Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 22
Hari ini adalah hari Irish menemani Hanna yang sedang syuting dengan Kirana.
Irish berlari sedikit menjauh dari kerumunan, menatap ke arah Hanna yang sedang berbincang dengan Erick. Erick tampak mendengarkan dengan saksama sambil sesekali tersenyum menanggapi ucapan Hanna.
Irish sempat ingin memuji keberanian dan ketulusan Hanna, tetapi tiba-tiba ia merasakan seseorang menabrak pinggangnya cukup keras.
Tubuh Irish terhuyung ke samping, ia berusaha menyeimbangkan diri agar tidak jatuh, sementara orang yang menabraknya tidak seberuntung itu.
Terdengar suara “Aw!” disusul bunyi benda-benda jatuh berserakan di lantai.
Irish menunduk, melihat lantai yang sekarang dipenuhi gelas plastik dan beberapa peralatan lain yang berantakan.
Sepertinya salah satu staf yang lewat tidak sengaja menabraknya. Irish tidak mau memperpanjang masalah, ia langsung berjongkok untuk membantu memunguti barang-barang itu.
“Aduh, bagaimana ini! Semua barangku jatuh, nanti asisten sutradara pasti memarahiku!” keluh pria itu panik, tanpa meminta maaf, hanya memikirkan dirinya sendiri.
Irish menahan napas, mencoba tetap sabar meskipun hatinya sedang tidak tenang. Ia terus membantu merapikan gelas-gelas plastik yang jatuh.
Setelah selesai, Irish menyerahkan barang-barang itu sambil berkata tenang, “Ini, punyamu.”
Pria itu buru-buru meraih barang-barangnya sambil menunduk, lalu saat menatap wajah Irish, keduanya terkejut bersamaan dan spontan berseru:
“Edward!”
“Irish!”
Nama mereka meluncur hampir bersamaan.
Irish langsung bertanya, “Edward, kenapa kamu ada di sini?”
Edward terlihat canggung, menunduk sambil menggaruk kepalanya. “Aku… kerja sambilan di sini, cari uang tambahan.”
Ia tampak menahan malu, teringat utangnya pada Irish yang belum pernah ia bayar.
Irish mengangguk pelan, lalu bertanya lagi, “Anakmu sudah lahir?”
Edward terkejut, menatap Irish dengan curiga. “kenapa kamu bisa tahu tahu jika istriku melahirkan?”
"Aku pernah melihatnya." Kata Irish.
Mendengar itu, Edward sedikit menghela napas lega. Memang banyak penagih utang yang datang mencarinya, tetapi sepertinya Irish tidak berniat menagih.
Namun Irish tetap ingin tahu, “Jadi, anakmu bagaimana?”
Edward menghela napas panjang, lalu mengerang pahit. “Jangan dibahas lagi. Setelah anakku lahir satu bulan, istriku kabur bawa anakku. Sampai sekarang tidam tahu ke mana!”
“Istrimu kabur?” Irish merasa aneh. Setahunya dulu pasangan itu cukup mesra. Istrinya bahkan tampak rela menanggung susah demi Edward. Kok sekarang malah kabur?
“Ya kabur!” Edward mendengus kesal. “Perempuan itu cuma lihat uang. Aku memang miskin, aku suka judi, suka minum, jadi dia tidak bisa terima hidup susah denganku?”
Mendengar Edward bicara begitu, Irish dalam hati mencibir. Istrinya sudah mau melahirkan anakmu, hidup dengan susah payah bersamamu di rumah eh kamu malah jadi pria tidak tahu diri.
Kalau dia punya kesempatan untuk hidup lebih baik, untuk dicintai dengan benar, kenapa harus bertahan padamu?
Irish mendengus pelan. Sudah jelas sejak dulu Edward bukan orang yang bisa dipercaya. Pernah meminjam uang padanya, lalu kabur tanpa kabar.
Ya, benar bahwa orang miskin memang patut dikasihani, tapi kalau tidak mau berubah, hanya tahu mengeluh, menolak berjuang, dan tidak tahu bersyukur, maka hidup sengsara seperti ini memang sudah sepantasnya.
Begitu memikirkan itu, Irish benar-benar tak ingin berurusan lebih jauh dengan Edward. Ia hendak berbalik dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba suara Edward menghentikan langkahnya.
“Irish, tunggu… ada sesuatu yang mau kutanyakan.”
Irish menoleh dengan malas, suaranya datar. “Apa?”
Edward tersenyum canggung, menatapnya penuh rasa sungkan. “A...aku… akhir-akhir ini lagi kesulitan. Bisakah kau… meminjamkan uang lagi padaku?”
Irish sempat menatapnya lama, hampir tak percaya. Sudah berbaik hati tak menagih utang lama, sekarang malah minta pinjaman lagi? Betul-betul tak tahu malu.
“Aku tidak punya uang,” jawab Irish dingin.
Ia menghela napas pelan, menatap Edward dari ujung kepala sampai kaki, lalu berkata dengan tegas,
“Tapi ingat, kamu masih berutang padaku. Surat perjanjian hutang itu masih ada di laci mejaku. Kapan kau mau bayar?”
Wajah Edward langsung pucat. Ia tertawa kaku, berusaha mengalihkan pembicaraan, lalu mendadak menepuk perutnya.
“Aduh… tiba-tiba perutku tidak enak, aku ke toilet dulu, nanti kita bahas lagi!”
Tanpa menunggu jawaban, Edward langsung kabur menuju toilet pria.
Irish menatap punggungnya dengan jijik, malas berkata apa pun, lalu berjalan pergi.
Di sisi lain, Edward mengintip dari balik pintu toilet pria, memastikan Irish benar-benar menjauh, barulah ia menghela napas lega. Namun saat berbalik, ia terkejut melihat Kirana berdiri di depan pintu toilet wanita, tangan terlipat di dada, menatapnya dengan ekspresi muak.
Kirana baru saja selesai bertengkar dengan Hanna, suasana hatinya sangat buruk. Melihat Edward, lelaki kumal, menatapnya penuh nafsu sambil menelan ludah, membuat amarahnya naik lagi.
“Nona Kirana, Anda… cantik sekali,” Edward mencoba mendekat, menyanjungnya dengan tatapan tak sopan.
Kirana meludah ke samping, lalu menoleh dengan pandangan tajam penuh jijik.
“Pergi!”
gemessaa lihatnya