Suatu kesalahan besar telah membuat Kara terusir dari keluarga. Bersama bayi yang ia kandung, Kara dan kekasih menjalani hidup sulit menjadi sepasang suami istri baru di umur muda. Hidup sederhana, bahkan sulit dengan jiwa muda mereka membuat rumah tangga Kara goyah. Tidak ada yang bisa dilakukan, sebagai istri, Kara ingin kehidupan mereka naik derajat. Selama sepuluh tahun merantau di negeri tetangga, hidup yang diimpikan terwujud, tetapi pulangnya malah mendapat sebuah kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup Baru
Elno dan Kara mendapat rumah kontrakan kecil dengan sewa empat ratus ribu perbulan. Hanya ada satu kasur lantai, lemari kecil dan kamar mandi dalam kamar itu. Yang lainnya masih kosong dan itu artinya Kara dan Elno harus membeli perlengkapan yang lain.
"Ini uang seratus ribu. Tambahin sama uang yang kamu punya buat beli keperluan lain," kata Elno sembari menyodorkan uang satu lembar kepada Kara.
"Aku akan pergi belanja besok. Kita juga tidak punya pakaian. Kita memerlukannya untuk berganti."
"Sepertinya kita menikah siri dulu. Setidaknya, biar tidak dianggap yang macam-macam sama warga di sini," kata Elno.
"Kalau bisa besok kita menikah saja."
Elno mengangguk, "Kamu tenang saja. Sebaiknya kamu istirahat dulu. Besok hari yang melelahkan untuk kita."
Kara berbaring di atas kasur, sedangkan Elno tidur di lantai. Tempat tidur nyaman serta pendingin ruangan, tidak dapat lagi mereka rasakan. Yang ada hanya kasur busa yang ditiduri tidak enak, satu bantal dan guling, lalu kipas angin. Untung saja pemilik rumah sewa menyediakan kipas angin duduk. Setidaknya Kara dan Elno tidak kepanasan.
...****************...
"Kara, aku pulang!" seru Elno dengan mengetuk pintu.
Kara bergegas membukakan kekasihnya pintu. "Sudah pulang."
"Sarapan dulu," kata Elno.
Hanya satu bungkus nasi uduk yang Elno beli. Mereka harus berhemat mulai sekarang karena tidak ada lagi orang yang dimintai uang. Mereka berdua harus mandiri.
Kara tidak mempermasalahkan hal itu. Toh dia bukan dari orang kaya raya. Orang tuanya sederhana, tetapi berbagi nasi memang Kara belum pernah melakukannya.
"Kita setengah-setengah nasinya," kata Elno.
"Iya," sahut Kara tersenyum.
Nasi bungkus dibagi dua. Jika dimakan bersama seseorang yang dicintai, maka akan terasa sangat nikmat. Kara tetap bisa makan dengan lahap begitu juga dengan Elno.
"Coba kamu cari tahu. Mungkin ada yang menyewakan pakaian muslim untukmu. Kita tidak mungkin menikah dengan memakai kaus dan celana jeans, kan?" kata Elno.
"Kamu antar aku ke pasar dulu. Aku ingin membeli beberapa keperluan," kata Kara.
Elno mengangguk, "Aku antar kamu dulu. Nanti kalau sudah belanjanya, kamu telepon saja. Aku akan datang menjemputmu."
Keduanya menyelesaikan acara sarapan bersama, lalu pergi ke pasar dengan mengendarai sepeda motor.
"Kamu hati-hati. Aku pergi dulu," kata Kara.
"Jangan lupa telepon," pesan Elno yang langsung pergi dengan sepeda motornya.
Kara membeli beberapa kaus untuk Elno, celana pendek dan juga pakaian dalam. Ia juga membeli daster murah sebanyak tiga helai dan menghabiskan uang tiga ratus ribu.
"Beli perlengkapan mandi sama panci, deh, sisanya. Oh, ya apa aku harus membeli kompor gas mini?" gumam Kara.
Kara meraba kalung yang melingkar di lehernya. Kalung emas pemberian orang tuanya. Rumah kontrak mereka memerlukan pekakas dapur agar tidak terus-terusan membeli nasi bungkus.
Kara menuju toko penjual emas. Ia terpaksa menjual benda berharga satu-satunya demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena kalung itu tidak bersurat, jadi harganya sedikit murah.
Hasil yang didapat dari menjual kalung, sekitar dua juta. Kara membeli gelas, sendok, piring plastik, serta termos, lalu ia juga membeli kompor gas satu tungku. Kara juga pergi ke tempat penyewaan pakaian untuk menyewa baju untuk mereka menikah nanti.
"Capek juga seharian jalan. Mana panas lagi," kata Kara sembari mengirim pesan kepada Elno agar menjemputnya.
Tidak lama, Elno datang menjemput dan kaget mendapati belanjaan kekasihnya. "Kamu belanja sebanyak ini uang dari mana?"
"Aku menjual perhiasanku," jawab Kara.
"Kenapa dijual? Itu untuk biaya mendadak, Kara."
"Kita memerlukan barang-barang ini, El. Sebaiknya kita pulang dulu. Hari semakin terik," kata Kara.
"Ayo pulang."
Motor Elno penuh dengan barang-barang belanjaan. Sekarang mereka bukan lagi anak muda yang memikirkan diri sendiri. Sekarang keduanya harus saling memikirkan satu sama lain.
"Kapan acara pernikahan kita?" tanya Kara saat mereka telah sampai di kontrakkan.
"Sore ini jam tiga. Kamu siap-siap saja. Aku sudah izin dengan Rt setempat dan meminta mereka menjadi saksimu," kata Elno.
"Aku juga sudah menyewa pakaian."
"Baguslah," kata Elno sembari membawa masuk barang belanjaan Kara.
...****************...
Jam dua sore, Kara dan Elno bersiap-siap. Kara memakai kebaya panjang dengan kerudung, sedangkan Elno memakai kemeja berwarna putih. Mereka akan menikah di rumah Rt setempat.
"Sudah siap?" tanya Elno, "kita berangkat sekarang. Lebih baik menunggu daripada datang terlambat."
"Aku sudah siap," ucap Kara.
Kara wanita yang cantik. Meski ia tidak berhias, tetap saja kelihatan cantiknya. Kulitnya putih, hidung bangir, bibir tipis, dan tubuhnya tinggi sekitar seratus enam puluh lima centimeter.
"Hanya ini yang bisa kuberikan padamu," kata Elno sembari mengeluarkan cincin dari sakunya.
"Dari mana kamu dapatkan ini?"
"Cincinnya sudah lama kubeli. Rencananya buat anniversary hari jadian kita," ucap Elno.
Kara tersenyum, "Tidak apa-apa. Asal kita menikah saja sudah cukup."
Elno meraih tangan Kara dan mengecupnya. Keduanya keluar, menaiki motor dan berlalu menuju rumah Rt setempat.
Di rumah pak Rt sudah ada empat orang yang datang. Mereka yang akan menjadi saksi pernikahan keduanya. Selagi menunggu penghulu datang, Elno menghapalkan kalimat ijab kabul.
Tidak lama penghulu datang. Acara pernikahan pun dilaksanakan. Elno mengucapkan ijab kabul dengan lantang dan hanya sekali ucap. Kini resmilah Elno dan Kara menjadi pasangan suami istri.
"Sekarang kamu istriku."
Kara tersenyum, "Sekarang kamu suamiku."
...****************...
Elno terlihat melamun di depan rumahnya. Sekarang ia sudah beristri dan sebentar lagi akan punya anak. Pekerjaan belum punya dan ijazahnya juga belum diberikan oleh pihak sekolah.
Elno dan Kara memang sudah dinyatakan lulus sekolah, tetapi ijazah mereka belum diberikan. Kemungkinan dokumen sekolah akan diberikan seminggu lagi.
"Sayang," tegur Kara.
"Belum tidur?"
"Aku lagi beres-beres," kata Kara yang turut duduk di kursi kayu depan teras.
"Jangan terlalu lelah. Kamu lagi hamil," kata Elno.
"Enggak, kok."
"Besok aku harus cari kerja. Selama ijazah kita belum ada, sepertinya akan sulit," ucap Elno.
"Kalau begitu aku juga."
"Jangan! Kamu lagi hamil masa kerja. Nanti ada apa-apa gimana?"
Kara mengangguk, "Kita masuk, yuk! Sudah malam."
Dering ponsel berbunyi. Pesan beruntun masuk ke ponsel milik Elno dan pria itu segera membacanya. Pesan dari teman-teman kumpul yang mengajak untuk bermain game di cafe.
Elno tidak membalas pesan itu. Statusnya berbeda sekarang. Ia bukan lagi remaja, tetapi seorang suami. Pergi ke cafe pasti akan mengeluarkan uang.
"Ayo, kita tidur saja," kata Elno dengan merangkul istrinya masuk ke dalam rumah.
"Teman-temanku juga mengirim pesan. Mereka mengajakku untuk kumpul bersama, tetapi aku menolaknya," kata Kara.
"Kalau aku punya uang, pasti aku akan mengajakmu ke cafe seperti kita kencan waktu dulu."
"Aku akan menunggu saat itu," ucap Kara.
Bersambung
penuh makna
banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita ini.
sampai termehek-mehek bacanya
😭😭😭😭🥰🥰🥰
ya Tuhan.
sakitnya