Nama besar - Mykaelenko... bukan hanya tentang kekayaan.
Mereka mengendalikan peredaran BERLIAN
— mata uang para raja,
Juga obsesi para penjahat.
Bisnis mereka yang resmi. Legal. Tak bernoda
— membuat mereka jauh lebih berbahaya daripada Mafia Recehan.
Sialnya, aku? Harus Nikah kilat dengan Pewarisnya— Dimitry Sacha Mykaelenko.
Yang Absurdnya tidak tertolong.
•••
Namaku Brea Celestine Simamora.
Putri tunggal Brandon Gerung Simamora, seorang TNI - agak koplak
- yang selalu merasa paling benar.
Kami di paksa menikah, gara-gara beliau yakin kalau aku sudah “di garap” oleh Dimitry,
yang sedang menyamar menjadi BENCONG.
Padahal... sumpah demi kuota, aku bahkan tak rela berbagi bedak dengannya.
Apalagi ternyata,,,
Semua cuma settingan Pak Simamora.
⛔ WARNING! ⛔
"Cerita ini murni fiksi, mengandung adegan ena-ena di beberapa bab.
Akan ada peringatan petir merah di setiap bagian — Anu-anu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Kamar, Ketemu Bencong.
Https://youtu.be/4fqwVBuunxY?si\=rkZ31PsFJJfF-RBH
***
'Ting-tong, Ting-tong, Ting-tong!!!'
Ku pencet bel pintu apartemen, nomor 1706 dengan percaya diri. Jam masih menunjukkan pukul 09.00 lewat dikit, tapi aku yakin banget Mbak Keke—klien langgananku yang paling rajin dan paling cinta konten—udah nungguin aku sedari tadi. Buktinya, dia sempet telepon beberapa kali tadi bakda subuh, cuma gak sempat ke anggkat aja. Mungkin dia gak sabar pengen ketemuan.
Apalagi hari ini aku bawa strategi kampanye digital terbaru yang bisa bikin engagement dia naik - kayak pesawat luar angkasa.
“Brea Celestine Simamora, Digital Branding Consultant. Jiah!” Ucapku gemas sambil membetulkan poni dan menyenderkan tas kerja ke pinggul, biar tambah gaya. “Mbak Keke harusnya nyambut aku sambil joget TikTok saking semangatnya!”
Tapi,,, belum sempat aku tepuk-tepuk pipi buat nyetel senyum terbaikku, pintunya langsung terbuka.
Dan detik itu juga… Jebret!!! Semestaku kayak nge-freeze.
Di hadapanku saat ini tengah berdiri sesosok makhluk yang bikin otakku langsung traveling. Dia pakai Daster tidur warna ungu fanta. Bulu matanya lentik yang kayak habis nyapuin debu Gurun Sahara. Gulungan rambut merah mudanya nongol dari kepala, kayak tanduk unicorn gagal produksi.
Bibirnya? Merah. Semerah cabe kalengan kebanyakan di kasi pewarna.
Eyeliner-nya? Setajam ocehan Lambe Turah .
Dan lehernya? Oh. My. God. Itu… jakun?
Aku langsung terkejut batin, “Ya Allah… aku salah multiverse, ya?”
Tapi mahluk absurd itu malah nyengir, satu alisnya naik dramatis kayak villain di sinetron sikopat, “Yes, Darling? Cari siapa, Say?”
Ku paksa telan ludah biatkata keseretan, “E-eh… ini bukan unit 1706, ya?”
“Ini 1706, Beb,” jawabnya santai sambil… oh Tuhan… dia lagi ngebetulin bra di balik dasternya yang entah asli atau bukan. “Tapi kalau kamu cari Mbak Keke penghuni unit sebelummya, dia udah pindah tuh, ke unit 1709. Nah kalau aku, Dimitry. Tapi panggil aja Dede gak papa kok. Biar mesra.” Katanya.
Dede?
Dimitry?
Daster?
Jakun?
Gincu? Dan,,,
Bra?!!!
What??? Aku beneran pengen uninstall hidupku saat itu juga. Tapi gak jadi.
“Oh… maaf, sepertinya saya salah kamar,” ucapku cepat-cepat sambil mundur kayak pengen cabut dari rumah berhantu.
Tapi sebelum pintunya nutup, suara dia nyelip sekali lagi kayak kucing nyelonong masuk:
“Salah kamar tapi cocok vibe-nya, lho. Ntar mampir aja lagi ya, Mbak Cantik~”
Spontan aku terpaku di koridor depan pintu. Menatap kosong ke karpet yang terlalu mahal buat diinjak manusia seberuntung aku hari ini.
Masih pagi… dan aku udah disambut sama bencong berdaster ungu yang nyangkanya kita satu frekuensi.
Baru aja aku mau belok ke unit 1709, ada suara jeritan mendadak nyaring dari balik pintu kamar yang barusan kutinggalkan.
“AAAKH!!”
Spontan aku putar balik.
“Nenek lampir!” teriakku dalam hati.
Dan tanpa mikir panjang, aku loncat masuk lagi ke unit 1706 tanpa permisi. Sorry banget etika, tapi aku takut bencong itu beneran kesurupan atau... amit-amit, kesetrum hairdryer!
Begitu masuk, aku panik. Suara itu ternyata datang dari arah kamar mandi.
“Mas... eh... Mbak... eh... Dede?” panggilku gugup sambil maju pelan-pelan kayak di film horor.
Dan di situlah aku lihat Dimitry—atau Dede, atau apapun dia nyebut dirinya—lagi nyungsep di lantai kamar mandi dengan posisi nyaris split. Daster ungu fanta-nya keangkat, rambut gulungannya mental ke wastafel, dan satu kakinya masuk ke ember.
Darah netes dari pelipisnya.
Tangannya pegangin pinggang.
Mulutnya meringis kesakitan.
“YA ALLAH!” Aku loncat masuk, setengah panik, setengah nyalahin semesta. “Bencong ini kepleset? SERIUS??”
Aku gelagapan. Gak tau mesti ngapain. Mau angkat? Ngeri salah sentuh. Mau panggil satpam? Makin rame. Mau kabur? Hati kecilku bilang, “Gak boleh, Brea. Dia emang aneh. Tapi dia masih manusia.”
Refleks aku keluarin HP dari tasku, pencet nama ayahku: Bapak Simamora.
Nada tunggu.
Dan... gak diangkat.
“Huh,, Kebiasaan,” gerutuku sambil mendecak.
Baru ingat, jam segini tuh biasanya Pak Simamora lagi apel pagi di kantor, atau gak, lagi BINSIK alias bina fisik buat nurunin perut gendutnya. HP-nya pasti di silent, atau ketinggalan di loker?
“Oke, Brea. Mikir,,, mikir,,,!” aku cakar-cakar kepala sendiri.
Belum sempat ngatur strategi penyelamatan, tiba-tiba bunyi kring kring dari atas nakas samping tempat tidur Dereck.
HP-nya bunyi.
Layarnya nyala. Dan nama peneleponnya…
“Yasmin?” aku nyengir miring. “Ini beneran nomor temen ku, Yasmin?”
Aku nyambar ponselnya tanpa mikir. Langsung angkat.
“Halo?” suaraku setengah ngos-ngosan, setengah harap ada malaikat yang nyamar jadi manusia buat bantuin.
“DEDE! Jangan sampe lupa minum obat mu pagi ini! Kalau lo sampe kumat, panik attack lo bisa balik lagi. Jangan bandel ya, plis, jangan—”
“Yasmin?” potongku cepat.
Hening.
“Bea??”
“Yasmin??”
“Kok kamu bisa...?”
“Kok kamu bisa...?”
Kami ngomong bareng. Terus diam bareng. Terus ngomong bareng lagi. Kek koneksi sinyal di kampung halaman.
“Kamu ngapain angkat HP-nya Dede?” tanya Yasmin akhirnya, nadanya shock.
“AKU YANG MAU NANYA, YASH! Kok kamu bisa punya nomornya dia? Kamu kan alergi sama dunia pelangi?!”
“YA AKU BISA JELASIN, tapi... bentar... kenapa KAMU bisa ada di KAMAR DIA?!”
Suara Yasmin di seberang telepon nyaris meledak. Aku baru buka mulut mau jawab, tapi mendadak…
“Ugh... Aduh... aww... pinggang aku... help me...!”
Rintihan keras dari dalam kamar mandi bikin bulu kudukku berdiri.
Aku spontan nengok ke arah pintu kamar mandi yang setengah terbuka, lalu kembali melirik ponsel di tangan.
“Eh? Itu suara Dimitry ya?!” suara Yasmin langsung naik satu oktaf.
“KAMU APAIN DIA, BREA?!”
“HAH?! AKU GAK NGAPA-NGAPAIN!” suaraku otomatis membumbung.
“Demi Tuhan, orang dia kepleset sendiri! Jatoh nabrak wastafel, jedug banget! Gak ada kontak fisik sama aku, oke?!”
“ASTAGA!” Yasmin terdengar lari kecil dari seberang sana. “Oke, Bea! Dengerin aku baik-baik! Sekarang kamu tolongin dia keluar dari kamar mandi dulu. Habis itu cari lemari kecil warna biru di samping tempat tidur. Di dalamnya ada obatnya. Kasih dia yang botol putih tutup merah! Jangan sampe salah!”
Aku berdiri terpaku, mematung.
Lemari biru? Obat tutup merah?
Kenapa dia bisa sehapal itu?
“Kamu... hafal isi kamar dia?” tanyaku perlahan.
“YA IYA LAH!” Yasmin nyolot. “Aku yang maksa dia minum obat tiap pagi! DIA ITU... PASIENKU. PENDERITA PANIK ATTACK BERAT!”
Lidahku kelu. Otakku penuh tanda tanya.
Yasmin? Dan bencong itu? Pasiennya dia?
Aku belum sempat tanya lebih lanjut ketika terdengar rintihan lemah dari dalam kamar mandi.
“Tolong... aku gak bisa gerak... kayaknya... sendi panggulku geser, deh...”
Cuma bisa ku tatap ponsel di tangan, dengan napas naik turun.
***