Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 22
Besok harinya, saat Irish baru saja pulang dari kantor, setibanya di rumah, baru saja dia hendak beristirahat sebentar sebelum menjemput Vivi dan Nathan, bel pintu apartemennya berbunyi, Irish buru-buru membuka pintu, dan tertegun.
Di depan sana berdiri lima orang pekerja dari jasa pengiriman. Dua di antaranya mendorong troli penuh kardus, sisanya mengangkat barang-barang besar seperti kursi malas, meja lipat, bahkan satu set sofa baru yang masih terbungkus plastik tebal.
Di belakang mereka, seorang pria berpakaian rapi dengan clipboard tersenyum sopan.
“Selamat sore. Ini kiriman atas nama Nona Irish. Tolong tanda tangan di sini.”
Irish mengerutkan dahi. “Saya tidak pesan apa pun.”
“Benar, Nona,” jawab petugas itu cepat. “Barang-barang ini dibeli atas nama Nona Hanna. Beliau meminta agar semuanya dikirim dan ditata langsung di dalam apartemen Anda hari ini.”
“Hanna…?” Irish hampir tak percaya.
"Dan ini note yang di titipkan pada kami." para petugas pengirim itu memberikan selembar kertas pada Irish.
"Irish, barang-barang ini kuberikan karena rumahmu kan habis kebanjiran, jadi pasti perabot dan beberapa peralatan rumahmu rusak, jadi ini aku hadiahkan untukmu. Jangan bertanya lagi tentang ini padaku. Hanna.." Begitulah isi pesan di dalam kertas yang diberikan petugas pengiriman itu pada Irish.
Meskipun Hanna berkata demikian di dalam pesannya itu, tetap saja Irish merasa tak enak hati menerima barang-barang pemberian Hanna itu.
Tapi belum sempat Irish menolak, para pekerja sudah masuk ke dalam. Mereka bergerak cepat, membongkar plastik, menyusun furnitur baru, mengangkat karpet lama yang sudah usang, bahkan menyingkirkan sofa Irish yang tampak basah karena terkena rembesan air dari saat rumahnya kebanjiran kemarin.
Irish langsung menyusul, panik.
“Tunggu! Tolong jangan dipindahkan semuanya! Aku...”
Seorang petugas berhenti dan menunjuk bagian bawah sofa lamanya. “Maaf, Nona. Sofa lama Anda basah dan mulai berjamur di bagian bawah. Kami sudah diberi instruksi oleh Nona Hanna untuk mengganti semua perabotan yang rusak atau terkena air.”
Irish menatap sekeliling. Perabotan lamanya memang sebagian besar rusak akibat kebanjiran kemarin, karpetnya pun bau apek. beberapa perabot lain juga menjadi rusak dan tak bisa lagi di gunakan.
Sementara itu, para pekerja mulai menata barang-barang baru, sofa abu-abu elegan dengan bantal empuk, rak minimalis dari kayu jati muda, bahkan dua kasur single baru lengkap dengan seprei dan selimut untuk kamar anak-anak. Di dapur, peralatan masak serba stainless juga ikut diturunkan dari kotak.
Irish menepuk kening. Pusing. Ia tahu Hanna punya kecenderungan impulsif dan royal, tapi ini? Ini bukan hadiah. Ini renovasi mendadak.
Ia cepat-cepat mengambil ponsel dan mencoba menelepon Hanna.
Nada tunggu... lalu mati.
Ia coba lagi. Kali ini terdengar suara otomatis. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."
Irish menghela napas berat. “Kenapa nomornya tidak aktif."
Karena nomor Hanna yang tak aktif, Irish memutuskan dia akan langsung bicara pada Hanna saat di tempat kerja besok.
Ia menatap sekeliling ruang tamu barunya yang kini tampak seperti showroom mebel. Semua tampak rapi, mewah, dan... tidak cocok dengan ukuran apartemennya yang mungil.
Di sudut ruangan, ia menemukan satu kotak kecil berisi mainan anak-anak, robot, balok kayu, dan boneka lembut. Ia memungutnya perlahan, tersenyum kecil.
“Ini yang paling masuk akal,” gumamnya.
Setelah para pekerja selesai menata dan berpamitan, Irish duduk di ujung sofa baru itu, masih terdiam. Ia merasa... campur aduk. Bersyukur, tersentuh, tapi dia juga memikirkan utang yang harus dia bayar pada Hanna.
“Berapa hutang yang harus aku bayar untuk semua ini?” suaranya bergetar.
Sepertinya dia harus mengumpulkan uang yang banyak untuk membayar Hanna atas perabotan dan barang lainnya yang di berikan Hanna untuknya.
Besok harinya...
Hari ini adalah hari Irish menemani Hanna yang sedang syuting dengan Kirana.
Irish berlari sedikit menjauh dari kerumunan, menatap ke arah Hanna yang sedang berbincang dengan Erick. Erick tampak mendengarkan dengan saksama sambil sesekali tersenyum menanggapi ucapan Hanna.
Irish sempat ingin memuji keberanian dan ketulusan Hanna, saat dia ingin berjalan ke arah Hanna, tiba-tiba ia merasakan seseorang menabrak pinggangnya cukup keras.
Tubuh Irish terhuyung ke samping, ia berusaha menyeimbangkan diri agar tidak jatuh, sementara orang yang menabraknya tidak seberuntung itu.
Terdengar suara “Aw!” disusul bunyi benda-benda jatuh berserakan di lantai.
Irish menunduk, melihat lantai yang sekarang dipenuhi gelas plastik dan beberapa peralatan lain yang berantakan.
Sepertinya salah satu staf yang lewat tidak sengaja menabraknya. Irish tidak mau memperpanjang masalah, ia langsung berjongkok untuk membantu memunguti barang-barang itu.
“Aduh, bagaimana ini! Semua barang ku jatuh, nanti asisten sutradara pasti memarahiku!” keluh pria itu panik, tanpa meminta maaf, hanya memikirkan dirinya sendiri.
Irish menahan napas, mencoba tetap sabar meskipun hatinya sedang tidak tenang. Ia terus membantu merapikan gelas-gelas plastik yang jatuh.
Setelah selesai, Irish menyerahkan barang-barang itu sambil berkata tenang, “Ini, punyamu.”
Pria itu buru-buru meraih barang-barangnya sambil menunduk, lalu saat menatap wajah Irish, keduanya terkejut bersamaan dan spontan berseru:
“Edward!”
“Irish!”
Nama mereka meluncur hampir bersamaan.
Irish langsung bertanya, “Edward, kenapa kau ada di sini?”
Edward terlihat canggung, menunduk sambil menggaruk kepalanya. “Aku… kerja sambilan di sini, cari uang tambahan.”
Ia tampak menahan malu, teringat utangnya pada Irish yang belum pernah ia bayar.
Irish mengangguk pelan, lalu bertanya lagi, “Anakmu sudah lahir?”
Edward terkejut, menatap Irish dengan curiga. “kenapa kamu bisa tahu tahu jika istriku melahirkan?”
"Aku pernah melihatnya." Kata Irish.
Mendengar itu, Edward sedikit menghela napas lega. Memang banyak penagih utang yang datang mencarinya, tetapi sepertinya Irish tidak berniat menagih.
Namun Irish tetap ingin tahu, “Jadi, anakmu bagaimana?”
Edward menghela napas panjang, lalu mengerang pahit. “Jangan dibahas lagi. Setelah anakku lahir satu bulan, istriku kabur bawa anakku. Sampai sekarang tidak tahu ke mana!”
“Istrimu kabur?” Irish merasa aneh. Setahunya dulu pasangan itu cukup mesra. Istrinya bahkan tampak rela menanggung susah demi Edward. Kok sekarang malah kabur?
“Ya kabur!” Edward mendengus kesal. “Perempuan itu cuma lihat uang. Aku memang miskin, aku suka judi, suka minum, jadi dia tidak bisa terima hidup susah denganku?”
Mendengar Edward bicara begitu, Irish dalam hati mencibir. Istrinya sudah mau melahirkan anakmu, hidup dengan susah payah bersamamu di rumah eh kamu malah jadi pria tidak tahu diri.
Kalau dia punya kesempatan untuk hidup lebih baik, untuk dicintai dengan benar, kenapa harus bertahan padamu?
Irish mendengus pelan. Sudah jelas sejak dulu Edward bukan orang yang bisa dipercaya. Pernah meminjam uang padanya, lalu kabur tanpa kabar.
Ya, benar bahwa orang miskin memang patut dikasihani, tapi kalau tidak mau berubah, hanya tahu mengeluh, menolak berjuang, dan tidak tahu bersyukur, maka hidup sengsara seperti ini memang sudah sepantasnya.
Begitu memikirkan itu, Irish benar-benar tak ingin berurusan lebih jauh dengan Edward. Ia hendak berbalik dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba suara Edward menghentikan langkahnya.
“Irish, tunggu… ada sesuatu yang mau kutanyakan.”
Irish menoleh dengan malas, suaranya datar. “Apa?”
Edward tersenyum canggung, menatapnya penuh rasa sungkan. “A...aku… akhir-akhir ini lagi kesulitan. Bisakah kau… meminjamkan uang lagi padaku?”
Irish sempat menatapnya lama, hampir tak percaya. Sudah berbaik hati tak menagih utang lama, sekarang malah minta pinjaman lagi? Betul-betul tak tahu malu.
“Aku tidak punya uang,” jawab Irish dingin.
Ia menghela napas pelan, menatap Edward dari ujung kepala sampai kaki, lalu berkata dengan tegas,
“Tapi ingat, kamu masih berutang padaku. Surat perjanjian hutang itu masih ada di laci mejaku. Kapan kau mau bayar?”
Wajah Edward langsung pucat. Ia tertawa kaku, berusaha mengalihkan pembicaraan, lalu mendadak menepuk perutnya.
“Aduh… tiba-tiba perutku tidak enak, aku ke toilet dulu, nanti kita bahas lagi!”
Tanpa menunggu jawaban, Edward langsung kabur menuju toilet pria.
Irish menatap punggungnya dengan jijik, malas berkata apa pun, lalu berjalan pergi. rasa sebalnya pada Edward membuat Irish lupa, jika dia ingin berterimakasih pada Hanna, dan berjanji akan membayar semua yang Hanna berikan padanya.
Di sisi lain, Edward mengintip dari balik pintu toilet pria, memastikan Irish benar-benar menjauh, barulah ia menghela napas lega. Namun saat berbalik, ia terkejut melihat Kirana berdiri di depan pintu toilet wanita, tangan terlipat di dada, menatapnya dengan ekspresi muak.
Kirana baru saja selesai bertengkar dengan Hanna, suasana hatinya sangat buruk. Melihat Edward, lelaki kumal, menatapnya penuh nafsu sambil menelan ludah, membuat amarahnya naik lagi.
“Nona Kirana, Kamu cantik sekali,” Edward mencoba mendekat, menyanjungnya dengan tatapan tak sopan.
Kirana meludah ke samping, lalu menoleh dengan pandangan tajam penuh jijik.
“Pergi!”
walau memang pada kenyataannya, dia udah sadar istrinya itu adalah ular sihhh 😌
q tunggu kisah kai dan maya
Seneng nya semuanya bisa bahagia
happy ending 😍😍😍
ditunggu karya selanjutnya
apa mungkin akhirnya sad ending 🤔🤔🤔🤔