Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 1: Diary Felicia
Selamat pagi tanaman-tanaman sialan! Nikmatilah kucuran air kecingku yang masih segar ini! Ahh… Harus diakui bahwa di dunia yang sudah tak berarti ini, buang air kecil di pekarangan rumah sendiri emang sesuatu yang pantas dicoba sekali dalam seumur hidup.
Walaupun banyak ibu-ibu yang melirik dengan tatapan jijik, tapi itu semua udah nggak masalah bagiku. Toh orang yang dulunya sering mainin ‘barang kecil’ ini udah nggak ada lagi di dunia. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirin kalau mau ngelakuin hal-hal yang aneh kayak gini, hahaha!
“Nael, ngapain kau di sana?!” Yah, kecuali yang satu ini. Dari suaranya, aku tahu persis siapa yang sebentar lagi bakalan muncul untuk mengganggu aktivitas pagiku.
“Oi, kenapa kau pipis di depan rumah kayak gini?! Mau dilaporin warga gara-gara ngelakuin aksi nggak senonoh di depan umum, hah?!” Seperti biasa, orang ini pasti menyapaku dengan nada yang nggak bisa santai. Dia adalah adik iparku, namanya Felix Putra Christian. Fakta uniknya adalah dia itu kembaran dari mendiang istriku. Benar sekali! Felicia dan Felix adalah saudara kembar buncing.
Hari ini, dia datang untuk melakukan inspeksi mingguan terkait kesehatan mentalku. Sejak kematian Felicia dua bulan yang lalu, semua orang menganggap kondisi mentalku berantakan hingga nyaris gila. Karena itu lah Felix sering mampir ke sini untuk melakukan pemeriksaan. Padahal, aku cuma nyoba ngelakuin hal-hal baru yang sebelumnya selalu dilarang sama Felicia. Itu aja, kok, nggak ada yang aneh, kan?
“Hei, Nael! Sadar dong, jangan ngelamun kayak gitu! Kau ini bikin aku takut aja.” Felix memengang kedua pundakku dan menggoyang-goyangkannya sambil memasang wajah yang terlihat khawatir.
“Singkirin tanganmu dariku, sialan!” Tanganku mengepis genggamannya dengan kasar. Orang ini nggak tahu seberapa berat tangan berototnya itu untuk pundakku yang kurus ini.
“Ngapain kau datang ke sini, sih? Aku ini nggak gila kayak yang dibilang sama orang-orang, tahu! Jadi, kau nggak perlu repot-repot gangguin aku pagi-pagi gini!” Bentakku mencoba mengusrinya dari sini.
Tapi, tentu saja itu nggak mempan sama sekali. Alih-alih pergi dari sini, dia justru menghela napas sambil menuntunku untuk masuk kembali ke dalam rumah. “Ikuti aku dulu. Ada sesuatu yang mau kutanyakan.”
...***...
Felix menyuruhku untuk duduk di sofa putih ini, sementara dia sibuk mencari sesuatu di laci meja TV. Aku tahu persis apa yang sedang ia cari di sana—buku harian milik Felicia, yang di halaman terakhirnya tersimpan pesan terakhirnya. Setiap kali datang ke sini, Felix pasti selalu memaksaku untuk membaca pesan terakhir itu.
Tapi selama ini, aku selalu menolak untuk membacanya. Menurutku, satu-satunya cara untuk move on dari peristiwa buruk adalah dengan melupakannya untuk selama-lamanya. Membaca pesan itu hanya akan membuka luka lama yang sedang berusaha kusembuhkan.
Setelah tak menemukan apa yang dicari, Felix menatapku dengan curiga. Matanya menyipit, seolah sudah tahu kalau aku menyembunyikan buku harian itu di suatu tempat.
“Dimana kau taruh buku harian Felicia?” Tanyanya datar, tapi penuh tekanan seperti polisi yang sedang mengintrogasi tersangka.
“Nggak tau. Intinya di tempat yang nggak lazim kau temui.” Jawabku singkat dengan sikap yang acuh tak acuh.
Felix mengangkat salah satu alisnya setelah mendengar ucapanku itu. Pandangannya kemudian melihat sekeliling, seperti seorang detektif yang mencari petunjuk. Hanya dalam beberapa detik saja, pandangan mata Felix langsung mencurigai tumpukan baju yang belum disetrika di pojok ruang tamu. Ya, di sana lah tempat dimana aku menyembunyikan buku harian Felicia.
“Usaha yang bagus, Nael.” Ucapnya sambil berjalan menuju tumpukan baju tersebut.
“Hei, jangan pergi ke sana, sialan!” Aku langsung melompat dan memeluk tubuh Felix dari belakang untuk menghentikan langkahnya. Meski tubuhnya lebih besar dan berotot, aku yakin dia akan kerepotan melawan lilitan badan yang kencang ini.
“Hei, lepasin, Nael!” Teriaknya sambil berusaha melepaskan genggamanku. “Oke, kau nggak ngasih aku pilihan lain.” Tiba-tiba, tangan besarnya mencengkram pergelangan kaki kananku, dan dengan satu gerakan cepat, dia melemparku hingga membentur tembok.
“Arghh! Itu sakit banget, anjing!” Aku mengerang sambil berusaha berdiri lagi untuk mencegah Felix yang semakin mendekat ke arah buku harian yang tersembunyi di sana. Tapi, sayangnya tubuh yang sudah ringkih ini tidak mampu untuk berdiri lagi. Padahal, waktu masih muda dulu, kita berdua suka sparing tinju di atas ring. Menyedihkan sekali, ya.
Begitu buku harian Felicia berhasil ditemukan, Felix langsung melangkah ke arahku sambil membuka halaman terakhirnya. Matanya menatapku dengan penuh harap dan sedikit memohon. Dia berniat untuk memaksaku membaca pesan terakhir yang ditulis oleh Felicia.
“Nael, aku mohon, bacalah ini sekali saja.”
“Nggak! Kalian semua pengen aku pulih, kan? Makanya aku nyoba buat ngelupain segala hal tentang Felicia biar aku bisa move on dan bangkit kembali!”
“Kau salah, Nael!” Suaranya yang keras terdengar menggema di seluruh ruang tamu. “Menerima takdir dengan ikhlas adalah cara terbaik untuk move on dan bangkit kembali!”
Ucapannya itu seperti pukulan telak ke dadaku. Entah kenapa, aku merasakan suatu kebenaran dalam kata-katanya yang membuat hatiku tertegun.
“Kalau kau bisa nerima kematian Felicia dengan ikhlas, aku yakin kau akan jadi lebih kuat dari sebelumnya. Percayalah padaku, Nael!”
Perlahan, air mataku mulai menetes ketika mulai sedikit menerima kematian Felicia. Selama ini, sepertinya aku selalu berusaha melawan kenyataan pahit itu. Segala perjuanganku untuk menyembuhkan kanker darah Felicia terasa sia-sia saat kematian tetap menjemputnya. Mungkin, alam bawah sadarku yang terluka mencoba melawan kekecewaan itu dengan cara melupakan segala sesuatu tentangnya. Tapi alih-alih membaik, kondisiku malah berbalik menjadi semakin buruk.
“Aku mohon, bacalah sekali saja.” Ucapnya pelan, sambil menyodorkan buku harian Felicia kepadaku.
Dengan tangan gemetar dan air mata yang mengalir deras, aku mulai membaca setiap kata yang ditulis oleh Felicia. Hatiku langsung terasa hancur. Selama dua bulan ini, aku telah berubah menjadi pribadi yang buruk, tidak seperti yang diharapkan oleh mendiang istriku.
“Nggak kusangka… harapan terakhirmu cuma pengen aku tetap jadi orang baik aja.” Bisikku pelan dengan suara parau. “Maafin aku, ya. Aku udah gagal menuhin permintaan terakhirmu. Ini semua terjadi karena aku terlalu pengecut untuk menerima takdir kematianmu.”
Aku memeluk buku harian milik Felicia dengan air mata yang terus mengalir. “Aku janji, kedepannya aku bakal kembali jadi orang baik yang selama ini kamu kenal!”
...***...
Setelah membaca harapan terakhir Felicia, aku memutuskan untuk pergi ke Bendungan Tirta Mega demi mencari sedikit ketenangan. Pemandangan air yang tenang dengan berhiaskan pepohonan hijau di sekitarnya merupakan sesuatu yang aku butuhkan setelah segala konflik batin yang terjadi pada pagi hari ini.
Tentu saja, Felix ikut bersamaku karena dia khawatir kalau-kalau aku nekat menenggelamkan diri di bendungan ini. Kekhawatirannya sangat bisa dipahami, tapi sejujurnya, aku hanya butuh waktu buat merenung sendirian aja.
Aku menyulut sebatang rokok, lalu menghirupnya dalam-dalam agar asapnya bisa menenangkan pikiran yang berlarian kencang ini. Rasa bersalah itu masih terasa menggerogoti hatiku. Felicia hanya meminta untuk tetap jadi orang baik seperti biasanya, tapi aku malah gagal untuk memenuhi harapan terakhir yang sederhana itu. Meski keputusan semesta atas kematiannya begitu mengecewakan, tapi kelakuanku selama dua bulan terakhir ini mungkin jauh lebih mengecewakan.
Tak hanya pada Felicia, aku juga merasa bersalah pada Felix. Dia selama ini merawatku dengan tulus, meskipun dia juga punya lukanya sendiri. Aku sadar bahwa perlakuanku yang kasar pasti pernah menyakiti hatinya—atau bahkan fisiknya.
Mungkin benar apa kata orang-orang bahwa aku sudah mulai menggila karena stres berat semenjak kematian Felicia. Tapi, berkat Felix, perlahan aku mulai bisa bangkit. Walaupun baru sedikit, tapi kemajuan tetaplah kemajuan.
Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa kedepannya aku akan terus membenahi diri sampai bisa kembali menjadi sosok yang dulu pernah dikenal oleh semua orang.
“Gimana, udah ngerasa baikan sekarang?” Tanya Felix sambil menghembuskan asap rokoknya. Aku hanya mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaannya itu.
“Lalu, apa yang mau kau lakukan setelah ini?” Tanyanya lagi, kali ini sambil menghisap batang rokoknya.
“Mungkin aku mau buka kantor notarisku lagi. Udah dua bulan aku membiarkannya terbengkalai.”
“Oke, kapan kau mau buka lagi?”
“Kayanya besok, deh. Kenapa kau nanya?”
“Buat mastiin aja. Soalnya, aku mau ngosongin jadwal biar bisa bantu-bantu di kantormu.”
Aku tertawa kecil ketika mendengar ucapannya itu. Ketulusan hati Felix kali ini berhasil membuat hatiku terharu. Dia selalu ada untuk membantu di segala situasi, tanpa banyak tanya. Melihatku tertawa, Felix pun ikut tersenyum. Mungkin ini pertama kalinya dalam dua bulan terakhir dia melihatku tertawa.
“Makasih banyak, Felix.” Ucapku dengan tulus, sambil menikmati sedotan rokok terakhir untuk merasakan nikotin yang mengalir pelan di dalam tubuh.
Dari sini, entah kenapa aku bisa ngerasa bahwa semuanya akan jadi lebih baik. Meskipun begitu, aku juga nggak yakin kalau segalanya akan berjalan dengan lancar. Tapi, yah, apapun yang terjadi, terjadilah. Lagipula, apa lagi yang bisa jadi lebih buruk daripada kematian Felicia?
Ilustrasi Tokoh:
...Emanuel Nathaniel...
...Felicia Putri Helena...
...Felix Putra Christian...