Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Apartemen Elit, sore hari.
Seorang pria berdiri tegak di depan meja kaca. Dengan ekspresi datar, ia meletakkan setumpuk dokumen di hadapan wanita yang duduk diam di seberangnya.
“Tanda tangan,” katanya tegas. “Walau pernikahan kita hanya kontrak kerja, aku tetap akan melakukan pembagian harta. Tiga tahun kau memainkan peran sebagai istri dan menantu dengan baik. Aku menghargai kerja samamu.”
Suara berat itu milik Andrian Zhou. Tanpa menunggu jawaban, ia mengambil jas panjangnya yang tergantung di kursi, lalu menarik koper hitam di samping meja.
“Aku akan ke luar negeri. Tiga bulan lagi aku kembali saat proses perceraian sudah selesai. Sebelum itu, kau bisa tetap tinggal di sini. Aku akan menyiapkan tempat tinggal baru untukmu setelah aku kembali.”
Ia menatap sekilas wanita itu—tatapan dingin tanpa emosi. “Anggap saja ini hadiah karena sudah bekerja sama dengan baik.”
Setelah itu, ia melangkah pergi, meninggalkan ruangan yang tiba-tiba terasa begitu sunyi.
Wanita itu menatap dokumen di depannya. Tinta hitam, tanda tangan, dan angka-angka besar dalam kolom pembagian harta—semuanya terlihat jelas, namun kabur di balik air mata yang memenuhi matanya.
Ia adalah Clara Wu. Selama tiga tahun, ia menjadi istri yang nyaris tak dianggap. Namun bukan harta yang membuat dadanya sesak—melainkan kehilangan cinta yang tak pernah sempat ia miliki.
“Tiga tahun pernikahan ini tidak ada artinya bagimu, Andrian…” bisiknya lirih. “Aku mencintaimu selama ini, meski kau tak pernah sudi menyentuhku. Tapi… perceraian ini… sama saja menghancurkanku.”
Air mata jatuh satu per satu, membasahi dokumen perceraian yang kini terasa lebih berat dari apa pun di dunia ini.
Clara duduk di ruang tamu yang kini terasa begitu luas dan dingin. Lampu gantung di atas kepalanya berayun pelan, menebar cahaya keemasan yang redup di dinding apartemen elit itu. Di hadapannya, dokumen perceraian masih terbuka, sementara pikirannya melayang pada masa lalu yang begitu menyakitkan.
Suara dingin yang dulu pernah mematahkan hatinya kembali terngiang jelas di kepalanya.
“Aku tidak akan pernah menyentuhmu. Menjijikkan!”
Kata-kata itu, yang diucapkan Andrian pada malam pertama mereka, seolah baru saja terucap. Ia masih ingat bagaimana pria itu menatapnya seolah dirinya hanyalah sesuatu yang kotor dan tak pantas disentuh.
“Andrian…” bisik Clara lirih, menatap kosong ke arah jendela. “Bagimu aku menjijikkan. Tapi aku sudah berusaha… berusaha menjadi istri yang baik.”
Suaranya mulai bergetar, menahan isak yang tak tertahan lagi.
“Aku menyediakan semua yang kau butuhkan, memastikan kau tidak pernah kekurangan apa pun. Kau tidak pernah memarahiku, bahkan beberapa kali membelaku saat orang lain menghina aku. Tapi di matamu…” ia menunduk, air mata jatuh ke pangkuannya. “Kau tetap menganggapku kotor.”
Hening.
Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak perlahan, seolah menghitung setiap detik kesepian yang menelannya hidup-hidup.
Tiba-tiba, Clara merasakan nyeri tajam menusuk perutnya. Ia terhuyung di kursinya, lalu jatuh tersungkur ke lantai. Napasnya memburu, wajahnya seketika pucat pasi, dan matanya memerah menahan sakit yang terasa seperti seluruh organ di tubuhnya robek perlahan.
“Pe… nawar…” gumamnya lirih, berusaha meraih tepi meja untuk berdiri. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mengucur dari pelipis. Dengan sisa tenaga yang ada, ia melangkah keluar apartemen.
Hujan deras menyambutnya di luar. Petir membelah langit malam, sementara Clara masuk ke mobilnya, menyalakan mesin dengan tangan bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan perih yang semakin tak tertahankan.
“Bertahanlah… Clara, bertahan…” bisiknya pada diri sendiri.
Mobil melaju menembus hujan, membelah jalanan yang licin dan sepi. Butiran air memburamkan pandangannya, namun ia tahu ke mana harus pergi. Satu-satunya tempat yang bisa memberinya penawar — tempat yang selama ini menjadi rahasianya.
Beberapa puluh menit kemudian, mobil berhenti di depan kediaman mewah bergaya oriental. Pilar tinggi menjulang, halaman luas diterangi lampu taman yang berkelap-kelip di bawah guyuran hujan. Clara keluar dengan langkah gontai, tubuhnya hampir roboh setiap kali melangkah.
Begitu sampai di dalam, pandangannya langsung tertuju pada seorang pria paruh baya berkacamata yang sedang duduk bersama istrinya dan dua anak laki-laki mereka.
Clara berlutut di hadapan pria itu, suaranya parau dan gemetar.
“Paman… tolong… berikan aku penawar itu…”