"Jangan pergi."
Suara itu terdengar lirih, hampir tenggelam oleh tiupan angin perbatasan. Tapi Cakra mendengarnya jelas. Shifa berdiri di hadapannya, mengenakan jaket lapangan yang kebesaran dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kecemasan.
"Aku harus."
Cakra menunduk, memeriksa ulang peluru cadangan di kantongnya. Tangannya gemetar sedikit. Tapi dia tetap berdiri tegak.
Shifa maju selangkah, menatap matanya.
"Kenapa harus kamu? Ada banyak tim. Kenapa kamu yang selalu minta maju paling depan?"
"Karena itu tugasku."
Cakra tidak mengangkat wajahnya.
"Bukan. Itu karena kamu terus ngejar bayangan ayahmu. Kamu pikir kalau kamu mati di sini, kamu bakal jadi pahlawan seperti dia?"
Diam.
"Aku bukan ibumu, Cakra. Aku nggak mau mengantar orang yang aku cintai ke pemakaman. Aku nggak sekuat Bu Dita."
Suara Shifa mulai naik.
Cakra akhirnya menatapnya. "Ini bukan soal jadi pahlawan. Ini soal pilihan. Dan aku sudah memilih jalan ini, jauh sebelum aku kenal kamu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kaka_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Rumah Buku Kecil di Pinggir Kota
Suara rintik hujan semalam masih menyisakan aroma tanah basah di udara. Matahari baru muncul dari balik awan, cahayanya masuk lewat jendela toko, menyentuh rak demi rak buku dengan lembut. Lantai kayu yang mengkilap memantulkan sinar, memberi kesan hangat pada ruangan yang sempit namun penuh cerita.
Cakra, remaja dengan rambut agak berantakan dan wajah masih tampak mengantuk, membuka pintu kaca toko buku kecil milik ibunya. Di lehernya tergantung celemek abu-abu kusam bertuliskan “Cakra’s Bookshelf” yang ia bordir sendiri waktu SMP.
Ia mengangkat sapu, mulai dari sudut dekat pintu masuk. Sesekali, ia jongkok untuk mengambil serpihan daun kering yang terbawa angin malam. Rak-rak tinggi berisi buku tampak sedikit berantakan—mungkin akibat pengunjung anak-anak kemarin yang berebut komik Naruto.
Cakra bergumam pelan, “Aduh, siapa yang nyelipin novel horror di rak dongeng anak, sih…”
Ia menyusuri rak sambil merapikan posisi buku. Tangan kanannya menyentuh sampul satu per satu, seakan menyapa mereka seperti teman lama. Di rak tengah, ia memperbaiki posisi novel klasik yang terjepit miring di antara dua komik detektif. Sambil bersenandung kecil, Cakra sesekali melirik ke luar jendela toko yang menghadap ke jalan kecil perumahan.
Tiba-tiba—cling clang—lonceng kecil di atas pintu berdenting. Bukan pelanggan.
Seekor kucing belang gendut melangkah pelan, ekornya bergoyang anggun seperti pemilik sah toko. Cakra berhenti menyapu dan menatapnya.
“Hei, Miko,” ujarnya, tangannya bertolak pinggang. “Mau baca buku horor lagi? Yang kemarin kamu tinggal di halaman 73, lho.”
Miko, si kucing, mengeong sekali—seolah membalas ucapan itu—lalu dengan santainya naik ke atas tumpukan buku di meja kasir dan merebahkan diri.
Cakra tertawa pelan. Ia menghampiri, mengelus kepala si belang yang langsung memejamkan mata.
“Nanti kalau Bu Rini lihat kamu di sini lagi, aku bisa dimarahi. Kamu tuh, ngapain sih suka banget tidur di bagian buku thriller?”
Kucing itu hanya mendengus. Dengan hati-hati, Cakra mengangkat tubuh Miko dan membawanya keluar. Di depan pintu, ia menurunkannya perlahan ke tanah, lalu menunjuk ke arah rumah seberang.
“Sana, pulang dulu. Nanti sore kamu balik lagi aja kalau mau ngobrol soal Sherlock Holmes.”
Miko menatapnya dengan tatapan malas, lalu berjalan menjauh seolah enggan tapi pasrah. Cakra tersenyum, menutup pintu, dan kembali melanjutkan rutinitas.
Dengan suara lirih, ia bicara sendiri, “Hari ini bakal seru, aku yakin…”
Udara siang mulai menghangat. Toko buku yang tadinya dipenuhi canda anak-anak dan ibu-ibu, kini tenang kembali. Tapi tak lama kemudian, pintu kembali berdering cling cling—kali ini muncul sesosok pemuda berkaus oblong, celana training belel, dan rambut acak-acakan seperti baru bangun dari tidur panjang tanpa mimpi.
“Yo, Cakra!” serunya sambil melambai. Di tangannya ada segelas kopi instan dari warung depan.
Cakra menengok sebentar dari balik rak sejarah. “Yo, Ardi. Hari ini baca apa? Kapitalisme? Demokrasi? Atau kisah cinta tokoh revolusi lagi?”
Ardi langsung menduduki kursi kayu tua di pojok rak buku sejarah. Ia mengangguk serius, membuka satu buku tebal dan langsung mulai bicara seolah berada di forum nasional.
“Kebijakan pendidikan sekarang ini problematik, Bro. Buku teksnya terlalu berat untuk anak SD. Kamu bayangin, anak segede upil bawa tas segede galon isi ulang. Belum isinya penuh dengan istilah ‘interdisipliner’ dan ‘integratif’. Gimana mau paham?”
Cakra menyambut santai, masih menyusun beberapa buku. “Kalau terlalu berat, ya kita bantu bacain pelan-pelan. Biar paham pelan-pelan. Namanya juga anak-anak.”
Ardi langsung menyodok, “Itu solusi darurat, Cak. Tapi bagaimana dengan regulasi jangka panjangnya? Kebijakan strategis nasionalnya? Pendidikan karakter berbasis literasi lokal dalam era post-digital globalisasi?”
Cakra berhenti sejenak. Ia menoleh dengan wajah seolah berpikir dalam.
“Wah, kalau udah post-digital, berarti buku cetak harus punya fitur swipe kanan dong?”
Ardi melongo beberapa detik, lalu mendengus geli. “Anjir. Gue kira lo bakal jawab serius.”
Cakra nyengir. “Serius itu kadang butuh jeda. Biar nggak meledak jadi stres nasional.”
Mereka tertawa. Ardi mengaduk kopinya sambil menatap ke arah rak, lalu bergumam, “Tapi serius, ya. Kalau kita punya target literasi nasional yang tinggi tapi warga desa masih bingung cara buka e-book, itu gimana?”
Cakra duduk di sebelahnya, mengangguk. “Berarti solusinya satu.”
“Apa tuh?”
“Taruh Wi-Fi gratis di pos ronda. Kasih pelatihan baca digital sekalian ngopi.”
Ardi menunjuk Cakra. “Nah, itu baru solusi gotong royong.”
Lalu mereka terdiam sejenak. Tak ada yang benar-benar tahu apakah percakapan mereka barusan bernilai politis atau sekadar dua pemuda iseng yang terlalu banyak baca buku sambil ngopi.
Dan di toko buku kecil itu, debat berakhir bukan dengan argumen, tapi dengan tawa yang tulus.
Udara siang mulai menghangat. Toko buku yang tadinya dipenuhi canda anak-anak dan ibu-ibu, kini tenang kembali. Tapi tak lama kemudian, pintu kembali berdering cling cling—kali ini muncul sesosok pemuda berkaus oblong, celana training belel, dan rambut acak-acakan seperti baru bangun dari tidur panjang tanpa mimpi.
“Yo, Cakra!” serunya sambil melambai. Di tangannya ada segelas kopi instan dari warung depan.
Cakra menengok sebentar dari balik rak sejarah. “Yo, Ardi. Hari ini baca apa? Kapitalisme? Demokrasi? Atau kisah cinta tokoh revolusi lagi?”
Ardi langsung menduduki kursi kayu tua di pojok rak buku sejarah. Ia mengangguk serius, membuka satu buku tebal dan langsung mulai bicara seolah berada di forum nasional.
“Kebijakan pendidikan sekarang ini problematik, Bro. Buku teksnya terlalu berat untuk anak SD. Kamu bayangin, anak segede upil bawa tas segede galon isi ulang. Belum isinya penuh dengan istilah ‘interdisipliner’ dan ‘integratif’. Gimana mau paham?”
Cakra menyambut santai, masih menyusun beberapa buku. “Kalau terlalu berat, ya kita bantu bacain pelan-pelan. Biar paham pelan-pelan. Namanya juga anak-anak.”
Ardi langsung menyodok, “Itu solusi darurat, Cak. Tapi bagaimana dengan regulasi jangka panjangnya? Kebijakan strategis nasionalnya? Pendidikan karakter berbasis literasi lokal dalam era post-digital globalisasi?”
Cakra berhenti sejenak. Ia menoleh dengan wajah seolah berpikir dalam.
“Wah, kalau udah post-digital, berarti buku cetak harus punya fitur swipe kanan dong?”
Ardi melongo beberapa detik, lalu mendengus geli. “Anjir. Gue kira lo bakal jawab serius.”
Cakra nyengir. “Serius itu kadang butuh jeda. Biar nggak meledak jadi stres nasional.”
Mereka tertawa. Ardi mengaduk kopinya sambil menatap ke arah rak, lalu bergumam, “Tapi serius, ya. Kalau kita punya target literasi nasional yang tinggi tapi warga desa masih bingung cara buka e-book, itu gimana?”
Cakra duduk di sebelahnya, mengangguk. “Berarti solusinya satu.”
“Apa tuh?”
“Taruh Wi-Fi gratis di pos ronda. Kasih pelatihan baca digital sekalian ngopi.”
Ardi menunjuk Cakra. “Nah, itu baru solusi gotong royong.”
Lalu mereka terdiam sejenak. Tak ada yang benar-benar tahu apakah percakapan mereka barusan bernilai politis atau sekadar dua pemuda iseng yang terlalu banyak baca buku sambil ngopi. Dan di toko buku kecil itu, debat berakhir bukan dengan argumen, tapi dengan tawa yang tulus.
Langit sore menggantung temaram, menyisakan semburat jingga yang memantul di kaca jendela toko. Lampu gantung di atas kasir mulai meredup, satu per satu pelanggan pamit. Toko buku kecil itu kembali sunyi, hanya ditemani suara kipas tua yang menderu pelan.
Cakra berdiri di tengah ruangan, menatap rak-rak buku yang baru saja ia rapikan. Tangannya menggulung apron, lalu meletakkannya di balik kursi. Ia berjalan pelan menuju meja kasir, mematikan lampu satu per satu, lalu duduk di kursi kayu favoritnya—yang sudah agak goyah di bagian sandaran.
Ia menghela napas dan menyesap teh hangat dari cangkir enamel putih bergambar ayam jago. Uapnya mengepul tipis, membingkai wajahnya yang mulai terlihat lelah tapi damai.
"Toko buku ini menyenangkan," pikirnya, "selalu ada tawa, cerita baru, bahkan perdebatan kecil yang aneh tapi hangat."
Ia tersenyum kecil, menatap langit yang mulai berganti kelabu. Tapi senyum itu memudar pelan saat matanya berpaling ke arah satu sudut meja kerja—sebuah kotak kayu kecil, sedikit berdebu tapi tetap utuh. Pita birunya kini nyaris pudar, tapi Cakra tahu betul isi di dalamnya.
Surat-surat ayah.
Ia tak membuka kotaknya malam itu, tapi cukup dengan melihatnya saja, dadanya terasa hangat dan sedikit sesak.
"Aku senang bisa bikin hari orang lain lebih cerah lewat toko ini," pikirnya dalam hati.
"Tapi... kapan aku mulai mengejar mimpiku sendiri?"
Tangannya secara refleks mengusap permukaan kotak, seperti ingin menyerap semangat yang dulu terkirim lewat kata-kata di atas kertas.
Malam perlahan turun. Di luar, suara jangkrik mulai terdengar bersahutan. Dan di toko buku kecil itu, yang kini hanya diterangi lampu gantung terakhir, seorang pemuda menyimpan harapan dalam diam—menyadari bahwa cita-cita kadang muncul bukan dari panggilan besar… tapi dari surat-surat yang dibaca saat masih kecil.
perhatikan lagi huruf kapital di awal paragraf