NovelToon NovelToon
Sukma Dukun Santet, Dalam Tubuh Detektif Tampan.

Sukma Dukun Santet, Dalam Tubuh Detektif Tampan.

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Mata-mata/Agen / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Roh Supernatural / Trauma masa lalu / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Yuni_Hasibuan

Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan

Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.

Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.

“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.

Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1. Prolog

.

.

***

"AAAARHGHHHHKK!"

Teriakannya pecah di tengah malam, bersatu dengan udara, namun suara itu sendiri seolah terhenti di tenggorokan.

Ini bukan sekedar mimpi buruk. Ini adalah tragedi.

Tragedi menjelang kematian Lanang.

Dunia sudah melupakan jasanya mengusir Belanda tiga musim lalu. Yang mereka ingat saat ini hanyalah satu hal: Lanang adalah seorang dukun santet.

Semua karena sebuah ritual penyelamatan yang gagal.

Panas mulai merayap di kulitnya tanpa ampun. Sakitnya tajam, menusuk seperti ribuan jarum membara yang menembus setiap pori-pori.

Tubuhnya berusaha meronta, tapi sia-sia. Tali yang melilit pergelangan tangan dan kakinya terlalu kuat.

Dalam sekaratnya, kilasan ingatan itu muncul menghantui. Bukan bayangan ketakutan, melainkan penyesalan.

Ia melihat wajah Saloka, sahabat setianya, yang sejak awal sudah memperingatkan agar tidak menapaki jalan hitam ini.

Ia juga melihat wajah rakyatnya—orang-orang yang dulu ia selamatkan dari kompeni—kini berdiri menonton, dengan tatapan penuh benci.

“Inikah balasannya, Gusti?” batinnya menjerit pilu.

“Aku mengusir Belanda demi mereka. Aku menerima entitas kegelapan ini demi mereka… tapi pada akhirnya mereka membakarku hidup-hidup karena sebuah kebohongan?”

Namun Lanang tahu, inilah yang memang harus terjadi. Ini satu-satunya jalan untuk menghentikan entitas lapar dalam tubuhnya, agar tak ada lagi yang menjadi korban.

Tetapi pengkhianatan ini… tetap terasa lebih menyakitkan daripada jilatan api yang melahap tubuhnya.

Cesss!

Suara itu seperti meletup, terdengar seperti potongan daging yang dilempar ke tungku pandai besi.

Asap hitam tebal mengepul dari tubuhnya, menyengat hidung, membuat paru-parunya serasa dipenuhi bara. Matanya perih, terlalu lalu perih, namun ia masih bisa melihat bayangan lingkaran manusia yang berdiri mengelilinginya.

Lingkaran itu bukan untuk melindungi.

Mereka hanya berdiri menonton… dengan tatapan bengis, menunggu detik-detik terakhir hidupnya.

“Bakar! Bakar dia sampai arwahnya hancur!”

Suara teriakan itu menusuk telinga.

Sekali lagi, dalam penderitaannya yang tak terperi, benaknya melayang pada kejayaan yang begitu singkat.

Bayangan para pelaut Belanda yang ketakutan, tiga kapal perang mereka tenggelam oleh amukan ombak dan angin yang ia panggil dengan mantranya.

Sorak-sorai rakyat kecil yang ia lindungi... yang kini berubah menjadi teriakan kebencian.

"Bakar dia sampai mati?"

Seorang pria maju, menenteng timba berisi cairan dengan bau menyengat menusuk hidung.

Minyak panas.

Cairan itu disiramkan begitu saja ke tubuh Lanang. Kulitnya langsung melepuh. Panas yang tak tertahankan merayap liar. Jerami dilemparkan, menempel ke kulitnya yang sudah basah oleh minyak.

Lalu—

WHUUSSHH! Api meledak seketika, menjilat kain, kulit, hingga rambutnya.

Teriakan massa bergema makin keras:

“Ini dia sumber CIKUK di kampung kita!”

“Dukun sesat! Pembawa kutukan!”

“Kembalikan anak majikan kami!”

“Biar! Biarkan dia mati! Serahkan tubuhnya pada anjing-anjing neraka!”

“Tambahkan kayu! Jangan sampai apinya padam!”

Lanang ingin berteriak, tapi tak ada lagi gunanya. Suaranya terkubur di antara kobaran api dan sorak benci.

Rasa ironi menyesakkan dadanya, pahit di lidah, bercampur dengan aroma dagingnya sendiri yang hangus.

Di tiang ini, dia yang dulu dielu-elukan sebagai pahlawan—pengusir kapal-kapal VOC dengan kekuatannya—kini dicaci sebagai dukun sesat.

Dia yang rela mengorbankan jiwa kepada entitas purba demi melindungi rakyatnya, justru dihakimi oleh orang-orang yang sama.

Orang-orang yang pernah ia lindungi… kini menjadi hakim sekaligus algojonya.

Tapi bukankah ini yang dia inginkan?

Menghentikan penderitaan orang-orang… dan berhenti menelan korban tak bersalah?

Awalnya Lanang hanya ingin menyelamatkan seorang anak dari roh jahat yang merasukinya. Namun, entitas dalam tubuhnya berubah makin buas, makin rakus. Pada akhirnya, hanya ada satu jalan.

Ia harus mati.

“Saloka… maafkan aku,” rintihnya dalam hati, teringat sahabat setianya. “Aku memilih ini. Aku memilih api… untuk membebaskan mereka. Dan membebaskan diriku sendiri.”

Lidahnya sudah seperti arang—kering, pecah, mati rasa. Suara yang keluar hanyalah rintihan parau, tenggelam dalam sorak kebencian orang-orang itu.

BRUKH!

Tubuhnya roboh, tapi api tetap melahap. Kulitnya mengelupas, memperlihatkan tulangnya yang nyaris mencuat.

Dan dunianya... perlahan meredup, warna api memudar menjadi kabut hitam. Suara-suara itu menjauh… atau mungkin pertanda bahwa sukmanya— mulai terlepas dari tubuh.

*

*

*

Hening!

Kosong!

Entah berapa lama ia terjebak di ruang hampa itu.

Sensasi terbakar tak juga hilang, seolah kulit yang sudah tak lagi ada, rasanya seperti dilahap api.

Nafasnya tercekat.

Yang ada hanya sepi, hampa, dan gema amarah orang-orang kampung yang terus berputar di dalam kepalanya.

Selama tiga abad, jiwanya terkatung-katung dalam kegelapan. Terikat oleh sumpah pengorbanannya sendiri.

Lalu—

PYARRRR!

Cahaya menyala hebat, memecah kegelapan.

Terang menyilaukan, menusuk-nusuk penglihatanya.

Dan dari balik cahaya itu, terdengar teriakan kasar:

“BANGUN, ADAM! KITA SEDANG DIBURU!”

NGIIIIIIING!!

Suara itu menusuk telinganya. Lanang tersentak keras. Udara dingin menerobos paru-parunya. Ia terengah, menarik napas panjang…

“Aku… masih hidup?”

Tapi ini bukan tubuhnya.

Dari genangan air di tanah, terpantul wajah seorang lelaki tampan. Bermata tajam, dengan luka berdarah di pelipis. Dan wajah itu... sedang berbalik menatapnya.

“Duh Gusti… ini bukan wajahku. Tapi… kok ganteng banget? Eh, ini… benda apa?” Ia menggerakkan tangannya, dan bayangan itu ikut bergerak. Terpana, ia tak berkedip.

“HEI! Apa lagi yang kau tunggu? Cepat sembunyi!”

Seorang laki-laki muda tiba-tiba muncul dari belakang, menodong pistol, lalu menarik tubuhnya ke balik puing-puing bangunan yang hampir runtuh.

Lanang terbelalak. Sosok itu begitu mirip dengan…

“Saloka?” gumamnya lirih, penuh harap dan bingung.

Laki-laki itu mengernyit. “Siapa Saloka? Ini aku, Bryan!” katanya ketus, lalu menyodorkan sepucuk pistol ke tangan Lanang.

“Kau sudah sadar, kan? Sekarang bantu aku! Luther dan Xavier sudah terluka parah. Tinggal kita berdua yang bisa bertahan.”

Lanang memandang benda logam itu dengan tatapan jijik. Tangannya gemetar.

“Aku tidak mau!” sergahnya, lalu melemparkan pistol itu ke belakang puing.

Bryan hampir melompat saking kesalnya. “APA YANG KAU LAKUKAN?!”

“Saloka? Sejak kapan kau pandai menggunakan senjata orang kulit putih?” Lanang menatapnya polos.

Bryan tertegun, wajahnya merah campur amarah. “Kau ini kenapa sih?! Mengigau? Aku bilang namaku Bryan, bukan Saloka!”

Lanang mengerjap tak percaya. Wajah pria itu persis sahabatnya. Tapi… rambutnya pirang. Pakaiannya pun mirip orang kulit putih yang dulu ia usir.

“Jadi… kau benar-benar bukan Saloka?” suaranya lirih, kecewa.

Bryan menggeram. “Sekali lagi kau sebut nama itu, akan ku bantai kau!”

DUARRR!

Pistol di tangan Bryan tiba-tiba meletup, menciptakan efek asap mengepul tipis. Peluru melintas tepat di samping telinga Lanang. Suara dentumannya sendiri sampai membuat telinganya berdenging.

Lanang membelalak, wajahnya pucat. Kali ini bukan karena bingung, tapi karena ngeri.

“Bryan… KAU MAU MEMBUNUHKU?!”

***

1
Nana Colen
lanjut thooooor aku suka 😍😍😍😍😍
Yuni_Hasibuan: Sabar kakak...
OTW... Bruuummmmm...
total 1 replies
Nana Colen
lanjut thooooor❤❤❤❤🥰🥰
Yuni_Hasibuan: Terimakasih udah mau mampir kakak 🥰🥰🥰
total 1 replies
Maulana Alfauzi
Belanda memang licik
Yuni_Hasibuan: Liciknya kebangetan Bang.
total 1 replies
Maulana Alfauzi
hmm...
seru dan menyeramkan.
tapi suka
Maulana Alfauzi
Aku suka aja sama novel fantasi begini.
Maulana Alfauzi
Makasih up nya Thor.
semakin seru ceritanya
Yuni_Hasibuan: Makasih udah Mampir Bag.../Pray/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!