Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1- pertemuan takdir ceo cantik dan pemuda desa
Jakarta pagi itu diselimuti langit mendung, seolah ikut merasakan berat pikiran seorang wanita muda yang berdiri di balkon lantai dua rumah megah keluarga Adinata. Teresia Adinata, 27 tahun, CEO sebuah perusahaan properti ternama, menatap langit kosong. Rambut hitam kecokelatannya tergerai rapi, wajah cantiknya tampak sendu, meski berbalut makeup tipis.
Di bawah, di meja makan yang dihias bunga segar, Ny. Linda Adinata, ibunya, sudah sibuk menyiapkan sarapan. Wanita paruh baya yang tetap cantik di usia 50-an itu memasukkan potongan buah ke piring sambil melirik jam dinding.
“Kerja lagi, kerja lagi. Nggak ada mikir nikah tuh anak Papa,” gumamnya pelan.
Pak Adrian Adinata, suaminya, duduk santai membaca koran, senyum geli menghiasi wajahnya.
Langkah kaki menuruni tangga membuat Ny. Linda mengangkat wajah. Teresia muncul dengan setelan formal krem, elegan, khas wanita karier sukses.
“Pagi, Ma. Pagi, Pa,” ucapnya sembari menarik kursi.
“Pagi, sayang,” sahut Ny. Linda. Lalu, nada suaranya berubah sedikit menggerutu. “Lihat tuh, Pa. Anak kesayangan Papa ini kerja terus. Umur sudah 27, nggak ada tanda-tanda mau bawa calon mantu Mama. Mama tuh pengen cucu, tau!”
Pak Adrian menurunkan korannya sebentar. “Sudahlah, Lin. Jangan bikin anak kita tambah stres pagi-pagi begini.”
Teresia tersenyum canggung. “Ma, aku mau ke Sukasari hari ini. Cek lahan buat resort baru. Kan Mama tahu aku nggak bisa asal tanda tangan dokumen tanpa lihat langsung lokasinya.”
Ny. Linda mendengus, lalu menuang jus jeruk ke gelas putrinya. “Ya, kerja lagi. Mama tuh cuma pengen kamu bahagia, Teresia. Bahagia itu bukan cuma dari kerjaan, tahu?”
Teresia pura-pura sibuk dengan rotinya. “Ma, nanti kita bahas ya. Aku harus berangkat pagi biar nggak kemalaman di jalan.”
Pak Adrian menyela. “Kamu bawa supir?”
“Supardi sakit. Supir Papa lagi dipakai Papa. Aku nyetir sendiri aja, Pa.”
Ny. Linda langsung cemas. “Hah? Sendiri? Jauh loh itu, jalanannya kecil-kecil, banyak tikungan tajam. Mama khawatir, Teresia.”
Teresia bangkit, meraih tangan ibunya. “Ma, aku bisa jaga diri. Lagian, Mama selalu bilang aku nggak boleh manja kan? Ini kesempatan aku lihat desa. Doakan aja semuanya lancar.”
Dengan berat hati, Ny. Linda membiarkan putrinya pergi.
“Ya sudah. Tapi ingat, jangan ngebut. Jangan lupa makan di jalan. Hati-hati.”
Perjalanan menuju desa Sukasari
SUV hitam Teresia melaju menembus kemacetan pagi. Begitu keluar dari hiruk-pikuk Jakarta, jalanan mulai lengang. Sawah dan perbukitan hijau terhampar luas, angin desa menyapa lewat kaca jendela yang sedikit terbuka.
Teresia menghela napas lega. Pikirannya sedikit tenang, seolah semua beban hilang ditelan alam.
"Indah juga ya... Kadang kita lupa alam itu ada," gumamnya.
Namun, perjalanan panjang itu tak semulus harapan. Langit makin mendung, petir menggelegar, dan hujan deras turun tanpa ampun.
Jalanan berbatu yang sempit di pinggir jurang membuat Teresia memperlambat laju. Tapi, nasib berkata lain. Roda depan SUV menghantam lubang besar yang tertutup genangan.
Brak!
Mesin mati.
“Ya ampun!” desis Teresia. Dia mencoba menyalakan ulang. Gagal. Lagi dan lagi.
Ia turun, hujan membasahi tubuhnya. Tangannya gemetar menekan ponsel. Tak ada sinyal.
Pertemuan takdir
Di kejauhan, seorang pemuda dengan sepeda butut muncul. Hujan membuat rambutnya basah kuyup. Pemuda 20 tahun itu bertubuh tegap, wajahnya bersih, senyumnya ramah meski sederhana. Dialah Arga, anak yatim yang sehari-hari membantu warga desa.
Melihat mobil terhenti dan sosok wanita kebingungan, Arga mendekat.
“Mbak, mobilnya mogok ya? Biar saya bantu dorong ke pinggir?”
Teresia mendongak, kaget. Dia tak ingin terlihat lemah.
“Ah, nggak usah, makasih. Aku bisa sendiri.”
Tapi Arga menggeleng, tetap mendekat.
“Jalan di sini rawan, Mbak. Apalagi hujan deras. Biar saya bantu.”
Teresia mundur, menolak. Namun kakinya terpeleset lumpur.
“Aaah!”
Refleks, Arga menangkap tubuh Teresia yang nyaris jatuh. Mereka saling menatap.
Arga terpana. Wajah cantik di hadapannya membuat detak jantungnya kacau. Sorot mata itu, hidung mancung, bibir yang sedikit bergetar menahan gugup... begitu memesona.
Teresia juga terdiam. Hangat dada Arga membuatnya sedikit kikuk.
Suara teriakan memecah suasana.
“Eh! Apa itu?! Malam-malam pelukan?! Malu-maluin!”
Beberapa warga dengan payung mendekat, mengira yang tidak-tidak.
Teresia buru-buru menjauh.
“Bukan! Ini salah paham!”
Arga ikut menjelaskan.
“Dia terpeleset. Saya cuma nolongin!”
Tapi warga sudah kadung curiga.
“Ayo! Ke rumah Pak Lurah. Biar jelas urusannya!”
Dengan berat hati, keduanya digiring ke rumah Pak Lurah.
Hujan semakin deras. Langkah mereka menapak di tanah becek, tanpa sadar takdir telah mengikat keduanya dalam sebuah drama kehidupan yang tak pernah mereka bayangkan.