NovelToon NovelToon
Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Identitas Tersembunyi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: Portgasdhaaa

Di dunia yang hanya mengenal terang dan gelap, Laras adalah satu-satunya cahaya yang lahir di tengah warna abu-abu.

Arka, seorang lelaki dengan masa lalu yang terkubur dalam darah dan kesepian, hidup di balik bayang-bayang sistem dunia bawah tanah yang tak pernah bisa disentuh hukum. Ia tidak percaya pada cinta. Tidak percaya pada harapan. Hingga satu pertemuan di masa kecil mengubah jalan hidupnya—ketika seorang gadis kecil memberinya sepotong roti di tengah hujan, dan tanpa sadar... memberinya alasan untuk tetap hidup.

Bertahun-tahun kemudian, mereka bertemu kembali—bukan sebagai anak-anak, melainkan sebagai dua jiwa yang telah terluka oleh dunia. Laras tak tahu bahwa lelaki yang kini terus hadir dalam hidupnya menyimpan rahasia gelap yang mampu menghancurkan segalanya. Rahasia yang menyangkut organisasi tersembunyi: Star Nine—kekuatan yang tak tercatat dalam sejarah, namun mengendalikan arah zaman.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Akhir Burung Gagak

Angin malam berhembus lembut di tepian kota. Langit menggantung kelabu, seolah menahan hujan yang tak pernah benar-benar turun. Di atas jembatan tua yang membentang di atas jalur kereta, seorang pria berdiri sendiri, jas panjangnya berkibar pelan diterpa angin.

Arka.

Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Kepalanya sedikit menunduk, matanya memandang lampu-lampu kota yang berkedip dalam kabut. Suara kereta lewat di bawahnya tak menggugah emosi apapun dari wajah itu. Hanya ada kesunyian yang memadat.

Di telinga kirinya, sebuah ear-com kecil aktif.

“Target sudah di dalam. Valentia siap di posisi. Kau yakin mau langsung eksekusi malam ini, Papa Bos?”

Suara Pixie terdengar ringan.

Arka tak menjawab langsung. Ia menatap sejenak ke arah rel kereta—seperti sedang menghitung waktu. Lalu, perlahan ia mengangguk kecil.

“Burung Gagak tak akan bangun lagi besok pagi.”

“Oke~ Kalau gitu... aku siap backup dari satelit. Oh iya, jangan lupa! CCTV ruangan harus kamu biarin aku yang bersihin. Karena... aku udah install kejutan kecil di sistem mereka~ Hehe~”

Arka memejamkan mata sesaat, lalu menghela napas. “Jangan terlalu heboh, Pixie.”

“Terlambat. Sistem mereka udah aku ganti jadi video klip lagu anak-anak. Hihihi~”

“Oh! Dan... beliin aku es krim ya nanti! Yang rasa stroberi kacang!”

Klik.

Arka menonaktifkan sambungan sebelum Pixie bisa menambahkan permintaan absurd lainnya. Satu tarikan napas lagi ia ambil, lalu membalikkan badan.

Langkah-langkahnya meninggalkan jembatan tanpa suara, namun berat seperti vonis mati.

________

Keheningan masih melingkupi ruangan, hanya dipecah oleh detak jarum jam antik di dinding dan napas ngos-ngosan dari pria tua yang duduk lumpuh di kursinya. Wajahnya pucat. Peluh membasahi pelipisnya. Jari-jarinya tak lagi mampu bergerak. Mulutnya satu-satunya senjata yang tersisa—dan bahkan itu pun mulai melemah.

Valentia tidak terburu-buru. Ia hanya duduk santai di tepi meja, memutar jarum kecil di jarinya sambil mengamati efek racunnya bekerja seperti seorang seniman memandangi lukisan yang baru selesai.

Tiba-tiba, suara langkah kaki menggema pelan dari balik lorong. Berbeda dari suara sepatu hak milik Valentia. Langkah itu berat, stabil, dan tanpa irama ragu.

Valentia menoleh ringan. Tidak terkejut.

Senyumnya mengembang sedikit, bukan lagi senyum nakal penuh godaan melainkan senyum kepuasan. Layaknya asisten pribadi yang tahu bahwa tugasnya telah selesai… dan sekarang giliran sang eksekutor utama turun tangan.

Ketukan langkah itu makin jelas. Mendekat. Penuh wibawa.

Lalu—klik.

Bunyi mekanik terdengar dari pintu baja di ujung ruangan. Kunci terbuka. Engsel berderit pelan. Cahaya dari lorong sempit memancar masuk, memotong kegelapan ruangan dengan sinar keemasan yang temaram.

Siluet pria bertubuh tinggi menjulang muncul di balik cahaya lorong belakang. Jas hitam panjangnya bergerak pelan setiap langkah, menampilkan perpaduan ketenangan dan bahaya.

Tak ada ekspresi di wajahnya, hanya tatapan lurus, tajam, dan dingin yang menyorot ke arah pria tua yang kini nyaris tak mampu mengangkat kelopak matanya.

Ketua Burung Gagak yang tubuhnya nyaris lumpuh itu mendelik, napasnya memburu karena panik. Jiwanya, entah kenapa, langsung tahu...sosok itu adalah penyebab segalanya.

Arka melangkah masuk tanpa suara. Setiap geraknya terukur. Tak ada amarah. Tak ada emosi. Hanya fokus yang menekan atmosfer ruangan hingga terasa sulit bernapas.

Valentia bangkit dari kursi, memberikan tempatnya dengan anggukan kecil.

“Dia masih bisa bicara,” ucapnya tenang. “Tapi waktunya tinggal sebentar lagi~”

Arka tidak menjawab. Ia hanya melepaskan sarung tangan hitamnya perlahan, lalu duduk menggantikan Valentia. Satu kaki disilangkan. Tubuhnya bersandar santai, namun sorot matanya mengunci mangsanya seperti pisau yang siap menebas leher.

“Damian Lim,” ucapnya pelan, namun tajam. “Waktu itu, dia datang padamu. Menyewa kalian untuk menculik seseorang.”

Pria tua itu menggigil. Napasnya tercekat. Suaranya parau.

“...a-a-aku Cuma… menjalankan bisnis…”

Arka menatap lurus. “Kau menyentuh milikku.”

Nada suaranya tak meninggi, tapi cukup untuk membuat udara berhenti bergerak.

“Jadi aku datang… untuk mengambil milikmu.”

Pupil pria itu mengecil. Ia tahu ini bukan negosiasi.

Valentia menyender di dinding, mengeluarkan tablet kecil. “Dokumen digitalnya sudah kuambil semuanya. Tapi... si ketua tua ini pasti tahu yang versi cetaknya disembunyikan di mana.”

Arka condong ke depan. Dekat. Suaranya berubah menjadi bisikan dingin di antara desah napas yang tersisa.

“Dokumennya,” bisiknya pelan. “Kalau kau jawab sekarang, aku akan membiarkanmu hidup... meski hanya sebagai tanaman hias di rumah sakit.”

Pria tua itu terisak. Tercekik antara takut dan keputusasaan.

 

“...L-Lukisan… belakang rak buku… ada… lemari besi… kode-nya... 5… 8… 1… 9…”

________

Begitu mendengar kode itu, Valentia langsung bergerak.

Langkahnya ringan tapi cepat, seperti angin yang menyusup masuk ke celah-celah ruangan.

Ia berjalan menuju lukisan besar bergaya klasik yang tergantung di sisi kiri ruangan—sebuah potret lama yang menampilkan tiga burung gagak bertengger di atas menara jam. Dengan satu gerakan halus, Valentia menarik sisi bawah bingkai. Klik. Mekanisme tersembunyi aktif, dan lukisan itu perlahan terangkat, memperlihatkan sebuah lemari besi baja yang tertanam di dinding kayu.

“5... 8... 1... 9…” gumamnya pelan sambil memutar knop kombinasi.

CHKKT!

Suara penguncian terbuka terdengar dalam diam.

Valentia menarik pintu lemari dengan satu tangan, dan cahaya oranye hangat dari lampu gantung menyinari isi dalamnya—setumpuk dokumen fisik dalam map-map hitam bersegel, sebagian lagi dalam bentuk mikrofilm dan beberapa flashdisk tertempel rapi di dinding lemari.

Tanpa banyak komentar, ia mengambil semuanya.

Valentia menatap sebentar ke arah pria tua di kursi, yang kini hanya bisa menatap kosong—seperti bangkai yang lupa dikubur.

“Dokumennya lengkap,” ucap Valentia pelan saat ia kembali berdiri di sisi Arka. “Semua rekaman transaksi dengan Lim, daftar jaringan bawah tanah mereka, serta... beberapa nama yang sepertinya belum sempat dibersihkan dari sistem.”

Arka tidak menjawab segera. Ia hanya bangkit, mengenakan kembali sarung tangannya, lalu menatap ruangan itu untuk terakhir kalinya—seperti seorang hakim yang baru menjatuhkan vonis mati pada ruang sidang terakhirnya.

Akhirnya ia bicara.

“Kita berangkat ke keluarga Lim.”

 _______

Di sudut kota lain yang jauh, sebuah ruangan gelap menyala biru oleh ratusan layar. Di tengahnya, seorang bocah laki-laki berambut putih acak duduk bersila. Baju putih-birunya kusut, kantuk membayang di matanya. Tangan kanannya sibuk nyomot keripik, sementara tangan kirinya sesekali mengetuk layar hologram.

“Ngantuk banget... siapa juga yang nyuruh bocil jaga tengah malam gini sih…” gumamnya, diiringi satu kali menguap panjang.

Di salah satu layar, kartun anak-anak menari riang, menutupi rekaman eksekusi dingin yang baru saja terjadi.

Ia melirik ear-com di meja dan manyun.

“…Dan Papa Bos, seenaknya nutup sambungan gitu aja…”

Pixie bersandar malas, kedua kakinya bergoyang ringan di udara.

“Liat aja. Besok aku nyasar-nyasarin GPS dia ke taman dinosaurus digital. Biar kapok.”

Layar perlahan meredup. Tapi sistem di belakangnya tetap aktif. Semua berjalan otomatis. Semua sudah diatur.

Dan di balik wajah ngantuk itu...

Pixie bermain-main dengan dunia digital yang goyah,

jari mungilnya menaklukkan satelit dan sistem pertahanan negara.

1
Marga Saragih
/Drool//Drool//Drool//Drool//Drool/
Marga Saragih
hhh tarik napas
Marga Saragih
/Hammer//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marga Saragih
oh ternyata
Marga Saragih
😰😰😰😰😰😰😰😰
Marga Saragih
napas dulu
Marga Saragih
balas dendam yang mengerikan
Marga Saragih
bocil ni bos senggol dong /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marga Saragih
tegang banget
Marga Saragih
keren abis
Marga Saragih
baper abis
Marga Saragih
/Drool//Drool//Drool//Drool//Drool//Drool/
Marga Saragih
lucu juga senyum sendiri
Marga Saragih
siapa arka sebenarnya?
Marga Saragih
menguras emosi
Marga Saragih
/Good//Good//Good//Good//Good//Good/
Marga Saragih
gemes thor
Hamdan Almahfuzd: Kok gemes😭 perasaan aku bikin adegan horor deh🙄
total 1 replies
Marga Saragih
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
Marga Saragih
/Ok//Ok//Ok/
Marga Saragih
kayanya Arka mafia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!