Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 - Gangguan Albar
Hari pertama masuk sekolah setelah libur semester seharusnya menjadi awal yang menyenangkan bagi Icha. Tapi harapan itu langsung hancur begitu langkahnya melewati gerbang SMA Bintang Jaya dan melihat sosok paling menyebalkan di dunia: Albar.
Dengan hoodie abu-abu belel dan ransel satu tali, Albar melambaikan tangan seperti orang kurang kerjaan.
“Icha! Akhirnya sinyal hidup gue balik lagi!”
Icha langsung berhenti dan menghela napas panjang. “Astaga, bukan lagi…”
Seolah-olah sudah jadi rutinitas wajib, Albar akan muncul setiap pagi, tepat saat Icha datang, dan mulai bicara soal wifi-wifi-an yang gak jelas.
“Lo tuh gila ya, Bar. Sadar gak sih lo tuh ngeganggu?” Icha mendelik.
Albar malah tersenyum lebar. “Di zaman modern ini, gak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Dan lo itu, sumber wifi hidup gue!”
“Sumber kepala lo benjol!” Icha melengos, mempercepat langkah masuk ke kelas.
Tapi tentu saja, makhluk menyebalkan bernama Albar itu tetap mengikuti di belakang seperti bayangan. Nempel terus.
“Gue cuma pengen deket lo, Cha. Gue gak niat ganggu, sumpah.”
“Lo ngikutin gue dari rumah ke sekolah tadi. Lo nongkrong di depan gerbang dari jam enam pagi. Terus lo bilang gak ganggu?”
Albar cengengesan. “Namanya juga usaha.”
Icha menahan emosi. Kalau bukan karena takut kena skors, mungkin sudah dari dulu dia lempar tas ke kepala Albar. Cowok itu gak ngerti arti kata “tidak”. Diabaikan? Dikecam? Diteriaki? Tetap datang. Tetap nempel. Tetap nyebut dirinya “sumber wifi hidup”.
“Gue beneran gak ngerti, Bar. Dari semua cewek di sekolah ini, kenapa harus gue?”
“Karena lo yang paling nyambung.”
“NYAMBUNG PALU LO!”
Albar tertawa. Icha mencibir. Entah kenapa, setiap kali dia marah, Albar malah tambah semangat.
Di kelas, Icha memilih duduk paling depan. Biasanya, itu tempat paling aman karena Albar ogah dekat guru. Tapi hari itu, entah kenapa, bangku di sebelahnya kosong. Dan seperti mimpi buruk, Albar duduk di sana tanpa ragu.
“Ini tempat gue,” bisik Albar sambil mengeluarkan buku tulis yang masih bersih tanpa coretan.
Icha melotot. “Sejak kapan? Lo biasanya duduk belakang!”
“Mulai hari ini, gue berubah. Gue mau lebih deket ke… pendidikan.”
“Yang bener aja, lo mau deket sama gue, kan?”
“Ya, itu juga.”
Icha ingin teriak. Tapi guru sudah masuk. Ia hanya bisa mendengus dan menatap lurus ke depan, pura-pura tidak mendengar Albar yang terus mencorat-coret sesuatu di bukunya. Dari ekor matanya, ia sempat lihat satu tulisan besar di buku cowok itu: “ICHANET – sinyalnya paling kenceng.”
“Gila,” gumam Icha. “Beneran gila.”
Saat bel istirahat berbunyi, Icha langsung berdiri dan pergi secepat mungkin. Tapi Albar, seperti biasa, selalu tahu cara mengejar.
“Aku udah pesen tahu bulat dan teh manis, favorit lo!” seru Albar dari belakang.
Icha berhenti. Berbalik cepat. “Denger ya, Bar. Sekali lagi lo pesenin makanan buat gue tanpa izin, gue lempar tahu bulatnya ke muka lo!”
Albar mengangkat tangan. “Oke! Oke! Tapi teh manisnya udah dibayar, loh…”
Icha menggeleng pelan, berjalan cepat ke sudut kantin yang paling jauh, berharap bisa menghindar. Tapi dia tahu, selama Albar masih bernapas dan punya dua kaki, dia akan tetap muncul.
Entah sampai kapan cowok itu bakal sadar kalau perasaannya cuma sepihak. Bahwa semua kata-kata romantisnya gak lucu—tapi mengganggu.