Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Brayn menahan tawa saat Alina menghujani tubuhnya dengan cubitan.
Baginya, cukup menyenangkan menggoda anak perawan seperti Alina.
Di mana hal-hal yang berhubungan dengan keintiman sepasang suami istri masih terasa menggelikan untuk dibicarakan.
Wajah polos nan cantik itu berhasil membangkitkan sesuatu yang sejak lama dijaga dengan baik.
Tidak butuh waktu lama, Brayn telah menguasai keadaan.
Tali kecil membentuk ikatan pita yang tersemat di bahu wanita itu lepas dengan sekali tarik.
Alina langsung melirik tali yang satunya, bersiap jika sang suami ingin menariknya juga.
"Tenang, jangan buru-buru, katanya tidak mau sakit."
Pipi Alina kembali merona. Secepat kilat ia menarik bantal untuk menutupi bagian dadanya.
"Duh, yang seharusnya dibuka malah ditutup. Efek nikah tanpa pacaran ini, mah," gurau Brayn, membuat Alina mengangkat bantal dan menutupi wajahnya.
Perlahan Brayn menarik bantal yang digunakan Alina untuk menutup wajah.
Jantung Alina berdegub semakin cepat ketika Brayn menatapnya dengan dengan penuh cinta.
Tatapan yang hampir tidak pernah ia lihat dari lelaki itu.
Brayn membenarkan posisi duduknya. Kini ia bersandar di tempat tidur dan menyelonjorkan kaki.
Ia memberi isyarat kepada Alina dengan menatap ke bagian pahanya.
"Sini."
Sontak tubuh wanita itu meremang. Bagaimana mungkin Brayn memintanya melakukan hal gila seperti itu?
Memakan pisang saja Alina tidak suka, apalagi jika harus ....
"Aku tidak mau, Kak! Itu kan tempat pipis, jorok!" penolakan Alina itu membuat kedua mata Brayn membulat.
"Astaghfirullah, Alina Putri Khoirunnisa. Ini otak pikirannya sedang ke mana?" Ia menunjuk pelipis istrinya dengan gemas.
"Kakak suruh aku ke situ!" Alina menunjuk tempat di antara kedua kaki suaminya. "Aku tidak mau! Jorok!"
Brayn menggaruk kepala. Ingin tertawa, namun ia tahan.
Akhirnya, ia jelaskan secara perlahan apa arti dari isyarat yang ia berikan.
"Sayangku ... bukan itu maksudku."
Brayn menarik tangan wanita itu dan menekan punggungnya, memintanya membungkuk.
"Aku tidak mau, Kak! Tidak mau!" rintih Alina. Matanya terpejam pasrah.
Namun detik kemudian ia merasakan posisi yang begitu nyaman, juga dengan belaian lembut pada kepala.
Perlahan ia membuka mata dan menatap sang suami yang sedang membelai rambutnya, menyelip ke belakang telinga.
"Hanya begini saja," bisik Brayn, membuat kedua sisi pipi wanita itu semakin memerah.
Rupanya, ia telah berpikir berlebihan, karena Brayn hanya memintanya berbaring dengan menjadikan pahanya sebagai bantal.
"Oh... hehe... kirain."
"Tapi tidak apa-apa kalau mau mencoba," tawar Brayn kemudian.
"Tidak!"
"Lucu deh kamu. Memang anak perawan seperti ini semua, ya?" tutur Brayn sambil membelai lekukan leher istrinya.
"Aku kan malu. Biasanya Kakak tidak begini."
"Kemarin-kemarin kan ditahan karena kamu sakit. Coba dirangsang yang ya pasti kebablasan juga lama-lama ... seperti sekarang ini. Bajunya tipis dan terbuka begini, siapa yang tidak tergoda coba?"
Alina menyembunyikan wajahnya dengan membenamkan di permukaan perut suaminya.
Sehingga ia bisa menyesap aroma parfum yang begitu menenangkan.
Aroma parfum milik Brayn terasa sangat lembut menyusup ke indera penciuman, bukan tipe menyengat.
"Wajahnya pas sekali di pusar aku. Ke bawah sedikit coba," bisik Brayn mesra, sambil mengusap punggung Alina.
"Tuh kan...."
Brayn terkekeh. Tangannya mulai merambat ke tengah punggung sang istri yang terbuka.
Ia melihat sendiri bagaimana Alina berusaha menahan sensasi geli saat jemarinya bermain di punggung. Memberinya sentuhan sedikit demi sedikit.
Brayn mengikis jarak dengan membungkuk dan mengecupi kening wanita itu tiga kali.
“Ini agar kamu tidak memikirkan laki-laki selain aku."
Bibir lembut itu kemudian berpindah ke mata, kanan dan kiri ia kecup secara bergantian.
"Yang ini agar matanya tidak sembarangan melirik yang lain."
Semakin ke bawah, Brayn mengarah ke pipi dan berakhir di bibir.
"Kalau yang ini, agar selalu mendoakan suaminya."
Alina mulai terhanyut, apalagi bibir suaminya itu terasa lembut dan kenyal.
Awalnya hanya kecupan biasa, namun semakin lama, terasa semakin dalam. Ada hasrat yang mendesak di sana.
Alina membuka mata saat Brayn memberi jeda, namun tak berlangsung lama karena lelaki itu kembali memangutnya.
Alina bahkan tak sadar lagi sejak kapan ia berpindah, dari semula yang berbaring di pangkuan suaminya, kini keduanya telah berada di bawah selimut yang sama.
"Kak.." Alina menahan dada bidang yang perlahan berpindah posisi berada tepat di atasnya.
"Stttt!" desis Brayn pelan.
Tak membiarkan Alina berbicara walau hanya sepatah kata, ia kembali membungkam bibir merah muda itu. Napas mulai memburu di antara keduanya.
Alina merasa aneh, ia kepayahan meraup udara, namun justru menikmati setiap sentuhan, naluri secara alamiah membalas dan memangutnya.
Bahkan, tanpa sadar tangannya mengalung ke punggung leher sang suami. Menahan agar tetap di sana.
Pertahanan Brayn yang sejak tadi ia tahan-tahan akhirnya jebol.
Pakaian tipis itu ia lepas dengan sekali tarik hingga terhempas ke lantai.
Jangan tanyakan bagaimana Alina sekarang. Rasa malu yang tadi memenuhi hatinya perlahan sirna bak hilang kewarasan.
Dada bidang suaminya itu seperti menghipnotis.
Lengannya yang kokoh, tubuhnya yang padat dan tangguh, punggungnya yang tegap.
Alina mulai meracau ketika lelaki itu menyusuri bagian-bagian yang selama ini tersembunyi.
Membawa angannya terbang jauh. Rasa seperti membubung ke angaksa.
Alina sempat merasa suaminya seperti seseorang yang telah memiliki pengalaman.
Meskipun ia yakin ini adalah yang pertama bagi lelaki itu.
Tetapi akal sehat Alina kembali bekerja, sebagai dokter, tentu Brayn telah menguasai teori dan tinggal praktek saja.
Saking lihainya, Brayn bahkan tahu tempat-tempat yang paling mematikan bagi wanita jika disentuh.
Kamar yang semula sejuk oleh hembusan udara dari mesin mendingin ruangan itu mendadak memanas.
Sedikit rintihan dan isak tangis terdengar menjadi simbol menyatunya dua insan yang sedang mabuk kepayang.
Ketika selimut berguncang, justru tirai-tirai kamar bergerak pelan, mengikuti irama dari hembusan udara di dalam ruangan.
Dan lenguhan Alina, mungkin adalah jenis suara paling menyenangkan yang pernah didengar Brayn sepanjang hidupnya.
Bisa dipastikan malam-malam berikutnya akan terdengar suara yang sama. Atau mungkin lebih dari ini. Entahlah.
Brayn bahkan tidak memiliki kata yang mampu menggambarkan rasa yang ada saat ini.
Hanya doa dan harapan yang berbisik merdu ketika benih-benih cinta tersemai.
***********
***********
taunya mimpi Thor....
Alhamdulillah kalau masih baik2, saja...😅
biar sama" introspeksi terutama buat miaaaa
double up donk
gak mau denger tapi kedengeran