"Nada-nada yang awalnya kurangkai dengan riang, kini menjebakku dalam labirin yang gelap. Namun, di ujung sana, lenteramu terlihat seperti melodi yang memanggilku untuk pulang."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yvni_9, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leo
...Happy reading ...
Sore hari yang cerah menjadi latar belakang sempurna bagi dua orang sahabat yang sedang mengayuh pedal sepeda. Matahari yang memancarkan cahaya emasnya dan angin lembut yang menjadi irama pengiring perjalanan mereka berdua.
Pohon rindang menjadi tempat peristirahatan sempurna bagi mereka berdua. Dengan suara daun-daun yang jatuh perlahan, seperti musik alam yang menenangkan.
Mereka menyaksikan arus manusia yang tak kunjung berhenti di jalanan. Wajah-wajah yang tak terhitung, bergerak dalam ritme kehidupan.
Suara-suara gemuruh orang yang berlalu lalang menyerang gendang telinga mereka, hingga mereka mencari pelarian dari bisingnya kota, menemukan keheningan di antara air danau yang berkilau.
Kursi taman yang terlihat sudah tidak muda lagi, menjadi tempat favorit mereka. Di mana mereka bisa menikmati keindahan danau yang memantulkan cahaya matahari kala sore itu. Gerakan anggun dari angsa yang berenang, membuat mereka tenggelam dalam keindahan.
Dalam keheningan antara mereka berdua, Leo mengalihkan pandangannya ke samping, di mana Cely berada. Berusaha mengatakan apa yang ingin diucapkan.
"Cel ... , Saya mau bilang sesuatu sama Kamu! Saya ba-"
"E-eh ... Gue lupa kalo Gue tadi disuruh beli gula sama Ibu Gue, sorry ya Gue pulang duluan!" ucapnya.
Cely memotong pembicaraan, beranjak dari tempat duduknya pergi meninggalkan Leo yang diam seribu bahasa.
Dengan gerakan cepat, Cely berlari ke arah di mana sepedanya terletak.
"Gue, pulang duluan ya! BYE BYE!" teriak Cely sambil cepat-cepat mengayuh pedal sepedanya.
Leo hanya memandangi punggung Cely yang semakin lama semakin hilang dari penglihatannya.
Belum terlalu jauh Cely meninggalkan tempat sebelumnya, wajah yang awalnya ceria, kini mendadak menghilang seperti daun kering yang terhempas angin.
"Sebenernya, Gue udah tau apa yang bakalan Lo bilang ke Gue!" Cely berucap di dalam hatinya. "Sorry," sambungnya.
Cely mengayuh pedal sepedanya semakin kencang, sampai di pertigaan dekat dengan rumahnya, tak disangka ada motor yang muncul dari dalam gang. Sampai Ia tak sempat menahan rem sepedanya, sehingga tidak sengaja tersenggol oleh motor itu.
Untungnya, Ia tak memiliki luka yang parah, hanya terluka sedikit di bagian lengannya.
"Eh-eh ... Dek, Kamu ga papa?" tanya orang di sebelah sana.
"Pake nanya, lagi! ya kenapa-napa lah, ga liat ini tangan Gue kegores aspal?" Cely menggerutu dalam hati sambil memicingkan matanya.
"Ga papa kok, Buk! cuma luka kecil doang ini mah," ucap Cely dengan santainya sambil mengusap-usap pelan lengannya.
"Beneran ga papa? Rumah Kamu di mana? Ibu anter ke rumah Kamu ya!" antusias ibu itu.
"Eh ga perlu, Buk. Rumah Saya deket lagi kok, kepleset juga nyampe!"
"Yaudah kalau emang ga papa, kalo gitu Ibu pergi dulu ya! Kamu jangan balap-balapan kaya tadi lagi loh! bahaya tau!" perintahnya.
"Iya, Buk! maaf ya, Buk!" sahut Cely.
"Anjir, dikiranya Gue doang yang salah kali ya? Dia juga salah! kenapa ga klakson pas keluar gang? kan Gue jadi kaget! mana sakit lagi tangan Gue, aduhh!" Cely tak henti-hentinya menggerutu.
Ia membenahi sepedanya, dan perlahan mulai mengayuh pedalnya lagi.
...***...
Suara lonceng sekolah menghentikan kegiatan belajar, Leo segera beranjak dari tempat duduknya berjalan ringan menghampiri kelas Cely berada. Dari ambang pintu, netranya menangkap raut wajah yang tidak ceria seperti biasanya. Melihat itu, tentu saja Leo langsung menghampiri tempat duduk Cely.
"Cell?" panggil Leo, "Kamu baik-baik saja?"
"Baik, Gue kan ga jahat!" jawab Cely tanpa melihat ke arah Leo berada.
"Bukan itu maksud saya. Maksud saya tuh, kenapa dari berangkat sekolah Kamu kaya ngehindari Saya?" tanyanya lagi.
Sedari pagi tadi, Cely berusaha menghindari Leo. Entah apa yang membuatnya enggan untuk memunculkan wajahnya di hadapan Leo sekarang.
Tidak ada sautan dari sang empu, Ia hanya memainkan jari-jarinya seakan sebagai ungkapan kata-kata yang tak bisa terucapkan.
"Yasudah kalau Kamu ga mau bicara, sekarang biar Saya yang bicara! Dari kemarin sore sebenernya Saya mau bilang kalo Saya bakala-"
"HALLO EVERYONE! Jumpa lagi bersama Saya, orang paling cantik di kelas ini!" teriak seorang wanita masuk kelas.
Lagi-lagi, Belum sempat Leo menuntaskan ucapannya. Orang lain sudah memotong pembicaraannya.
Dia, salah satu manusia paling heboh di kelas 9-B itu. Panggil saja dia Rayna, teman sebangku Cely.
Melihat Cely dan Leo yang duduk bersebelahan membuat atensinya teralihkan. Langkahnya Ia tujukan kepada adam dan hawa itu.
"Setiap hari, kalian tuh berduaan mulu ya! Kayaknya dugaan Gue bener deh!" Rayna memegang dagunya, seolah mulai berpikir. "Kalian pacaran, kan? Ngaku ga!" tuduh Rayna.
"Paan sih anjir!" Cely beranjak dari kursi, menarik tangan Leo untuk keluar kelas.
"Kenapa?" tanya orang di sebelah Rayna.
"Tau tuh, ga biasanya Dia begitu!" jawab Rayna.
Cely membawa Leo ke depan kelasnya.
"Apa? Lo mau bilang kalo Lo bakalan ikut ayah Lo ke luar negeri, kan? Gue udah tau sebelum Lo mau ngasih tahu kemarin!" tegasnya, "Mana janji Lo yang katanya mau tamat bareng-bareng? Yang katanya bakalan masuk di SMA yang sama Janji cowok tuh emang ga bisa dipercaya ya?!" ucapnya dengan penuh penekanan.
Leo terdiam, tidak tahu apa yang akan Ia ucapkan setelahnya. Menghembuskan nafasnya secara perlahan, pandangannya ke bawah seakan takut untuk melihat ke arah Cely.
"Sorry." Sepatah kata yang diucapkan Leo, lalu pergi meninggalkan Cely sendirian di ambang pintu.
...***...
Angin lembut yang membelai wajah mereka, berjalan menyusuri koridor yang riuh akan siswa siswi yang berlarian keluar kelas menuju gerbang kebebasan.
Seperti biasanya, mereka akan menunggu bus menjemputnya pulang. Ramainya kendaraan yang bergerak cepat mengisi kesunyian di antara mereka. Cely menatap Leo dengan mata yang berat, membawa keheningan yang mendalam seperti kabut tipis yang menghalangi cahayanya.
Ketika bus berhenti di halte terakhir, mereka turun dan melanjutkan langkah bersama menuju rumah yang letaknya berseberangan. Bayangan pohon-pohon rindang menjadi payung alami bagi mereka, melindungi dari panasnya sinar matahari siang itu.
Pandangan Leo tertuju pada lengan Cely, matanya menangkap luka yang agak mengering tanpa balutan plaster.
Leo menarik pelan lengan Cely "Kenapa?"
"Ooh ... itu, kemaren abis balapan HAHAHA,"
"Terus, sudah diobati?"
"Belum! Udah ah, santai aja! Ntar lagi juga sembuh," jawabnya Cely dengan santainya.
"Ya kalo sembuh, kalo malah infeksi gimana?"
"Tinggal ke rumah sakit lah!"
Leo menarik nafas panjang, Cely ini memang susah untuk dinasehati.
Di pertengahan jalan, tiba-tiba mata Cely terpaku pada seekor Anjing liar yang berdiri tak jauh darinya.
"Leo! Lo liat anjing itu! ga dirantai anjir," Cely berbisik.
Leo menoleh. "Jangan lari, jalan santai aja! Kalau lari nanti dia malah ngejar!" Leo memperingatkan, mengambil langkah seribu untuk menjauhi anjing tersebut.
"Gak bisa, gak bisa! Lari saja yuk! Ntar kalo kita mati gara-gara digigit Dia, gimana?" katanya.
Cely bersembunyi di balik tubuh Leo yang lebih tinggi. Mencengkeram lengan baju Leo dengan kuat.
"Hush!! Ga boleh bilang gitu, tenang aja! Dia ga bakalan ngejar kalo kita ga ganggu Dia! ucap Leo.
Tepat bersebelahan dengannya, Anjing itu menggonggong keras.
"WOFF! WOFF!"
"AYAH!"
Suara Anjing menggonggong itu membuat Cely terkejut, memecahkan keberanian Cely yang sedari tadi Ia pertahankan. Membuatnya melarikan diri tanpa memperdulikan bagaimana keadaan Leo.
Leo yang terkejut melihat Cely berlari, mau tidak mau juga ikut berlari. Mengejar Cely dengan langkah cepat.
"Cel, tunggu!" teriak Leo.
Tepat di depan pintu gerbang rumahnya, ia berhenti. Nafasnya terengah-engah, menoleh ke belakang dan menemukan Leo yang juga mengejarnya.
"Kenapa lari?" tanya Leo sambil mengatur nafasnya. "Anjingnya cuma menggonggong, Dia ga ngejar Kamu," sambungnya.
"Ya-ya ... mana Gue tau! Gue kan udah takut, eh dia malah gonggong. Yaudah Gue lari aja!" jawab Cely santai.
"Yasudah, jangan diulangi lagi! sekarang lebih baik kamu masuk, ganti baju terus makan!" suruh Leo.
"BAIK!" jawab Cely dengan semangat. "Nanti sore, sepedaan lagi yuk!"
"Ke tempat kemarin? Boleh deh, nanti Saya jemput ya."
Cely mengangkat jari jempolnya ke atas dengan senyum ceria, memberikan tanda 'sip' yang penuh semangat.
"Kenapa Lo, lari-lari kaya orang gila? Abis dikejer anjing ya? Fttt ... HAHAHA!" Itu Zein, Abang semata wayang Cely.
"Bang, kata Gue sih Lo harus nyobain makan sepatu Gue!" ucap Cely melewati Zein sambil memicingkan matanya.
...***...
Hari berganti sore, mereka berdua kembali mengayuh pedal sepedanya. Langit mendung membalut kota, menciptakan kesunyian jalanan kala sore itu. Angin yang berhembus menambah kesegaran mereka dalam melajukan sepedanya.
"Sepertinya, sebentar lagi hujan bakalan turun. Gimana kalau Kita pulang saja?" Leo berbicara.
"Eh ga usah! Kalo ujan turun, ya Kita main ujan lah!"
"Tapi, nanti Kamu bakalan demam, Cely."
"Halah ... Demam sedikit doang, satu hari juga pasti sembuh!" ucapnya dan mulai mengayuh pedal sepedanya.
"Yaudah deh, Saya ikut Kamu aja!"
Dan benar saja, belum sampai di tempat yang mereka tuju, hujan deras menyambut perjalanan mereka. Membasahi tubuh mungil mereka dalam sekejap mata.
"Cel, kayanya hujannya deres banget, Kita berteduh saja di warung itu yuk!" ucap Leo menawarkan.
"Oh yaudah deh, emang keliatannya ujannya deres banget. Gimana kalo kita lomba? Siapa yang paling lama sampe, dia yang neraktir!"
"Satu ... Dua ... Tiga!"
Belum sempat Leo memperingatkannya, Cely dengan cepat mengayuh sepedanya.
"Eh Cel, tunggu dulu!" teriak Leo.
Cely sampai duluan, memenangkan lombanya. Tapi, karena hujan yang deras membuat Cely tidak bisa melihat dengan jelas. Ban depan sepedanya tertabrak batu, membuat cely terjatuh tepat di depan warung.
"Ya ampun, Dek! Kamu ga papa?" Pemilik warung yang melihat itu, langsung berlari ke arah Cely.
"Ga papa kok, Om."
"Lutut Kamu itu loh, berdarah! sini-sini masuk dulu!"
Pemilik warung membawa Cely masuk agar bisa mengobati lututnya.
"Cely!" Leo buru-buru turun dari sepedanya. "Kenapa buru-buru padahal Saya ga ada niatan buat balapan!"
"Hehe, Gue menang! Jadi Lo harus traktir Gue!" ucap Cely, tangannya membuat simbol peace.
"Ga masalah mau Kamu menang atau kalah, Saya bisa traktir Kamu kapan pun Kamu mau! Yang paling utama itu kesehatan Kamu!" katanya. "Om, biar Saya saja yang bersihin lukanya." Leo mengambil nampan berisikan obat luka serta plaster.
"Ini sudah entah yang keberapa kalinya Saya bersihin luka Kamu." Dengan telaten, Leo membersihkan luka di lutut Cely.
"Lain kali lebih hati-hati, karena Saya ga selamanya selalu ada di sisi Kamu," Leo memperingatkan.
"Jangan bilang gitu ih! Ntar kalo Gue udah kerja, udah punya duit yang banyak. Gue bakalan jemput Lo di sana! Janji deh janji!"
Leo tersenyum mendengarnya. "Maaf ya, karna Saya sudah banyak buat janji, tapi ga bisa Saya tepati."
"Ga apa-apa, mulai sekarang ayo kita buat hari-hari kita jadi lebih seru!" Cely mengangkat jari kelingkingnya.
Leo tersenyum rendah dengan perlakuan Cely, Dia juga tidak tahu apakah Ia akan terjadi selanjutnya.
..._____...