Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 16
...-Bangkit, semangat lagi. Halaman baru nggak menunggu lukamu sembuh-...
...***...
Tak ada angin, tak ada hujan, Barra tiba-tiba merasa kesal teramat dalam. Selama syuting emosinya sungguh sulit untuk dikendalikan, alhasil pria ini meminta maaf berkali-kali pada para staf dan juga sutradara.
"Kamu kenapa? Lagi ada masalah? Nggak kayak biasanya kamu kacau begini. Benerin dulu deh moodnya. Oke?" Beruntunglah Barra, bekerja dengan sutradara yang sabar.
"Ada sedikit masalah, berantem sama tuan putri," sahut Barra.
"Minta ibu baru lagi?" Pak sutradara terkekeh, ia menunjuk kru perempuan secara bergantian, "Ada banyak cewek, lho, di sini. Kamu tinggal pilih mau yang mana."
"Emangnya mereka kue, tinggal pilih kalau suka. Iya kalau mereka mau saya bawa, kalau enggak? Ini jidat, "ucap Barra menunjukkan keningnya pada pak sutradara, "Bisa benjol ditabok sama mereka."
Baik Barra juga pak sutradara, dua pria ini tertawa.
"Sudah nggak tegang lagi, 'kan? Kita istirahat aja dulu. Lanjut lagi kalau mood kamu sudah baikan."
Demi memberikan ketenangan untuk Barra, sutradara itu menyarankan untuk beristirahat beberapa waktu. Ya, hatinya memang sedang lelah, tapi tak tahu karena apa. Hingga detik ini Barra masih enggan mengakui bahwa dirinya sedang terbakar api cemburu. Pertengkaran dengan Arum menjadi kambing hitam atas hati yang berkelit.
"Seorang pengusaha ... cih! Apa hebatnya!" decih Barra. Kini ia telah berada di kediamannya. Meski kakinya terasa gatal ingin mendatangi Yara dan bertanya tentang hubungannya dengan Jefrey, mati-matian pria ini menahan diri.
"Ingat! Kamu bukan siapa-siapa dia, Barra" ujarnya bicara pada diri sendiri.
Beranjak dari tempat tidur, kemudian berjalan menuju beranda kamarnya, perhatian pria ini tersita pada sebuah panggilan dari ponselnya. Dengan malas dia berjalan menuju nakas, untuk mengambil sang gawai.
"Kak Jingga?" Sudah sangat lama, sang kakak tidak menghubungi dirinya terlebih dahulu. Kali ini ada perihal penting apakah yang membuat penulis dingin ini menghubunginya.
"Assalamualaikum ..."
Debur ombak lebih dulu menyambut salam Barra, alih-alih suara sang kakak.
"Kak Jingga ...?"
"Ah, waalaikumsalam. Hei bocah, kamu apain keponakanku? Dasar ayah nggak becus, ngurus satu anak aja nggak benar!"
Ya salam, saking kerasnya suara sang kakak, Barra sampai menjauhkan ponselnya dari telinga.
"Arum baik-baik aja ..."
"Baik gundulmu! Kamu pikir aku nggak tau?! Arum masuk rumah sakit, 'kan?" Sangat terasa emosi sang kakak, membuat Barra kesulitan menelan ludah.
"Aku sudah bilang berkali-kali, cariin dia pengasuh, yang bisa jagain dia siang dan malam. Kamu, lho, sudah nggak bisa ngasih dia ibu, ngasih pengasuh buat dia aja nggak mau. Duit nggak dibawa mati Baraaaaa! Jangan jadi manusia pelit!"
Ocehan sang kakak kembali membuatnya tertekan. Menikah lagi ... menikah lagi.
"Kak, aku bukannya nggak mau ngasih dia ibu. Tapi, ini masalah menikah ..."
"Memangnya kenapa kalau menikah? Kamu alergi sama menikah? Atau .. kamu masih normal, 'kan, Bar?"
Wah, berat! Ke-lelakiannya dipertanyakan. Barra mengacak rambut dan mengusap dada, menahan diri agar tidak berkata kasar pada Jingga.
"Aku normal. Sangat normal!"
"Kalau gitu buruan nikah! Kasih bukti, jangan ngomong doang!" sambar Jingga.
"Eh! Halo? ... Halo?"
Terdengar desah jengah Barra di ujung telepon. Beginilah dirinya saat diajak bicara tentang pernikahan maka dia akan mencari cara untuk menyudahi obrolan mereka.
"Ck! Ngambek dah tuh! Bodo amat! Nanti aku acak-acak rumahmu!'
"Iya, iya!" Dengan terpaksa Barra berkata begitu, daripada Jingga mengadu pada mamanya dan sang mama yang akan datang menggantikan sang kakak, oh! Barra justru sangat tidak menginginkan hal itu.
* * *
Menjadi pengangguran, sungguh membosankan. Yara yang biasanya sibuk sedari subuh, kini hanya ongkang-ongkang kaki menunggu Latif pulang bekerja. Setidaknya sang paman kerap membawakan makanan ketika pulang bekerja.
"Ck! nggak bisa dibiarkan! Aku harus cari kerja, tapi kerja apa?!"
Tadinya Yara berayun di Hammock, memikirkan keinginan untuk bekerja, dirinya pun membawa diri untuk bangkit dari tempat itu.
Menyusuri jalanan kecil, hingga akhirnya sampai di minimarket depan. Dengan uang 20.000 dia masuk ke dalam.
"Selamat datang Neng Yara. Ada yang bisa Bang Em bantu?" sapa Emran. Dia sedang menyusun cemilan di rak saat Yara masuk.
"Nggak ada."
"Eh?" Emran dibuat bingung dengan kedatangan gadis ini.
"Nggak ada apaan? Kamu lagi ada masalah?" Ia sejajar dengan Yara, yang sudah lebih dulu mengambil duduk pada kursi bulat.
"Emang kapan aku nggak ada masalah," cicit Yara lemas.
Emran menyapukan pandangannya pada setiap sudut minimarket. Pekerjaan menyusun cemilan dan bersih-bersih sudah selesai, dia pun memiliki waktu luang untuk mendengarkan keluh kesah Ayara.
"Sini, cerita! Abang Emran kasih waktu konsultasi gratis." Emran memutar kursi bulat yang diduduki Yara, begitu juga dengan kursinya. Hingga mereka berdua kini menghadap dinding kaca, bicara sambil memandangi jalanan.
Sejenak Ayara diam saja, berusaha menahan semua beban itu sendirian. Tapi, dirinya bukan tak pernah bicara dari hati ke hati dengan Emran, anak orang kaya dari kampung yang kabur mengadu nasib di kota sebagai penjaga minimarket.
Tak banyak waktu untuk Yara berkeluh kesah, ia langsung bercerita pada intinya, bahwa dirinya sedang butuh perkejaan.
Memegangi perutnya. "Aku lapar, boleh nggak kamu bikinin aku mie paket komplit?" tanya Yara pada Emran.
Yara juga menyodorkan uang 20.000 pada Emran setelah bicara. Pria itu terkekeh, "Kamu nggak jelas, Yar. Tiba-tiba datang, tiba-tiba cerita, tiba-tiba kelaparan, tiba-tiba ngasih uang. Berat banget ya bebannya sampai bikin kamu kayak orang linglung begini." Tatapan iba dari Emran pada Yara, begitu hangat seperti seorang saudara pada adik terkecilnya.
"Gitu, ya. Aku linglung, ya. Aku kelihatan kasihan banget, ya, Em?"
"Banget," jawab Emran tertawa.
Yara hanya bisa manyun, tak tau harus bersikap seperti apa. Lupakan saja dulu dirinya yang linglung ini, sekarang tolong beri dia makan dulu.
"Kamu tau sendiri, mie instan yang enak itu harus lengkap isiannya. 20.000 aku cuman bisa ngasih dua lembar keju dan satu biji telor ke dalam mie kamu."
"Nggak ada nasi?" tanya Yara lagi.
"Nggak ada sosis juga," Emran menambahkan..
Sontak Yara memberengut. Dengan keadaan cacing di perut yang berdemo sekarang, Yara yakin makan mie tanpa nasi tidak akan membuat mereka diam. Tapi, apa hendak dikata, dia tak ingin menambah utang pada Emran
"Sudahlah, nggak pake nasi sama sosis juga nggak masalah."
Meninggalkan Emran, yang mulai sibuk meracik mie untuknya. Yara terkejut akan kedatang seorang pria bermasker.
Tanpa bicara, pria itu menyodorkan sosis keju dua bungkus, juga nasi instan.
"Eh? Kamu ..."
"Buat kamu," ujar pria itu.
Mereka sempat bertatap mata sepersekian detik, dan Yara merasa tak asing dengan tatapan pria itu.
"Kamu siapa?"
"Manusia," sahut pria itu sembari meninggalkan minimarket.
Yara kebingungan. Dia mendatangi Emran dengan membawa sosis dan nasi instan itu.
"Sudah dibayar, cowok pake masker kan yang ngasih ini ke kamu?"
"Iya, tapi dia siapa?" tanya Yara mengangguki pertanyaan Emran.
"Langganan. Tapi selama ini aku nggak pernah liat dia nggak pake masker." Jawaban Emran membuat Yara takut untuk mengkonsumsi pemberian pria bermasker.
"Ck! Makan aja! Dia kayaknya orang kaya, modelan CEO gitu. Aku yakin uangnya halal." Emran menyambar makanan itu dari tangan Yara, dan meraciknya ke dalam mie pesanan nona muda ini.
"Emran!"
"Tinggal makan, Neng Yaraaaa! Jangan cerewet!"
Ayara kembali memberengut. Emran ini, terkadang baik, terkadang julid, terkadang juga menyebalkan. Tapi meski begitu Yara merasa cocok berteman dengannya.
Terlihat sudah pergi dari minimarket, pada kenyataannya pria bermasker itu memerhatikan Yara dari seberang jalan.
"Gimana, Tuan?" tanya sang supir.
"Dia dipecat."
"Tarik aja ke perusahaan," ujar sang supir lagi. Nampaknya hubungan mereka terjalin dengan baik, sebab obrolan mereka lebih terdengar seperti obrolan dua sahabat.
"Nggak tau, deh. Aku nggak yakin dia bisa nerima kenyataan nantinya." Masker di wajahnya telah terbuka. Dia memiliki hidung yang mancung, dan mata tajam dengan bulu mata yang lebat. Dilihat dari wajahnya, dia bukanlah orang asli negeri ini. Atau ... dia seperti memiliki darah campuran eropa.
Nampak dia tersenyum ketika melihat Yara menikmati makanan yang dia berikan.
"Tenang aja, Yara, aku bakal bantuin kamu," gumam pria ini.
...To be continued .......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan kasih saran yang membangun, ya....
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum