📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pelanggan norma yang tercium & Murka warga
Malam itu kota tampak tenang. Angin berhembus ringan, menggesek dedaunan kering yang jatuh di pinggir trotoar. Lampu jalan berpendar redup, sebagian meredup seperti hendak padam. Di kejauhan, suara mesin motor sempat melintas lalu hilang, Namun, di balik tenang itu, ada sesuatu yang sedang kacau.
Kos-kosan justru sepi total. Bangunan dua lantai berderet, cat dindingnya kusam, sebagian pintu berkarat. Hanya satu kamar yang berbeda. Jendela tertutup rapat, pintu terkunci, tirai tergantung kaku.
Di depan pintu kamar itu, sepasang sepatu tergeletak di rak kayu yang sudah miring. Sepatu pria yang besar, menempel berdampingan dengan sepatu wanita yang ramping, bersih, masih meninggalkan kilau muda.
Ruang kamar itu sederhana, berisi sedikit furnitur. Kasur busa tipis terhampar langsung di lantai keramik.
Suara televisi menyala lirih, bercampur dengan dentum samar musik yang seakan hanya jadi latar. Semua suara itu tercampur, tetapi tidak mampu menutupi yang paling jelas: bunyi kasur spon yang bergerak berulang, berderit pelan namun ritmis.
Di sela-sela itu, samar terdengar dua napas berat, panjang, tak beraturan. Nafas yang saling berkejaran, menolak ditelan oleh kesunyian. Nafas yang seakan ingin disembunyikan, tapi justru kian nyata, membongkar apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar remang itu.
Itu suara yang mengabarkan bahwa norma telah dilanggar, di antara dua orang yang seharusnya menjaga diri. Sesuatu yang seharusnya mereka rahasiakan.
Di lantai keramik kamar kos yang dingin, sepotong seragam dokter tergeletak kusut. Kain putih itu seharusnya rapi, wangi, bersih—citra dari profesi yang dihormati. Di bagian pundaknya jelas tertempel logo berbentuk tanda “+” berwarna merah, dengan tulisan kecil “R.S.U. Kencana Permata Indah.” Di dada kirinya tercetak nama dengan benang biru: Lina Mayasa Adika. Identitas resmi, tanda pengenal, bukti pengabdian di rumah sakit.

Malam ini, seragam itu tidak berada di tubuhnya. Tidak berdiri gagah di ruang pasien. Ia justru kusut, jatuh sembarangan di lantai, seperti simbol yang dilepaskan begitu saja tanpa lagi dihormati.
Tepat di bawahnya, menumpuk dua benda lain yang asing berdampingan: sebuah rompi anti peluru berwarna gelap, berat, dan di sampingnya jaket hitam dengan sablon besar bergambar tengkorak metal.
Seragam putih yang mewakili penyelamat nyawa.
Rompi hitam yang mewakili perang dan kekerasan.
Jaket tengkorak yang mewakili dunia liar di luar norma.
Di atas kasur busa tipis yang terhampar di lantai, seorang wanita terbaring dengan tubuh tanpa sehelai kain pun yang menutupi. Bentuk tubuhnya jelas menunjukkan kedewasaan: kulitnya halus, sedikit basah oleh keringat, berkilau samar di bawah cahaya lampu neon redup.
Dadanya penuh, besar dan padat, bergerak naik turun dengan ritme yang berat dan tidak stabil, karena berguncang, menegaskan masih merasakan sesuatu yang bercampur antara lelah, panas, dan rahasia yang disembunyikan.
Pinggulnya menonjol, berlekuk jelas, membentuk siluet perempuan yang matang. Jika seorang pria sekadar melirik tubuh itu, barangkali bukan wajah yang pertama kali menjadi pusat perhatiannya, melainkan “aset” tubuh Lina yang begitu menonjol—aset yang diam-diam membuat banyak mata ingin menahannya lebih lama.
Ia tiduran telentang, dengan kedua kaki yang terbuka lebar dan ditekuk pada lutut. Posisi itu menyingkapkan seluruh kelemahan, seolah-olah tubuhnya sudah kehilangan hak untuk menolak.
Wajahnya tetap indah, meski rambut panjangnya acak-acakan menempel di dahi yang basah keringat. Ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari arah untuk mengalihkan rasa yang berkecamuk.
Wanita itu adalah Lina Mayasa Adika, seorang dokter muda berusia 27 tahun. Istri dari seorang pria yang mencintainya di rumah. Perempuan yang seharusnya menjadi teladan.
Di atas tubuh wanita itu, seorang pria menindih dengan berat tubuhnya yang kokoh. Tubuhnya menutupi cahaya lampu redup yang bergoyang samar, menciptakan bayangan bergerak di dinding sempit kamar kos.
Pria itu tinggi, kira-kira 185 cm. Bahunya bidang dan berotot, meski perutnya kurus menampakkan garis urat yang menegaskan kerasnya latihan militer. Dari pundaknya, sebuah tato kalajengking hitam pekat tampak jelas, mencakar kulit seakan siap menusuk siapa pun yang berani menantangnya.
Ia pun telanjang, tubuhnya menjadi kontras dengan tubuh perempuan yang ditindihnya. Kedua tangannya menggenggam pinggul dan dada wanita itu, erat, seperti memastikan Lina tak akan bisa melarikan diri.
Namanya Solerom Mungkar, seorang tentara angkatan darat. Di usianya yang baru menginjak 30 tahun, ia dikenal sebagai salah satu yang paling berbakat di antara rekan seangkatannya. Kedisiplinan dan naluri tempur membuatnya menonjol.
Solerom menggerakkan pinggulnya perlahan, maju dan mundur, ritmis, penuh kendali. Gerakannya bukan sekadar fisik, tapi simbol bahwa ia sedang menguasai situasi.
Napasnya berat, bercampur dengan deru napas Lina, menambah riuh keheningan malam.
Arloji hitam melingkar di pergelangan tangan pria itu.
Diam, dingin, seakan menjadi saksi bisu bagi setiap gerakan pemiliknya.
Jarumnya tetap berputar, detik demi detik berjalan tanpa peduli.
Jam itu tidak melihat, tidak mendengar, hanya merekam waktu yang berlalu.
Rom tampak tegang, tubuhnya condong ke depan, pinggulnya bergerak berulang-ulang semakin cepat, seakan kehilangan kendali atas ritme. Arloji hitam di pergelangan tangannya berkilat setiap kali ia mengayun, jarum detik terus berputar seakan mengukur napas yang makin berat.
Lina tidak lagi mampu mengendalikan tubuhnya. Bahunya terangkat-angkat, jemarinya mencengkeram sprei kusut di bawahnya. Mata setengah terpejam, bibirnya terbuka, napasnya terhuyung-huyung seperti dikejar sesuatu. Wajahnya memerah.
Suasana kamar makin padat. Lampu remang menciptakan bayangan bergerak di dinding, AC berderu tapi hawa justru panas dan pengap. Bunyi kasur berulang, bercampur dengan suara televisi, Di balik itu, hanya ada dua tubuh yang saling bertubrukan dengan intensitas penuh, ekspresi campuran antara ketegangan dan pelepasan.
Rom tiba-tiba berhenti. Gerakannya terputus, tubuhnya menegang sesaat sebelum menarik diri dari Lina. Nafasnya masih berat, terdengar jelas di antara hening yang menekan.
Lina mulai merasa lega, dadanya turun dengan lebih teratur. Ekspresinya sedikit melunak, bibirnya menghembuskan udara panjang, seakan menemukan ruang untuk bernapas kembali.
Namun, tanpa banyak jeda, Rom kembali bergerak. Ia mengubah posisi tubuhnya cepat. Kedua kakinya ditekuk, naik ke sisi kanan dan kiri bahu Lina, mengapit dengan kuat. Gerakan itu membuat tubuhnya menjulang lebih dekat, bayangannya jatuh menutupi wajah Lina.
Lina membuka mulutnya perlahan. Bibir pink yang semula rapat itu terpisah, Gerakan kecil itu membuat wajahnya tampak ragu sekaligus menanti. Matanya menatap Rom dari bawah, sorotnya bergetar, seakan menyimpan tegang.
Mulut Lina terisi, rahangnya kaku menahan dorongan yang tak terduga. Napasnya tersendat, matanya melebar, tubuhnya ikut bergetar, menyesuaikan diri dengan tekanan yang tiba-tiba hadir.”
Rom mundur perlahan, setiap langkahnya meninggalkan jejak yang membuat Lina menahan napas.
Rom menunduk perlahan, matanya menelusuri lantai keramik, mencari pakaiannya yang berserakan, Tangannya meraih celana dengan gerakan tenang, jari-jari memetik kainnya dengan perlahan, seolah tidak ingin terburu-buru.
Suara gebrakan pintu mengguncang kamar kos yang remang. *Bam! Bam! Bam!* Getarannya menggema, memecah keheningan malam yang sebelumnya hanya dipenuhi derit kasur dan napas berat. Di luar, suara ramai warga terdengar gaduh, seperti lebah yang tersulut sarangnya. Teriakan samar dan langkah kaki berderap mendekat, menciptakan aura ancaman yang kian nyata.
Lina tersentak. Wajahnya yang tadi memerah kini pucat pasi. Matanya melebar, menatap Solerom dengan panik. “Apa itu?!” bisiknya, suaranya gemetar, tangannya mencengkeram sprei kusut. Tubuhnya yang telanjang masih berkilat keringat, kini terasa dingin di bawah hawa AC yang pengap.
“Tenang!” bentak Solerom, suaranya rendah tapi tegas, seperti perintah di medan tempur. Pria itu melompat dari kasur, kakinya mendarat keras di lantai keramik. Dengan gerakan cepat, ia meraih celana seragam tentaranya yang tergeletak di lantai, dekat rompi antipeluru dan jaket tengkorak. “Sembunyi di kamar mandi, sekarang!” perintahnya, matanya menyala, penuh otoritas.
Lina tergagap, “Tapi, Rom—”
“Sekarang, Lina!” Solerom menggebrak meja kecil di samping kasur, membuat gelas plastik di atasnya jatuh bergoyang. Suaranya menggema, penuh amarah yang terkendali namun mengintimidasi. Lina buru-buru merangkak, mengambil seragam dokternya yang kusut, memeluknya ke dada, dan berlari ke kamar mandi kecil di sudut. Pintu kamar mandi ditutup pelan, tapi suara gemetar napasnya masih terdengar samar.
Solerom mengenakan seragam militernya dengan cepat, kancing-kancing logam berkilat di bawah lampu neon. Tato kalajengking di pundaknya tampak hidup saat ototnya menegang. *Bam! Bam!* Gebrakan pintu kembali terdengar, kali ini disertai teriakan, “Buka pintunya! Kami tahu ada yang salah di sini!”
Dengan langkah berat, Solerom menghampiri pintu, tangannya mengepal. Ia menggebrak pintu dari dalam, *bam!*, seolah menjawab tantangan. “Apa maumu?!” teriaknya, suaranya menggelegar, menggetarkan dinding tipis kos-kosan. Ia membuka pintu dengan kasar, engselnya berderit protes. Di depannya, sekelompok warga berdiri, beberapa memegang senter, wajah mereka penuh curiga dan kemarahan.
“Apa yang kalian ributkan?!” bentak Solerom, berdiri tegak di ambang pintu, tubuhnya yang bidang menghalangi pandangan ke dalam kamar. Arloji hitam di pergelangannya berkilat saat ia menunjuk ke arah warga. “Ini malam, kalian ganggu orang!”
Seorang warga, pria tua dengan topi caping, maju selangkah. “Kami dengar suara aneh dari kamar ini! Ada apa di dalam? Kami harus cek!” Suaranya keras, tapi ada nada ragu di bawah tatapan tajam Solerom.
“Suara aneh?!” Solerom tertawa sinis, suaranya penuh ejekan. Ia menggebrak kusen pintu, membuat beberapa warga mundur. “Kalian dengar televisi, bodoh! Saya di sini cuma istirahat setelah misi. Misi penting, bukan urusan kalian!” Ia menunjuk ke rompi antipeluru di lantai, seolah itu bukti tugasnya. “Mau cek? Silakan, tapi kalau buang waktu saya, kalian yang tanggung akibatnya!”
Warga saling pandang, ragu. Seorang wanita di belakang berbisik, “Mungkin cuma televisi…” tapi pria tua itu tidak mundur. “Kami tahu ada orang lain di dalam! Buka jalan!”
Solerom melangkah maju, dadanya membusung, matanya menyipit penuh ancaman. “Kalian tuduh saya bohong?!” Ia menggebrak pintu lagi, kali ini lebih keras, hingga debu berjatuhan dari kusen. “Saya tentara, punya tugas negara! Kalian pikir saya main-main di sini?!” Suaranya mengguncang, membuat anak muda di kerumunan menunduk.
Di dalam kamar mandi, Lina memeluk seragamnya erat, tubuhnya gemetar. Suara bentakan Solerom dan warga terdengar jelas, setiap kata seperti pukulan. Ia menutup mulut, menahan isak, takut rahasia mereka terbongkar.
Solerom menatap warga dengan dingin. “Pergi sekarang, atau saya yang buat kalian pergi!” ancamnya, tangannya sudah siap mendorong pintu menutup. Warga mulai mundur, tapi sorot mata mereka masih penuh curiga, malam itu belum usai.