanya sebentar di bahu suaminya.
“Dan kamu, bukan cuma ustadzku, tapi juga tempat aku pulang.”
Kia terdiam sejenak. Senyumnya tadi perlahan memudar, matanya menunduk. Ada rasa gentar yang tiba-tiba menyusup di hatinya. Ia menggenggam ujung kerudungnya erat-erat, lalu suaranya keluar pelan, nyaris seperti bisikan.
“Tapi aku nggak tahu ngaji, Mas. Bahkan aku belum pernah salat sebelumnya.”
Ucapannya menggantung di udara, menyisakan senyap yang sejenak memeluk mereka berdua.
Udara sore yang tadi hangat, kini terasa dingin menusuk, bukan karena angin, tapi karena ketakutan yang diam-diam menghantui Kia.
Namun tak ada penolakan tidak ada cemoohan. Yang ada hanya genggaman hangat di tangannya.
Ustadz Damar meraih jemari Kia perlahan, menatapnya lekat tapi penuh kelembutan.
“Kia…” ucapnya lirih, “aku nggak pernah cari istri yang sempurna aku cuma minta satu hal, keberanian buat belajar dan berubah.”
Kia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa malu yang mulai membakar pipinya.
“Aku takut nggak pantas dampingi kamu mas, aku terlalu kosong.”
Damar menggeleng pelan. “Justru karena kamu kosong, aku mau isi ruang itu pelan-pelan. Bukan buat menjadikan kamu sempurna, tapi buat temani kamu mengenal Allah bareng-bareng.”
Mata Kia mulai berkaca-kaca. Ia tak menyangka, pengakuan yang ia pikir akan membuatnya ditinggalkan, justru menjadi jembatan untuk didekap lebih erat.
“Jadi boleh aku tetap ikut besok?” tanyanya lirih, nyaris seperti anak kecil yang ragu minta diajak bermain.
Damar tersenyum, kali ini lebih lebar dan meyakinkan.
“Bukan cuma boleh, Kia. Aku butuh kamu di sana. Biar mereka tahu inilah istriku. Dan inilah titik awal hijrah kita, sama-sama.”
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣