Hana dan Kinan dinyatakan meninggal dalam kebakaran rumah yang dasyat. Daud sebagai suami terpaksa menerima kenyataan tersebut setelah jenazah keduanya ditemukan kosong di dapur rumah mereka. Lalu bagiaman dengan aset yang ditinggalkan Hana yang diwariskan dari almarhum orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YNFitria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebakaran
"Minggir!"
"Awas!"
"Tambah airnya!"
Teriakan dan jeritan menggema, bercampur dengan lalu-lalang manusia yang berusaha memadamkan kobaran api di sebuah rumah yang cukup megah. Pemadam kebakaran sudah tiba dan terus menyemprotkan air tanpa henti untuk menjinakkan api yang masih berkobar. Beruntung, ada beberapa sumber air milik warga yang bisa membantu, sehingga api bisa lebih cepat teratasi.
Butuh waktu lebih dari empat jam bagi petugas damkar, dibantu warga, untuk memadamkan api. Tentu saja, belum termasuk proses pembersihan puing dan sisa kebakaran lainnya.
Warga membantu membereskan puing yang berserakan di luar garis polisi. Di dalam, pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan lokasi. Pak Hamid, selaku RT, membantu mengarahkan warga untuk mencari barang atau benda yang mungkin masih bisa diselamatkan. Saat sedang mengarahkan, Pak Hamid didatangi oleh istrinya, Bu Rami.
“Pak, sebaiknya Bapak ikut pulang dulu. Pak Daud sudah siuman dan langsung histeris,” ucap Bu Rami dengan wajah cemas. Pak Hamid menatap istrinya sejenak, lalu langsung beranjak pergi menuju rumah mereka yang tidak terlalu jauh dari lokasi, tanpa menjawab sepatah kata pun. Bu Rami segera mengikuti.
Pak Daud adalah pemilik rumah yang terbakar dini hari tadi. Setelah berteriak histeris selama lebih dari sejam dan berusaha masuk ke rumah untuk menyelamatkan anak dan istrinya, Pak Daud akhirnya pingsan dan dibawa ke rumah Pak Hamid.
Ya, di rumah besar itu ada istrinya, Hana, dan anak mereka yang baru berusia tujuh bulan, Kinanti. Mereka kemungkinan terjebak di kamar anaknya. Pak Daud keluar rumah saat api sudah membesar dan sulit dimasuki. Sementara ART mereka, Bi Inah dan suaminya, Mang Burhan, kebetulan sedang berada di rumah kerabat yang akan mengadakan pernikahan di kecamatan sebelah.
Saat Pak Hamid dan Bu Rami berjalan menuju rumah mereka, sebuah mobil SUV hitam berhenti. Tak lama, tiga orang keluar dan mencoba masuk melewati garis polisi, namun dicegah petugas.
“Kami keluarga pemilik rumah ini,” ujar salah satu dari mereka, seorang perempuan sekitar tiga puluhan yang terlihat anggun dan cantik.
“Maaf, Bu, tetap tidak bisa masuk. Saat ini sedang dilakukan pemeriksaan. Pemilik rumah dibawa ke rumah Pak RT. Silakan ke sana saja, Bu,” ujar petugas.
“Keluarga Pak Daud, ya? Mari saya antar ke rumah Pak Hamid, beliau dibawa ke sana,” kata Ujang, salah satu warga, yang mendekati mereka.
Ketiga orang itu menoleh ke arah Ujang dengan sedikit mengernyit. Maklum, Ujang sejak dini hari sudah membantu memadamkan api dan mengevakuasi beberapa tetangga. Meski rumah mereka tak terdampak karena jaraknya agak berjauhan, proses evakuasi tetap melelahkan. Ujang seperti manusia yang tak mandi tiga hari.
“Betul, Bu. Silakan diikuti, temui saja di rumah RT,” petugas polisi kembali menambahkan saat melihat mereka belum bergerak.
Akhirnya, ketiga orang tersebut mengikuti Ujang menuju rumah Pak Hamid.
---
Di rumah Pak Hamid, terlihat Pak Daud tergugu menangis setelah sebelumnya kembali histeris. Beruntung, salah satu petugas kesehatan dari kepolisian sigap menyuntikkan obat penenang sebelum kondisinya memburuk. Kini, Pak Daud hanya bisa bersandar di sofa ruang tamu sambil memanggil-manggil nama istrinya, Hana.
Saat kebakaran berlangsung, entah di mana anak dan istrinya berada. Pak Daud baru terbangun ketika api sudah cukup besar dan panas. Barang-barang berjatuhan, atap serta jendela kayu sudah mulai terbakar.
Pak Daud langsung berlari keluar dan berteriak histeris, sementara warga baru berdatangan setelah mendengar kentongan dipukul oleh para peronda yang melihat kobaran api.
Sampai saat ini, keberadaan Hana dan anaknya belum diketahui. Beberapa orang sempat mencoba masuk ke rumah, namun gagal menemukan keduanya. Api yang membesar membuat rumah tak mungkin dijelajahi.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam. Ada apa, Jang?” tanya Pak Hamid.
“Ini, Pak. Saya antar keluarga Pak Daud,” jawab Ujang sambil mundur. Tak lama, ketiga orang yang diantarnya masuk ke rumah.
“Oh, silakan masuk,” ujar Bu Rami mempersilakan.
Ketiganya langsung masuk dan mendekati Pak Daud yang berada di sofa.
“Bang, kamu terluka?” tanya perempuan yang ternyata bernama Dina.
“Abang selamat, Din. Tapi kakak iparmu dan keponakanmu... tidak,” jawab Daud, disusul tangisan pilu yang kembali keluar dari mulutnya. Dina menghembuskan napas dalam, berusaha tenang, begitu juga dua lelaki yang bersamanya.
“Abang nggak bisa selamatkan mereka, dan sekarang belum tahu nasibnya gimana... huhuhu,” Pak Daud semakin keras menangis. Dina, adik kandungnya, mengusap lengan sang kakak, berusaha menenangkan.
“Abang harus kuat, ya. Sekarang lebih baik abang ke rumah sakit dulu, diperiksa,” ujar Henry, juga adik kandung Daud. Tak ada jawaban selain tangisan yang menyayat hati. Semua membiarkannya menangis sampai akhirnya tangis itu mereda.
“Abang mau nunggu kabar dari polisi yang periksa rumah. Abang harus tahu dan lihat kondisi Hana dan Kinan,” ujarnya sedikit lebih tenang.
Ketiga adiknya hanya diam.
“Bapak, Ibu, silakan minum. Pak Daud juga ya. Saya siapkan sarapan supaya Bapak tetap sehat dan kuat,” ujar Bu Rami, keluar membawa beberapa gelas dan dua teko berisi teh dan kopi. Ia juga menyuguhkan sepiring roti bakar untuk Pak Daud.
Pak Daud sebenarnya tidak berminat makan, namun atas desakan adik dan tetangganya, ia akhirnya mengunyah roti itu perlahan. Ia sadar, masih banyak hal yang harus dilakukan setelah ini.
---
Di lokasi kebakaran, tim kepolisian akhirnya menyelesaikan pemeriksaan awal untuk mencari penyebab kebakaran. Tim Inafis dari Polri bersiap kembali. Di dalam ambulans, ada dua jenazah—dewasa dan bayi—yang gosong dan hampir tak dikenali. Keduanya ditemukan di dapur. Kemungkinan besar, mereka bangun lebih dulu dan sedang menyiapkan susu untuk si bayi. Ketika api menjalar, mereka terlambat menyadari dan tak sempat menyelamatkan diri.
“Beres, Ndan. Kami akan kembali ke kantor. Sebagian masih di sini berjaga dan kumpulkan bukti pendukung lain. Wawancara dengan warga dan saksi juga sudah dilakukan.”
Laporan itu terdengar dari salah satu polisi yang berbicara dengan Kapolsek setempat. Setelah itu, mereka berpamitan. Pak Martin, sang Kapolsek, bersama dua anggotanya, menuju rumah Pak Hamid.
Tentu saja, selain memastikan kondisi Pak Daud, mereka perlu mengambil keterangannya sebagai pemilik rumah.
Sementara itu, Bi Inah dan Mang Burhan, ART di rumah Pak Daud, juga baru tiba. Mereka langsung berangkat setelah diberi tahu salah satu warga yang mengenal mereka.
Keduanya menangis dan tampak terpukul melihat rumah majikan mereka kini hanya puing dan abu. Bi Inah menangis histeris, sementara Mang Burhan memeluknya dan berusaha menenangkan. Meski matanya berkaca-kaca, ia masih bisa mengendalikan diri.
Beberapa warga menghampiri mereka, menyampaikan belasungkawa dan mencoba menghibur. Setelah lebih dari tiga puluh menit meratapi rumah yang terbakar, mereka berdua beranjak menuju rumah Pak Hamid. Mereka diberi tahu bahwa Pak Daud ada di sana. Bagaimanapun, mereka ingin melihat kondisinya.
Saat tiba, Pak Daud sedang dipapah keluar menuju mobil yang baru datang. Salah satu adiknya menjemput dengan mobil yang diparkir tak jauh dari lokasi kebakaran. Anggota polisi juga tampak mengikuti di belakang.
“Pak...” teriak Bi Inah, lalu berlari dan bersimpuh di kaki Pak Daud. Tak ada kata yang sanggup diucapkan. Mang Burhan berjongkok, memeluk istrinya, lalu membantunya berdiri.
Pak Daud memejamkan mata lalu berkata,
“Tak apa, Bi Inah. Aku harus ke rumah sakit dulu. Kamu kembalilah ke rumah saudaramu. Aku akan menghubungi kalau semuanya sudah kondusif.”
“Maaf, Pak...” ujar Bi Inah terbata-bata.
Pak Daud menepuk pundak Bi Inah dan melakukan hal serupa pada Mang Burhan. Setelah itu, ia masuk ke mobil menuju rumah sakit. Mobil patroli polisi mengikuti dari belakang. Mereka masih membutuhkan keterangannya.
Sementara itu, Bi Inah dan Mang Burhan menolak tawaran warga untuk beristirahat. Mereka memilih kembali ke rumah kerabat mereka.