Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 - Kebangkitan dendam
Taman Pemakaman Umum Pondok terhampar luas di bawah terik matahari siang. Deretan nisan batu berdiri rapi di atas tanah yang kering, beberapa makam masih baru dengan karangan bunga yang segar, sementara yang lain sudah kusam dimakan waktu dengan rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya.
Senja berlutut di depan sebuah nisan sederhana. Tangannya yang gemetar menyentuh batu nisan itu dengan lembut, seolah mencoba merasakan kehadiran ayahnya yang sudah tiada.
"Ayah," bisiknya dengan suara yang serak karena menangis sepanjang perjalanan dari rumah lama mereka. "Maafin Senja, Yah. Maafin Senja yang tidak bisa ada di samping Ayah. Maafin Senja yang tidak bisa mengantarkan Ayah di saat-saat terakhir."
Air mata mengalir deras membasahi pipinya yang sudah sembab. Dadanya naik turun hebat karena menahan isak tangis yang ingin meledak. Selama ini, dia hidup dengan keyakinan bahwa ayahnya masih hidup, masih menunggu dia pulang, masih membutuhkannya. Ternyata semua itu kebohongan yang sangat kejam.
"Ayah pasti sedih kan?" lanjut Senja sambil membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar makam dengan tangan yang masih dibalut perban. "Ayah pasti menunggu Senja datang, tapi Senja tidak pernah datang. Senja tidak tahu, Yah. Senja benar-benar tidak tahu kalau Ayah sudah... sudah pergi."
Samudra berdiri beberapa meter di belakang Senja, memberikan ruang untuk gadis itu berbicara dengan ayahnya. Matanya juga berkaca-kaca melihat Senja yang begitu hancur. Tangannya terkepal erat di samping tubuh, menahan amarah yang mendidih terhadap Luna dan ibu tirinya yang bisa sejahat itu pada gadis yang tidak bersalah.
"Mereka bohong ke Senja, Yah," kata Senja dengan suara yang mulai bergetar karena amarah. "Mereka bilang Ayah masih hidup, masih dirawat di rumah sakit. Mereka pakai nama Ayah untuk ngancam Senja supaya nurut sama mereka. Dan Senja... Senja percaya aja seperti orang bodoh."
Tangannya mengepal keras di atas batu nisan, buku-buku jarinya memutih karena tekanan. Amarah yang selama ini terpendam mulai naik ke permukaan, bercampur dengan kesedihan yang luar biasa dalam.
"Ayah tahu tidak?" bisiknya dengan nada yang berbeda, lebih gelap, lebih dingin. "Selama ini, Senja hidup seperti budak di rumah mewah itu. Senja diperlakukan seperti sampah oleh kakak Luna. Dia menyiksa Senja, memaki Senja, bahkan menyakiti Senja secara fisik. Dan Senja menahan semuanya... karena Senja pikir Ayahi masih butuh pengobatan."
Senja tertawa pahit, suara yang terdengar sangat sumbang di tengah keheningan pemakaman.
"Ternyata Ayah sudah tidak ada. Ternyata Senja menderita percuma. Ternyata mereka menjual rumah kita, rumah yang Ayah bangun dengan keringat sendiri, dan kabur dengan uangnya."
Tangisnya pecah lagi, kali ini lebih keras dan lebih penuh amarah. Dia memukul-mukul tanah di samping makam dengan tangan yang lemah, melampiaskan frustrasi dan sakit hati yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Samudra tidak tahan lagi melihat Senja seperti itu. Dia melangkah maju dan berlutut di samping gadis itu, memeluknya erat dari samping sambil membiarkannya menangis dan memukul-mukul dadanya yang bidang.
"Keluarkan semuanya," bisik Samudra sambil mengelus punggung Senja. "Jangan ditahan. Menangis tidak akan membuatmu lemah."
"Mereka jahat, Mas!" teriak Senja di dada Samudra. "Mereka sangat jahat! Bagaimana bisa manusia sejahat itu?"
"Ssshhh, aku tahu. Aku tahu," bisik Samudra sambil terus memeluk Senja dengan erat.
Mereka duduk seperti itu cukup lama. Senja yang menangis sejadi-jadinya dan Samudra yang memberikan pelukan penghiburan. Beberapa pengunjung makam lain yang lewat menatap mereka dengan simpati, tapi tidak ada yang mengganggu.
Setelah tangisan Senja mereda, dia melepaskan pelukan Samudra dan kembali menatap nisan ayahnya. Matanya yang tadinya penuh air mata kini mulai menunjukkan kilatan yang berbeda, bukan lagi kesedihan, tapi sesuatu yang lebih gelap. Amarah. Dendam.
"Ayah," bisiknya dengan nada yang sangat tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangis sejadi-jadinya. "Senja janji, Senja akan balas dendam untuk Ayah. Senja tidak akan biarkan mereka hidup tenang setelah apa yang mereka lakukan."
Samudra menatap Senja dengan mata yang sedikit terkejut. Ada perubahan yang sangat jelas pada gadis itu. Kepolosan dan kelembutan yang biasa terpancar dari matanya kini tertutup oleh kabut gelap amarah dan dendam.
"Senja..." Samudra mencoba berbicara tapi Senja menggeleng.
"Tidak, Mas," potongnya dengan suara yang tegas. "Aku tidak akan diam lagi. Selama ini aku terlalu baik, terlalu penurut, terlalu takut. Dan lihat apa yang aku dapatkan? Aku kehilangan segalanya."
Senja bangkit dari posisi berlututnya, membersihkan debu yang menempel di dressnya dengan gerakan yang mekanis. Matanya masih menatap nisan ayahnya dengan tatapan yang kosong namun penuh tekad.
"Mereka menghancurkan hidupku, Yah," bisiknya. "Mereka mengambil waktu hidupku. Mereka membuat aku tidak bisa ada di samping Ayah di saat-saat terakhir. Mereka menjual rumah kita, rumah tempat aku dan Ayah punya kenangan indah."
Tangannya terkepal erat di samping tubuh. "Dan aku akan membalas semuanya. Aku akan menghancurkan mereka seperti mereka menghancurkan aku."
Senja berbalik menatap Samudra yang masih berlutut di tanah. Mata mereka bertemu, mata Senja yang penuh dengan tekad gelap dan mata Samudra yang penuh kekhawatiran sekaligus pemahaman.
"Mas," katanya dengan suara yang sangat tenang, "kamu bilang kamu akan melindungiku, kan?"
"Iya," jawab Samudra tanpa ragu. "Apapun yang terjadi."
"Kalau begitu," Senja melangkah mendekat dan berdiri tepat di depan Samudra yang masih berlutut, "bantuin aku menghancurkan mereka."
Samudra terdiam, menatap wajah Senja yang terlihat berbeda dari biasanya. Gadis yang biasanya lembut dan penakut kini terlihat seperti wanita yang sudah menemukan tujuan hidupnya, tujuan yang gelap namun sangat jelas.
"Kamu yakin?" tanyanya dengan hati-hati. "Dendam itu akan mengubahmu, Senja. Kamu mungkin tidak akan jadi orang yang sama lagi."
"Aku sudah berubah, Mas," jawab Senja dengan senyum pahit. "Orang yang dulu sudah mati bersama Ayah. Yang ada sekarang adalah orang yang tidak akan membiarkan siapapun menginjak-injaknya lagi."
Senja berlutut di depan Samudra, memegang wajah pria itu dengan kedua tangannya.
Dalam hati Senja, rencana mulai terbentuk dengan jelas. Luna yang selalu mengancamnya dengan nama ayah, yang menyiksanya selama ini, yang mencuri warisan rumah ayahnya, wanita itu harus membayar. Dan cara terbaik untuk menghancurkan Luna adalah melalui hal yang paling dia jaga, kebanggaan dan pernikahannya dengan Samudra.
"Jika mereka bisa membuatku hancur," batin Senja dengan senyum tipis yang tidak sampai ke mata, "maka aku juga bisa menghancurkan mereka. Ibu sudah kabur dengan uang penjualan rumah Ayah, tapi Luna... dia masih ada di depan mataku. Dan aku akan pastikan dia merasakan kehancuran yang sama seperti yang aku rasakan."
Samudra bangkit dan menarik Senja untuk berdiri bersamanya. Dia memeluk gadis itu erat, merasakan tubuh yang dulunya lembut kini terasa lebih kaku, lebih waspada, lebih siap untuk berperang.
"Kalau itu yang kamu mau," bisiknya di telinga Senja.
Mereka melepaskan pelukan dan Senja kembali menatap makam ayahnya untuk terakhir kali. Dia berlutut sekali lagi, menyentuh batu nisan dengan lembut.
"Selamat jalan, Ayah," bisiknya dengan suara yang lebih tenang. "Senja akan baik-baik saja. Senja akan kuat. Dan Senja akan pastikan orang-orang yang menyakiti kita akan membayar harganya."
Dia mengecup batu nisan itu dengan lembut, sebuah ciuman perpisahan untuk ayah yang sangat dicintainya. Kemudian bangkit dengan gerakan yang penuh determinasi.
"Ayo pulang, Mas," katanya sambil meraih tangan Samudra.
Samudra menggenggam tangan Senja dan mereka berjalan keluar dari area pemakaman bersama-sama. Dari belakang, mereka terlihat seperti pasangan biasa yang sedang berduka. Tapi siapa sangka di balik penampilan itu, sedang terbentuk dendam yang akan mengubah segalanya.
Di dalam mobil yang melaju meninggalkan pemakaman, Senja menatap keluar jendela dengan mata yang kosong namun penuh perhitungan. Gadis polos yang datang tadi pagi sudah tidak ada lagi. Yang tersisa adalah wanita yang siap berperang, yang siap menggunakan segala cara untuk mendapatkan keadilan atau pembalasan.
"Luna," bisiknya sangat pelan hingga Samudra tidak mendengar, "bersiaplah. Kamu sudah mengambil segalanya dariku. Sekarang giliranku mengambil segalanya darimu."
Senyum tipis tersungging di bibirnya, senyum yang tidak lagi mencerminkan kepolosan, tapi kalkulasi dingin dari seseorang yang sudah kehilangan segalanya dan tidak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan.
Permainan baru akan dimulai. Dan kali ini, Senja tidak akan menjadi korban. Dia akan menjadi pemain.