Sandy Sandoro, murid pindahan dari SMA Berlian, di paksa masuk ke SMA Sayap Hitam—karena kemampuan anehnya dalam melihat masa depan dan selalu akurat.
Sayap Hitam adalah sekolah buangan yang di cap terburuk dan penuh keanehan. Tapi di balik reputasinya, Sandy menemukan kenyataan yang jauh lebih absurb : murid-murid dengan bakat serta kemampuan aneh, rahasia yang tak bisa dijelaskan, dan suasana yang perlahan mengubah hidupnya.
Ditengah tawa, konflik, dan kehangatan persahabatan yang tak biasa, Sandy terseret dalam misteri yang menyelimuti sekolah ini—misteri yang bisa mengubah masa lalu dan masa depan.
SMA Sayap Hitam bukan tempat biasa. Dan Sandy bukan sekedar murid biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vian Nara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 : Sulit Ditebak
TING! TING!
Suara alarm dari ponselku berbunyi kencang. Hari kedua aku bersekolah di sekolah yang baru dan paling buruk. Langkah kakiku begitu berat rasanya, inginnya sih tidur dan bangun nanti siang, tapi itu sangat tidak mungkin. Tepat sesudah aku mematikan alarm yang berbunyi dari ponselku, lalu bersiap terjun kembali ke alam mimpi. Mamahku datang
membangunkanku.
"KAKAK!!!!"
"BANGUN, ANAK PEMALAS!!!"
"Lima menit lagi, mah." Aku menjawab malas.Kantuk tidurku berat—memaksaku untuk menutup mata terus-menerus.
"Kamu itu, bilang lima sekarang nantinya malah jadi Lima jam." Mamah menjewer kupingku hingga aku tak merasakan mengantuk lagi.
"Kamu sekarang kalah sama adikmu yang selalu bangun pagi. Mamah enggak tahu lagi cara biar bisa mendisiplinkan kamu." Mamah menepuk jidatnya.
"Adik itu mah, dengerin Sandy dulu. Adik itu bangun pagi karena belum ngerjain PR malamnya, jadi otomatis dia bakal berpikir untuk melihat PR punya temannya."
Perdebatan pagi hari terus berlangsung, menghabiskan tiga puluh menit—jamku yang berharga, aku sangat kesiangan. Sekarang pukul tujuh kurang lima belas menit, bel sekolah berbunyi jam enam lima puluh lima sedangkan jarakku ke sekolah menempuh waktu kurang lebih lima belas menit. Aku sedang sial.
Nafasku menderita, detak jantungku terus meningkat, aku berlari terus menuju sekolah tanpa henti.
Sial. Kenapa harus telat sih. Murid baru macam apa yang hari keduanya udah bikin pelanggaran?
"Murid, kek lu." Seseorang tiba-tiba berbicara.
Aku terkejut ketika ada yang menimpali percakapanku dengan diri sendiri. Siapa? Aku menoleh ke arah kiriku, tidak ada orang, tapi lain cerita ketika kepalaku menoleh ke arah kanan.
DOR!
Empat makhluk absurb kelas rupanya. Beben, Adit, Genta, dan Rino. Panggilan Absurd kepada keempatnya bukan sekadar julukan belakang, mereka benar-benar diluar logika berpikir manusia. (Susah di tebak)
Sehari saat aku dikerubungi pertanyaan yang banyak, semua orang tertuju padaku kecuali 8 orang : Raga, Nayyara, Orang dengan Hoodie yang tertidur lelap, Lelaki biasa yang tatapannya seperti ingin membunuhku entah kenapa dan terakhir empat sekawan absurd.
Alih-alih bertanya, mereka malah masak Indomie di kelas pakai kompor portable, berbagai varian rasa Indomie di masak oleh mereka, kemudian dijadikan satu, dan di sajikan pakai piring yang besar sekali dan aku sendiri tidak tahu, itu piring dapatnya dari mana.
Terus mereka bilang "Hidangan utama kelas XI MIPA 2. Pesta penyambutan murid baru. Makan sepuasnya sampai euneg." Genta dan Adit menghidangkan mie di meja guru.
"Kalo ada guru gimana?" Tanya salah satu murid.
"Gampang, bilang aja piring ini punya ibu kantin terus beliau ngasih Indomie ini sebagai bentuk penyambutan murid baru," kata Beben dengan pedenya.
"Bukannya, ide kamu ya?"
"Bentar, ini piring punya ibu kantin? Kalian berarti nyuri dong?"
"Eits, sshttt!" Rino mendesis.
"Kita bukan mencuri, tapi meminjamnya." Adit berlagak kayak aktor drama.
"Ibu kantin nya kasihan harus bawa piring besar, jadi kami memutuskan untuk membawanya kemari." Genta nyengir.
Begitulah kira-kira. Tapi, aku tidak tahu hal absurd lainnya yang telah mereka lakukan sebelumnya.
"Kalian telat juga?" Aku bertanya sambil mengatur nafasku saat berlari.
Sepertinya mereka juga telat. Berarti aku tidak perlu di cap sebagai murid yang membuat pelanggar sendiri. Telat .
"Kau tahu Sandy, kita sebenarnya tidak pernah telat sedikit pun. Datang pagi adalah budidaya kami berempat." Beben menjawab dengan gaya sok keren.
Aku menatap Beben dengan kaget, dua kali dia menimpali aku yang sedang berbicara dengan diriku sendiri di dalam hati. Aku anggap itu kebetulan.
"Budaya,.Ben. Kira Lo lagi rawat hewan langka atau tanaman apa. Beda kata, beda arti." Adit membenarkan ucapan temannya.
"Nah, itu. Terus kita juga biiasanya sudah melakukan hal luar biasa." Beben melanjutkan perkataannya.
al absurd pastinya
"Yap, betul. Kami ngeprank guru dengan pura-pura ngelap kaca atau pintu kaca terus kami lanjutkan dengan prank zombie." Beben menimpali aku yang berbicara dalam hati.
"Ben, bukannya Lo udah terlalu berlebihan?" Timpal Genta disusul Rino yang menjawab
"iya"
Langkahku terhenti. Sejenak aku berpikir, kok bisa Beben tahu? Mungkin itu kebetulan, tapi ini yang ketiga kalinya. Sungguh benar-benar di luar logika. Apakah Beben sama sepertiku? Memiliki kemampuan istimewa?
"Aku ada pertanyaan sepertinya untukmu Beben." Aku memberanikan diri untuk berbicara dengan intonasi nada sedikit tinggi karena jarakku dengan keempat sekawan absurd yang mulai tertinggal.
"Apakah kamu juga memilikinya? Kemampuan istimewa?"
Langkah keempat sekawan juga terhenti beberapa lima sampai enam meter di depan.
Aku pernah membaca berita dan cerita-cerita dalam novel serta beberapa artikel. Dahulu semasa kecil, selain suka bermain, aku cukup pintar juga. Sesungguhnya dunia ini katanya sudah berubah sejak abad ke 17.
Penyebabnya masih sangat diragukan, tapi semua berujung pada satu kemungkinan. Batu meteor yang jatuh tepat pada tahun tersebut dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi. Ada beberapa berita yang menyebutkan "MANUSIA ATAU ALIEN? MISTERI DAN PERTAMA KALINYA ORANG YANG BISA TERBANG TANPA ALAT TERBANG."
Beberapa video juga telah aku putar dan aku lihat. Buktinya tak kuat, hanya sekilas saja, tapi itu membuktikan gagasan tersebut, meskipun banyak orang yang tak percaya.
"SIAGA Z/A17!!!" Genta, Adit, Beben dan Rino berseru dan menunjuk ke arahku dengan muka panik.
Tiba-tiba mereka menutup mataku dengan kain hitam, lalu mulutku dengan lakban, badanku di ikat oleh tali yang entah darimana mereka berempat dapatkan.
Aku dibawa entah kemana selepas itu oleh mereka berempat."W~i, l~pas~n"
"Dah, gua bilang Ben, lu terlalu sok asik ke orang!"
"Mana gua tahu, dia langsung tau!!
Saat mataku tak melihat apapun dan badanku sudah bergerak, Bora yang tidak tahu apa-apa—sedang dalam perjalanan—dibawa lari sekali oleh keempat sekawan absurd tersebut.
"Sebentar, kenapa aku ikutan di bawa begini?" Bora bertanya lalu tertawa dengan wajahnya yang riang selalu.
Aku dan Bora terus di bawa hingga sampai tujuan, aku tidak bisa melihat apapun, gelap gulita. Kami berdua di lempar ke sebuah Ruangan. Saat Adit memastikan situasi di luar dan bersiap menutup pintu besi, Dua remaja—pemuda-pemudi kebetulan lewat dan melihat apa yang dilakukan keempat sekawan
absurd.
"SAKSI MATA!" Adit berseru kencang seperti sebuah kode.
Tanpa pikir lama, Genta dan Rino berlari kencang menuju tempat kedua pemuda-pemudi berdiri. Mereka berdua malah ikutan di sekap.
Ruangan pun di tutup.
KRAKK
Penutup mataku di lepas, lampu kecil ruangan di nyalakan. Akhirnya aku bisa melihat. Disampingku terduduk juga Bora dan kedua remaja pemuda-pemudi yang kalo tidak salah namanya adalah Dimas dan Isna. Aku sudah mengetahui sebagian wajah dan nama teman kelas hanya dalam waktu satu hari, tapi belum semuanya ada satu atau dua yang tidak hadir saat itu.
"BEGO! NGAPAIN GUA SAMA ISNA DI SEKAP GINI?!" Dimas berseru keras.
"Bahasanya di jaga, Dimas." Isna menyanggah perkataan Dimas.
"Ma-maaf." Dimas mendadak tenang. Wajahnya sedikit memerah.
Ketika kami berempat menatap ke depan, Beben, Adit, Rino, Genta, sudah berdiri mantap di depan kami dengan memakai seragam sekolah dan tambahan lainnya yang menurutku sangat aneh. Genta memakai topi koboi sambil bawa pistol-pistolan? Rino memakai jubah sambil pegang sapu? Adit memakai ember buat helm sambil pegang panci? Terakhir Beben lebih aneh, dia memakai topeng Ultraman Zero.
"KAMI ADALAH SANG PENYIKSA!" Kata mereka berempat serentak.
"Apa mau kalian, hah?! Dimas kesal.
Beben melirik satu sama lain dengan ketiga temannya lalu mengangguk bersamaan.
"Kita berempat hanya akan membuat Lo pada terbungkam. Rahasia yang dimiliki oleh gua ini terlalu bahaya jika menyebar."
"Selain itu, bukan cuman gua yang kena sial sama bahaya. Kemungkinan teman gua juga pada kena nanti."
Ruangan lenggang sejenak. Sedari tadi aku tidak berkata-kata hanya diam. Susah sekali berbicara jika orangnya ramai. Aku menatap sekeliling, nampaknya kami semua berada di dalam gudang sekolah. Banyak sekali debu di setiap sudut dan juga kemarin-kemarin yang sudah lapuk. Bahkan sarang laba-laba banyak sekali terlihat di sana.
"Adit, Rino bawa kemari alat penghancurnya!" Perintah Beben.
Adit Rino segera membawa sesuatu, sebuah mangkok yang isinya Mie pedas dengan porsi yang banyak?
"Jika kalian tidak bisa menjaga rahasia ini, terimalah siksaan mie pedas ini. Cabenya pake sepuluh biji, bubuk pedasnya lima, boncabe level lima puluhnya pake dua."
"Bagaimana ini Bora?" Aku berbisik.
"Apanya yang bagaimana? Kita lihat saja, ini sangat menarik apa yang aku cari dan pastikan sebentar lagi akan sangat jelas." Bora tertawa kecil
"Apa maksudmu?" Aku mengerutkan kening.
Bora tidak menjawab hanya diam. Beben menuju ke arah Dimas dan Isna sambil membawa mangkuk berisi mie instan dengan level pedas yang di luar akal sehat.
"Kalian harus makan ini sekarang."
"Kalian berempat ini maksudnya apa sih? Kita bahkan ga tau rahasia kalian apa?" Dimas sangat kesal.
"Sandy yang tau." Beben menunjuk ke arahku.
Dimas menatapku dengan tatapan tajam seolah ingin sekali membunuhku persetan kau Sandy. Aku jadinya gak bisa banyak menghabiskan waktu dengan Isna.
"Apa? Menghabiskan waktu dengan Isn-"
BUM
Beben mundur beberapa langkah oleh sundulan Dimas. Dimas mengatumkan rahang dan entah kenapa dia bisa merusak tali yang diikatkan padanya dengan kencang sekali.
"Kalian membuang waktu. Ini saatnya aku beri pelajaran." Dimas tersenyum miring.
BRUK
Suara terjatuh. Itu Isna. Sejak tadi dia hanya berdiam diri saja tidak bersuara sama sekali.
"ISNA!" Semua panik.
"Dia gak bisa kalo ada di ruangan sempit dan pengap, asmanya pasti kambuh," ujar Dimas sambil melepas ikatan pada Isna.
"Bangun Isna!" Dimas berseru hingga beberapa kali.
"Yang harus aku salahkan untuk kejadian ini. Kira-kira siapa, ya?" Wajah Dimas berubah mengerikan.
Dimas beranjak dari tempat Isna berada dan menghampiri empat sekawan absurd.
Empat sekawan absurd menelan ludah dan berkeringat dingin. Mereka diambang panik
dan bahaya.
"Dasar bedebah!"
Dimas menerjang dengan ambisi menghajar. Jaraknya tinggal beberapa langkah menuju Beben, Rino, Adit dan Genta.
Alih-alih menghindar, Rino justru maju dengan sapunya, Dimas menyambut pukulan dari sapu tersebut.
TANG!!
Eh bunyi apa itu? Besi? Aku tidak salah dengar kan? Sapu Beben tidak patah begitu saja padahal ayunan darinya sangat keras dan sapu itu terbuat dari kayu. Bahkan Dimas pun sama, tidak ada luka memear yang dia dapatkan.
Awalnya aku mengira hanya Beben saja manusia berkempuan istimewa pertama yang aku temui. Aku keliru. Ternyata fakta tentang dunia yang berubah itu benar adanya.
"Apa yang terjadi?" Aku bertanya.
"Mudah saja Sandy, mereka sama sepertimu." Jawab Bora santai.
"Tunggu dulu....itu berarti?"
Lagi-lagi Bora tidak menjawab, dia sedang fokus kepada pertikaian yang sedang terjadi.
Kenapa? Kenapa bisa dia menahan pukulanku dengan sapu? (Dimas)
"Kenapa? Bahkan kita juga heran dengan Lo, Dimas. Kenapa Lo bisa nahan serangan sapu Rino yang keras bahkan setelah material sapu tersebut di kuatkan." Beben menanggapi suara Dimas dalam pikirannya.
Rino dan Dimas mundur beberapa langkah, bersiap menyerang kembali.
TANG
BUK
Jual beli serangan terjadi, namun belum ada
yang terluka bahkan memar sekalipun. Beben menatap ke arah Genta, memberi suatu isyarat, Genta mengangguk pelan seolah mengerti kode yang diberikan.
Rino mendadak mundur beberapa langkah. Dimas memasang kuda-kuda bersiap dengan serangan dari Rino. Namun, Dimas salah kira. Adit yang kini maju. Dia melompat, panci yang dipegangnya di lepas. Entah apa yang di bawanya. Jika di lihat oleh mata, Adit sama
sekali tidak membawa apa-apa
DUK
Dimas termundur jauh seolah di dorong oleh alat yang sangat berat. Dimas terkejut dengan apa yang tadi dia rasakan. Belum sempat mengatur nafas. Barang-barang seketika melayang di udara. Kardus, kotak kayu, balok bahkan panci sekalipun.
BRUK
Barang-barang berjatuhan mengenai Dimas—memberikan dampak lumayan cukup untuk membuat Dimas sedikit merasakan sakit dan terengah-engah. Itu semua disebabkan oleh Genta.
Beruntung Isna sudah di pindahkan. Bora melepaskan ikatan pada dirinya dengan mudah. Aku pun ikut di bebaskan. Kami kini hanya bisa menonton. Sebenarnya kami bisa menolongnya, tapi Bora menyuruhku untuk tetap menunggu hingga dia mengetahui sesuatu.
"Dia masih bisa bertahan. Rencana C. Ayo, lakukan teman-teman!" Beben bergaya sok keren.
Genta membuka telapak tanganmya lalu mengangkatnya ke udara. Sesuatu terangkat. Mie Instan Pedas level tidak wajar.
Mie tersebut di lempar tepat mengenai wajah Dimas. Setelahnya Rino mendaratkan sapu kerasnya di sambung Adit yang masih menjadi pertanyaan, karena kedua tangannya seperti Membawa sesuatu yang berat tapi tidak terlihat.
BUK
DUK
Dimas terjatuh. Lenggang kembali gudang tersebut. "Yes, kita semua berhasil tumbangin dia."
Dugaan yang benar, tapi juga salah. Dimas yang tergeletak bergegas bangun kembali dan kini kekesalannya menjadi amarah yang berapi-api. "KALIAN MENJENGKELKAN! SAATNYA MEMBASMI KALIAN SEMUA!" Ekspresi Dimas menjadi datar namun malah membuatnya semakin menyeramkan ditambah dengan matanya yang memerah akibat mie instan level pedas di luar akal sehat.
Dimas melesat kencang ke arah empat sekawan absurd WOSHH!! Rino dan Adit bersiap menyambutnya, Genta juga tak kalah siap dengan kemampuannya benda-benda di sekitarnya dia apungkan dan bersiap untuk menjatuhkannya ke arah Dimas.
Hantaman dari Dimas segera mendarat ke arah Rino. BUK! Tiba-tiba Dimas terjatuh. Pelakunya? Bora.
"Sudah cukup!" Bora berdiri tegak dan berbicara santai.
"Kita akhiri semuanya."
"Semua kepastianku akhirnya terjawab.......kalian memanglah orang-orang dengan kemampuan istimewa. Akan aku beri tahu satu hal..........orang seperti kalian pasti akan di cari oleh seseorang demi sesuatu............oleh karena itu, Beben, Rino, Adit, Genta, Dimas dan Sandy. Kalian berenam dalam waktu tiga atau empat Minggu, jika tidak, kemungkinan bulan depan—datanglah ke ruangan OSIS. Semua apa yang kalian ingin tahu ada di sana.......... pertemuan ini menjadi sebuah awal untuk mengakhiri apa yang terus terjadi."
"Maksud Lo, apa?" Beben bertanya bingung.
"Sebelumnya,.izinkan aku menebak semua kemampuan teman-temanku yang ada di ruangan ini."
"Beben, kemampuanmu pasti membaca pikiran. Itu sangat mudah di tebak dengan menilai aspek kejadian dari setiap perkataan yang sedang tak dibicarakan serta cara pengaktifannya." Bora menatap Beben.
"Rino,.kalo tidak salah adalah memanipulasi objek menjadi sangat keras. Pertarungan tadi menjadi jawabannya.......kau bisa memberikan serangan mematikan dengan sapunya yang seharusnya mudah sekali patah berhubungan bahwa gagang sapu tersebut terbuat dari kayu, tapi pertahanan tubuhmu sangat lemah dan mudah sekali menerima rasa sakit." Bora berganti menatap Rino.
"Telekinesis sudah menjadi jawaban atas hal yang telah kau perbuat tadi Genta, benar tidak?" Genta menelan ludah dengan susah payah.
"Adit pastinya adalah kemampuan manipulasi imajinasi dengan objek yang ak terlihat. Biar aku tebak......kau tadi sedang memegang palu dengan ukuran besar, kan?"
"Gi-gimana lo bisa tahu? Da-dan sebenarnya, Lo siapa? "Adit gelapan.
"Aku, hanya anak SMA biasa. Selain itu, tidak sopan memotong orang lain berbicara saat belum selesai."
"Dimas yang sedang tergeletak karena aku totok titik-titik sarafnya memiliki kemampuan memanipulasi otot menjadi lebih efisien dan kuat." Lanjut Bora.
"Terakhir Sandy." Bora kini manatapku, masih dengan ekspresi wajah yang sama.
"Kemampuanmu berhubungan dengan waktu, salah satunya adalah melihat masa depan hanya dengan bertatapan saja."
Aku, mulai merinding. Bukan karena pengungkapan kemampuanku yang dilakukan oleh Bora. Melainkan saat kami bertatapan, kekuatan aktif dan aku melihatnya. Seorang lelaki berdiri di atas puing-puing bangunan serta ada banyak sekali mayat yang berserakan. Dan ada salah satu tubuh yang di pegang oleh salah satu lelaki tersebut, dia berusaha melawan namun tak berdaya.
"KAU TIDAK TERMAAFKAN!"
"Seolah kau sudah tahu, tapi masih banyak keraguan....kenapa kau tidak langsung memberitahuku sejak pulang ke kelas sehabis tur kemarin, Bora?" Aku bertanya.
"Nantikan saja, saat pertemuannya tiba......omong-omong, bukannya kita seharusnya mengikuti pelajaran?"
Ruangan hening.
Namun, berubah jadi panik termasuk aku. Tapi tidak dengan Isna dan Dimas yang pingsan.
"ANJIR! GIMANA INI CUY, NTAR PASTI MASUK BK!"
"TENANG. PANIKNYA KURANGIN KECENGIN AJA SUARANYA."
"MATI DAH. MANA MTK LAGI JAM PERTAMANYA.
"Tak usah panik. Aku punya alasan logis." Bora menenangkan situasi.
"Mereka bisa dijadikan alasan yang kuat." Bora menunjuk ke arah Isna dan Dimas yang pingsan.
"Bilang ke guru piket mereka pingsan di jalan gara-gara kepanasan," ujar Bora polos.
"Kan masih pagi." Kataku
"Begini saja, alasan mereka pingsan karena shock, ada truck ingin menabrak mereka waktu menyebrang jalan."
"Logis." Serentak Empat sekawan absurd.
"ISNA KASIHAN ANJIR, KATA DIMAS DIA PUNYA ASMA! CEPET BAWA KE UKS!! Empat sekawan absurd sangat panik.
Kami pun berhasil membuat alasan yang logis, tapi tetap saja—BK sudah terbuka lebar untuk kami. Hukumannya? Bersihin langit-langit ruang BK.