Bagaimana jadinya ketika bayi yang ditinggal di jalanan lalu dipungut oleh panti asuhan, ketika dia dewasa menemukan bayi di jalanan seperti sedang melihat dirinya sendiri, lalu dia memutuskan untuk merawatnya? Morgan pria berusia 35 tahun yang beruntung dalam karir tapi sial dalam kisah cintanya, memutuskan untuk merawat anak yang ia temukan di jalanan sendirian. Yang semuanya diawali dengan keisengan belaka siapa yang menyangka kalau bayi itu kini sudah menjelma sebagai seorang gadis. Dia tumbuh cantik, pintar, dan polos. Morgan berhasil merawatnya dengan baik. Namun, cinta yang seharusnya ia dapat adalah cinta dari anak untuk ayah yang telah merawatnya, tapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Siapa yang menyangka gadis yang ia pungut dan dibesarkan dengan susah payah justru mencintai dirinya layaknya seorang wanita pada pria? Mungkinkah sebenarnya gadis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pink
"MORGAN!" Lengkingan suara seorang gadis bernama Cherry menggema di rumah yang senyap sunyi, kicauan burung di pagi hari pun teredam suaranya oleh teriakan gadis itu.
Meski mendengar Cherry berteriak memanggil namanya tapi Morgan tetap santai memotong buah apel dan menatanya rapi di piring.
Langkah kaki yang terburu-buru seperti sedang dikejar anjing itu semakin mendekat. Sudut bibirnya sedikit tertarik.
"Morgan, apa yang harus aku lakukan?" rengek Cherry di ujung tangga.
Morgan meletakkan pisau lalu membalikkan tubuhnya, matanya melihat dari atas sampai bawah tubuh gadis itu yang hanya dililit handuk kecil berwarna putih.
"What's wrong?"
"Lihat ini!" Dalam sekali tarikan Cherry membuka handuknya, handuk itu jatuh menutupi telapak kakinya. Ia berjalan mendekati Morgan dengan tubuh yang polos tanpa sehelai benang.
Morgan saat itu juga menutup wajah. Sebenarnya ini adalah pemandangan biasa, bahkan mungkin sudah menjadi sebuah pemandangan yang tak mungkin dilewatkan setiap paginya, tapi bukan berarti tubuhnya akan terbiasa juga. Ia lelaki normal.
"Jangan menutup wajah mu. Kamu harus melihat ini!" Cherry berjinjit meraih kedua tangan Morgan dan menggenggamnya sehingga Morgan bisa melihat tubuhnya.
"Apa?" tanya Morgan berusaha untuk sabar.
"Ada bulunya." Cherry menunjuk bagian sensitifnya.
"What wrong with that?"
"Jelek," papar Cherry. Bibir bawahnya maju, matanya berembun dipenuhi air mata.
"Itu artinya kamu sudah dewasa. Itu normal, Cherry."
Cherry menggelengkan kepala. "Tapi kenapa harus ada bulunya? Jelek. Aku tidak suka."
"Hanya bulu tipis. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya," tutur Morgan. Tersenyum sambil mengusap kepala gadis itu.
"Tidak, Morgan. Aku sudah bilang aku tidak suka ada bulunya," cicit Cherry kekeuh.
"Kalau begitu cukur saja. Simpel, kan?" saran Morgan. Dua alisnya terangkat dan senyumnya lebar.
Cherry seketika tersenyum. "Kamu benar. Kenapa aku tidak berpikir sampai sejauh itu, ya?" Ia langsung berlari tunggang langgang menaiki anak tangga, bahkan handuknya ditinggalkan begitu saja di ujung tangga.
"Astaga, anak itu...." Morgan menggelengkan kepalanya dengan tingkah Cherry yang meski umurnya sudah mau menginjak sembilan belas tahun tapi dia masih polos seperti anak kecil.
"Aku harus sabar menghadapi gadis itu."
"AAAAAAAAAA...." Jeritan yang sangat kencang dan melengking itu berasal dari kamar Cherry.
Morgan mengangkat tubuhnya yang condong setelah mengambil handuk Cherry. "Sekarang ada apa lagi?" gumam Morgan. Kakinya melangkah membawa dirinya ke kamar gadis itu.
"Cherry, kenapa kamu berteriak?" tanya Morgan sesampainya di kamar Cherry. Namun gadis itu tak ada di kamarnya, pun langkahnya tertuju ke kamar mandi.
Morgan masuk ke dalam kamar mandi, tak perlu melangkah lebih dalam karena Cherry sedang duduk di atas wastafel.
"Daddy, look!" Cherry membuka lebar pahanya, dua tangannya digunakan untuk menghapus air mata yang keluar beberapa tetes.
Morgan melihat area sensitif Cherry dan ada bercak darah di sana.
"Aku mencoba mencukur bulunya dengan gunting, tapi aku malah menggunting kulit ku. Ini sakit," rintih Cherry.
Morgan menepuk jidatnya. "Astaga!" Ia semakin dibuat tak habis pikir. "Siapa yang menyuruhmu menggunakan gunting?"
"Lalu harus dengan apa? Mungkinkah menggunakan pencukur janggut mu?" tebak Cherry. Ia menggaruk lehernya yang sedikit gatal.
Morgan menarik kursi kemudian dirinya duduk tepat di depan Cherry. Ia menunduk membuka kabinet bawah dan membawa alat yang ia butuhkan.
"Aku tahu hari ini akan terjadi makanya aku sudah menyiapkan segala keperluan mu di dalam kabinet ini," ungkap Morgan sambil memperlihatkan alat pencukur dan pelembabnya.
"Kamu tidak memberitahuku."
"Kamu tidak bertanya padaku," balas Morgan tak mau kalah.
"Kalau begitu tolong bantu saja aku. Aku tidak bisa melakukannya," pinta Cherry. Ia memegang kedua lututnya agar tetap terpisah jauh.
"Sebelum mencukurnya kamu harus mengoleskan cream supaya saat dicukur nanti tidak sakit," tutur Morgan sembari mempraktekkannya.
Wajah dan tangannya mungkin santai, tapi sesuatu yang tak terlihat karena dikurung dalam sangkar yang rapat sedang tidak santai sekarang.
Dia meronta setelah melihat warna pink murni di depannya.
Morgan mulai mencukur bulu-bulu halus yang kecil di sana.
"Morgan, kenapa telinga mu merah?" Cherry menyentuh telinga Morgan yang merah dan ternyata tidak hanya merah tapi juga sangat panas.
"Jangan menyentuhnya!" Morgan langsung menutup telinganya untuk beberapa saat.
"Hmmm..." Cherry mencoba menerka sebab telinga Morgan memerah dengan otak kecil nan polosnya.
Cherry tersenyum berulang kali memerhatikan Morgan yang begitu serius membantunya.
"Morgan, do you know why my nipples and Miss V are pink?" tanya Cherry iseng.
"Mungkin karena kamu masih muda, memiliki kulit yang putih bersih, dan kamu juga cantik," tebak Morgan.
"No." Cherry menggelengkan kepalanya berulang kali sambil melempar tawa kecil.
"Kalau begitu kenapa?"
"Cause my name is Cherry," jawab Cherry, suara tawanya lebih besar dari sebelumnya.
"Hahaha...." Morgan menggeleng pelan, sama sekali tidak menduga kalau dia akan menjawabnya seperti itu.
"Apa kamu suka dengan nama mu?" tanya balik Morgan.
"Awalnya tidak karena aku memiliki nama buah. Tapi semenjak aku tahu bahwa nama ini kamulah yang memberikannya aku jadi suka nama ini."
"Tapi bolehkah aku tau kenapa namaku Cherry? Kenapa tidak Sophia? Eleanor? Atau mungkin Abigail, atau juga Angel?!"
"Bukankah aku pernah mengatakannya padamu?" Morgan menengadah sebentar untuk melihat wajah Cherry dan ia mendapat gelengan kepala dari gadis itu.
"Waktu itu aku tidak peduli tentang nama mu. Aku hanya menamai mu secara acak dan kebetulan waktu aku menemukan mu itu sedang musim cherry," jawab Morgan jujur.
"Bahkan karena cherry yang sedang aku makan jatuh ke kardus mu lah yang membuat aku bisa menemukan mu," lanjutnya.
"Aku tidak pernah berpikir kalau kamu akan tumbuh sebesar ini dan menjadi gadis cantik. Aku sempat berpikir mungkin kamu akan mati di tanganku. Bagaimana pun aku seorang pria yang sama sekali tidak memiliki pengalaman mengurus bayi, tiba-tiba saja menemukan mu, dan memutuskan untuk merawat mu."
Cherry tertawa menggemaskan. Fakta bahwa dirinya anak yang dipungut dijalanan sekarang tidak lagi membuatnya sakit hati. Apalagi setelah tahu bahwa pria yang memutuskan untuk merawatnya juga seorang yatim piatu yang dipungut panti asuhan.
Makanya setiap kali Morgan berkata bahwa dia tidak berharap dirinya akan hidup sampai detik ini, alih-alih merasa sedih dirinya justru merasa santai saja dengan itu. Toh, dirinya sudah tahu karakter Morgan seperti apa.
Morgan adalah sosok pria yang penyayang meski tidak bisa dipungkiri juga bahwa dia pria si pemilik sikap dingin dan mulut yang selalu blak-blakan.
Cherry mengerang. Pahanya spontan merapat karena jari tangan Morgan masuk ke bagian paling sensitif nya. Ia pun langsung membekap mulut tatkala Morgan menatapnya tajam.
"Itu geli, Morgan," ungkap Cherry seraya perlahan melepaskan tangan yang menutupi bibirnya. Ia berusaha membela diri.
"Tapi rasanya enak," lanjutnya polos. "Itu berdenyut saat kamu menyentuhnya. Tolong sentuh lagi, aku ingin merasakannya lagi."
Morgan memijat keningnya. Masa iya dirinya harus memberikan Cherry edukasi tentang hal-hal sensitif, tapi rasanya ia sangat tidak tahan dengan kepolosan gadis itu.
"Sekarang sudah selesai. Ayo, bersiap berangkat sekolah!" Morgan memangku tubuh Cherry turun dari wastafel.
Cherry menatap dirinya dari pantulan kaca, ia terkekeh geli saat melihat plester bergambar cherry di atas kulit sensitifnya yang terluka.
"Di mana kalung mu?" tanya Morgan, baru menyadari leher gadis itu polos.
"Aku memutuskan untuk menyimpannya di laci," jawab Cherry. Ia berjalan menuju kamarnya dan Morgan mengikutinya di belakang sambil memerhatikan dua belahan mematikan Cherry yang sedang bergerak ke kanan dan kiri.
"Kenapa? Kalau kamu terus memakai kalung peninggalan orang tua mu itu mungkin suatu hari nanti kamu akan bertemu dengan mereka."
Tidak seperti dalam sebuah novel atau film, anak yang ditinggalkan di jalanan akan ditinggalkan dengan sepucuk surat untuk memberitahu nama dan tanggal kelahiran anak itu, atau sejumlah uang di dalamnya.
Justru waktu dirinya menemukan Cherry di dalam kardus, dia terbungkus kain tipis dengan darah dan plasenta yang belum dipotong seakan anak yang baru lahir langsung dibuang, keadaannya sangat menyedihkan, karena itulah dirinya memutuskan untuk merawat Cherry.
Tapi di dalam kardus itu ada kalung dengan liontin berlian berbentuk kupu-kupu berwarna biru cantik. Dulu dirinya sempat menduga kalau Cherry adalah anak seorang wanita kaya raya.
Tapi sampai detik ini dirinya pun belum menemukan siapa orang tua asli Cherry. Jangankan mencari orang tua Cherry, bahkan orang tuanya sendiri pun dirinya tidak tahu.
"Aku tidak ingin bertemu dengan mereka," ujar Cherry ketus. "Untuk apa aku harus bertemu dengan orang yang telah membuang ku?"
"Sampai mati pun aku hanya ingin bersamamu." Cherry melingkarkan tangannya di leher Morgan dan bergelayut manja.
Morgan tertawa ringan. "Kamu tidak bisa seperti ini. Setelah dewasa nanti kamu akan jatuh cinta dan menikah, lalu memiliki keluarga sendiri, dan kamu akan jauh lebih bahagia dari sekarang."
"Tidak mungkin," bantah Cherry. "Kebahagiaan ku hanya ketika bersama mu."
"Karena itulah..., kamu juga tidak boleh menikah dengan siapapun. Kita hidup untuk satu sama lain saja. Setelah dewasa nanti aku bisa menjadi istri mu, Morgan. Toh, kita tidak punya hubungan darah."
"Kalau kamu menikah dengan wanita lain, mungkin aku akan meninggalkan rumah ini, atau mungkin juga bunuh diri."
"Aku tidak bisa hidup tanpa mu." Cherry menyandarkan kepalanya di dada bidang Morgan.
Yang seharusnya menjadi sosok ayah, tapi justru dirinya mencintai Morgan lebih dari seorang anak pada ayahnya. Apa salahnya? Dirinya dan Morgan bukan ayah dan anak asli.
"Oh, iya." Cherry menepuk keningnya teringat akan sesuatu. "Minggu depan temanku akan ulang tahun. Boleh aku datang?"
"Tentu saja boleh. Kenapa tidak?" Morgan membantu memakaikan tas ke punggung Cherry.
"Dia bertanya tentang ulang tahunku juga dan aku bilang aku tidak punya tanggal lahir."
"Kata siapa kamu tidak punya tanggal kelahiran?" sergah Morgan. "Tentu saja kamu punya. Tanggal lahir mu dibuat dari tanggal aku menemukan mu dan itu tanggal tujuh di bulan Juli sama seperti bulan kelahiran ku yang diberikan oleh panti asuhan."
Morgan menyelipkan anak rambut Cherry yang tampak mengganggu pandangan gadis itu.
wajar dia nggak peduli lg dgn ortu kandungnya secara dia dr bayi sdh dibuang.🥲