Update setiap hari!
Leon Vargas, jenderal perang berusia 25 tahun, berdiri di medan tempur dengan tangan berlumur darah dan tatapan tanpa ampun. Lima belas tahun ia bertarung demi negara, hingga ingatan kelam tentang keluarganya yang dihancurkan kembali terkuak. Kini, ia pulang bukan untuk bernostalgia—melainkan untuk menuntut, merebut, dan menghancurkan siapa pun yang pernah merampas kejayaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 Ketenangan yang tak diharapkan
Beberapa hari setelah peristiwa di Grand Hall Lounge, seluruh kota masih riuh membicarakan satu nama—Leon Vargas.
Media sosial dipenuhi spekulasi:
“Siapa pria misterius itu? Bagaimana bisa calon menantu Komandan Gerald Volbrecht adalah seseorang yang tak pernah dikenal publik sebelumnya?”
“Putri keluarga Volbrecht adalah selebriti papan atas, idol nasional! Siapa lelaki beruntung itu?”
Namun, karena wajah Leon belum tersebar, rasa penasaran publik kian membara. Para paparazi dan wartawan memburu tiap langkah Gerald, berharap bisa menangkap sosok menantu masa depan keluarga Volbrecht.
Sementara itu di Rumah Sakit Umum Lunebridge City...
Udara ruangan terasa steril, bau obat-obatan menusuk hidung. Di sebuah bangsal, Louis perlahan membuka matanya. Pandangannya buram, tapi ia segera melihat sosok besar yang duduk di samping ranjangnya—Garka, sang bos, tubuhnya penuh perban namun matanya bersinar lega.
“Louis…” suara berat itu pecah, menahan emosi. “Akhirnya kau sadar!”
Louis mencoba tersenyum meski wajahnya pucat. “Bos…” suaranya parau, “Maaf… aku ceroboh. Aku… aku lemah. Tapi aku ingin terlihat keren di hadapanmu. Hasilnya malah begini…”
Wajah Garka mengeras, tapi bukan karena marah—lebih seperti kecewa bercampur sayang. Ia menghela napas panjang, lalu menepuk bahu Louis dengan hati-hati.
“Dasar bodoh. Kau bilang dirimu lemah? Tidak, kau adalah orang terpintar yang kumiliki. Tanpamu, bar itu pasti sudah hancur. Kau pikir aku bisa bertahan mengelola bar sendirian? Kau orangku yang paling pintar, Louis. Jangan pernah remehkan dirimu sendiri.”
"Bos... Terimakasih...."
Ruangan itu hening sejenak. Hanya suara mesin monitor medis yang berdetak teratur.
Hingga tiba-tiba—
“Ekhem!”
Suara berat dan dalam memecah kesunyian. Louis menoleh dengan kaget.
Di sisi lain ranjang, berdiri sosok tinggi besar dengan tubuh penuh perban, hampir menyerupai mumi. Meski begitu, aura dominasi yang memancar dari tubuhnya tak sedikit pun berkurang. Matanya menatap tajam, penuh tekanan.
N’Kosi.
Louis seketika pucat, tubuhnya refleks menegang. Orang inilah yang membuatnya hampir kehilangan nyawa.
Namun alangkah kagetnya Louis ketika melihat raksasa itu menunduk di hadapannya. Suara N’Kosi bergetar, meski tetap terdengar berat.
“Aku… bersalah. Kau terluka karenaku. Aku tidak bisa menghapus apa yang sudah terjadi. Tapi aku bisa memilih jalan yang berbeda mulai sekarang.”
Ruangan kembali hening. Louis menggenggam selimut di perutnya erat-erat, jantungnya berdegup kencang. Ia tak pernah membayangkan makhluk sebesar dan sekuat N’Kosi menundukkan kepala di hadapannya yang lemah ini.
Dengan gugup, ia akhirnya berkata pelan, “T-tolong… angkat kepalamu. Aku bukan orang yang pantas menerima sikap seperti itu darimu.”
N’Kosi tetap menunduk. Louis menarik napas, lalu melanjutkan, lebih tegas, meski suaranya masih bergetar. “Bos Garka sudah memaafkanmu… maka aku juga akan memaafkanmu. Lagi pula… waktu itu kau hanya menjalankan perintah June, bukan?”
Sejenak, udara terasa berat. Lalu perlahan, N’Kosi mengangkat kepalanya. Tatapannya keras, tapi kali ini tidak lagi membawa permusuhan. Ia bangkit berdiri, tubuh raksasanya membuat ruangan itu terasa sempit.
“Terima kasih.” Suaranya rendah, tulus.
Mereka sempat berbincang singkat—tentang luka, tentang pertempuran, tentang bagaimana jalan mereka bisa berpotongan lagi. Tak lama kemudian, N’Kosi keluar dari kamar, langkah beratnya menggema di koridor rumah sakit.
Meski tubuhnya masih penuh perban, ia bergerak dengan keyakinan seorang pejuang yang akan segera pulih. Luka-luka itu tampak mengering lebih cepat dari biasanya, seakan tubuhnya menyimpan rahasia regenerasi—mungkin bagian dari warisan darah suku Zambald yang bahkan membuat para dokter tercengang.
Di pintu masuk rumah sakit, N’Kosi mendapati sosok Leon yang baru saja tiba disana. Ia berdiri tegak, matanya tajam, namun ekspresinya tetap tenang.
Leon hendak melangkah masuk, tetapi tangan besar N’Kosi terangkat, menghentikannya. “Boleh kita bicara berdua?” suara N’Kosi terdengar sungguh-sungguh.
Leon menatapnya sekilas, lalu mengangguk singkat. Mereka berjalan menuju taman rumah sakit. Udara segar menyambut, matahari pagi memantulkan cahaya hangat di dedaunan. Beberapa pasien duduk bersantai di kursi-kursi taman, menikmati hembusan angin segar.
Di bawah bayangan pohon rindang, N’Kosi berdiri tegap, lalu menundukkan kepalanya lagi.
“Pertama-tama… aku ingin meminta maaf.”
Namun Leon hanya menghela napas. “Aku tidak butuh permintaan maafmu. Simpan itu untuk Louis, Garka, dan orang orang yang pernah kau sakiti.”
N’Kosi terdiam. Ia menegakkan tubuhnya, menatap Leon dalam-dalam. “…Awalnya aku ragu. Aku pikir rumor tentangmu hanyalah dongeng. Tapi setelah melihat sendiri… bagaimana Komandan Gerald memperlakukanmu, dan bagaimana kau bertarung… aku yakin.”
Ia menarik napas panjang, lalu mengucapkannya dengan tegas, “Kau adalah sosok yang dipanggil Jenderal Perang.”
Tatapan Leon menyempit, penuh kewaspadaan. “Kau mengenalku?”
N’Kosi mengangguk, matanya berkilat oleh rasa hormat yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.
“Di negeriku, namamu sangat terkenal. Alexander Kruger. Sang Jenderal Perang. Kisahmu menyebar seperti api—tentang bagaimana semangat juangmu membakar semangat pasukan, tentang kemenangan demi kemenangan yang kau raih. Banyak pemuda di tanah kelahiranku berlatih dengan impian bisa menjadi sepertimu.”
Leon terdiam lama, menatap langit biru yang terbentang di atas taman rumah sakit. Cahaya matahari menembus sela daun, jatuh ke wajahnya, tapi yang ia lihat bukanlah kejayaan.
Yang muncul di benaknya adalah kengerian masa lalu—teriakan prajurit, bau darah, dentuman artileri, dan tubuh-tubuh yang jatuh satu per satu di hadapannya.
Suara-suara itu kembali bergema di telinganya, menghantui seperti hantu perang yang tak pernah benar-benar pergi.
Leon menghela napas panjang. Suaranya terdengar berat, hampir seperti gumaman. “Bagi orang lain, mungkin aku tampak hebat. Pahlawan di medan perang, Jenderal Perang yang tak terkalahkan. Tapi bagiku… semua itu hanyalah mimpi buruk. Di setiap kemenangan yang mereka ceritakan dengan bangga… aku kehilangan seseorang. Rekan. Sahabat. Bawahan yang mempercayakan nyawanya padaku. Mereka mati satu demi satu.”
Tatapan Leon kosong, seakan menembus langit. “Dari itu aku belajar satu hal—jangan terlalu melibatkan emosi pribadi. Jangan terlalu dekat dengan siapa pun. Karena di medan perang… setiap orang bisa mati kapan saja. Dan ketika itu terjadi, hanya rasa hampa yang tersisa.”
N’Kosi mendengarkan tanpa menyela. Tubuhnya yang besar tetap tegak, tapi sorot matanya berubah—bukan lagi keras, melainkan mengandung rasa hormat dan kesedihan membayangkan penderitaan pria di hadapannya itu.
Leon melanjutkan, suara lirihnya bercampur getir.
“Jadi jangan pernah menganggapku sebagai pahlawan atau sebagainya. Aku tidak sehebat itu. Cerita yang kaummu dengar hanyalah dongeng yang dilebih-lebihkan, agar anak-anak muda percaya masih ada harapan. Itu bukan aku. Itu hanya… kebohongan yang dipoles dengan rapi...”
Hening. Angin pelan menggoyang dedaunan.
Lalu, untuk pertama kalinya, N’Kosi melangkah maju, tatapannya menembus lurus ke dalam mata Leon.
“Aku juga pernah berpikir begitu,” ujarnya rendah namun tegas. “Awalnya aku mengira kau hanyalah sosok yang dibesar-besarkan oleh cerita rakyat, kebohongan yang dipoles dengan rapi seperti katamy. Tapi ketika aku menyaksikannya sendiri… ketika aku berdiri berhadapan denganmu… aku tahu cerita itu bukan kebohongan.”
N'Kosi mengepalkan tangannya, suaranya penuh keyakinan. “Bukan karena kau tak terkalahkan. Bukan karena kau selalu menang. Tapi karena kau selalu berdiri paling depan, meski tahu kau bisa mati kapan saja. Karena kau terus maju, meski kehilangan banyak orang kau tetap bertarung. Kau mungkin kehilangan banyak orang, tapi kau juga melindungi lebih banyak orang dari peperangan. Itulah yang membentukmu menjadi Jenderal Perang. Bukan mitos, bukan dongeng—tapi kenyataan.”
Leon menatapnya, diam. Kata-kata itu menembus pertahanan batinnya lebih dalam daripada pedang mana pun.
N’Kosi menambahkan, suaranya merendah tapi kuat.
“Kau tidak perlu melupakan masa lalumu. Jangan juga membencinya. Kau hanya perlu menerimanya sebagai bagian dari dirimu. Bukan luka yang harus disangkal… melainkan fondasi yang membuatmu tetap berdiri sampai hari ini.”
ayooo muncullah!!!
gmn malu'a klu tau angeline anak si komandan🤭😄
ternyata sang komandan telah mengenal leon
ah, leon akhir'a dpt sekutu