**Seperti ada yang retak, namun bukan kaca.
Seperti ada yang patah, namun bukan ranting.
Seperti ada yang hilang, namun bukan nyawa**.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Pernahkah kau merasakan, dimana alam semesta seakan tengah memporak porandakan hidupmu?
Seseorang yang kau cintai, pergi meninggalkanmu begitu saja. Saat kau mulai mempercayai bahwa dia-lah yang Allah kirimkan untukmu. Seketika hatimu hancur lebur.
Awalnya kau selalu berkata bahwa tidak ingin jatuh terlalu dalam sebelum halal, dan keraguan itu pun tak kau pungkiri. Namun seiring berjalannya waktu, kau malah semakin yakin pada seseorang itu, bahkan rasamu pun mulai tumbuh.
Beberapa wanita tidak percaya akan pandangan pertama, kedua, ataupun ketiga. Namun saat seorang wanita mulai membuka hatinya, detik itu juga dia telah siap untuk jatuh cinta.
Bodohnya seorang wanita yang mulai meyakini keputusannya untuk membuka hati adalah ketika rasa keraguan itu muncul dari pria yang bahkan berjanji akan menghalalkannya. Tak sedikit pula yang pada akhirnya batal untuk melangkah menuju proses akad nikah.
Kira-kira seperti itu ketika ingin menjemput yang namanya jodoh. Akan banyak lika liku yang membutuhkan kesabaran penuh.
Iman yang kuat harus kita persiapkan, jika tidak, dengan mudah syaiton akan membuat kita merasa putus asa, bahkan lebih parahnya akan menimbulkan rasa trauma yang mendalam.
Segala sesuatu yang menurut versi kita itu adalah suatu hal yang buruk, tentunya pasti memiliki hikmah di balik itu semua. Jangan pernah kalian menanyakan, mengapa Allah memberikan ujian seperti ini kepada kita? Tapi, cobalah kalian berfikir rencana apa yang telah Allah siapkan untuk kita?
Percayalah, Allah itu maha baik. DIA menjauhkan kita dari seseorang, karena DIA begitu sayang terhadap hamba-Nya. Barangkali Allah menjauhkan kita dari orang itu, karena DIA tahu bahwa pria itu tidak baik, atau barangkali Allah telah menyiapkan pria lain yang lebih layak untuk menjadi imam-mu dari pada dia yang akhirnya memilih pergi meninggalkanmu.
Hidup ini adalah tentang meninggalkan dan yang di tinggalkan.
Berhusnudzon lah kepada Allah, percaya bahwa semua akan baik-baik saja.
"Jadilah kamu seperti bunga yang memberikan keharuman, bahkan kepada tangan yang telah merusaknya"
( Ali bin Abi Thalib )
***
Hari ini Shara bersiap untuk segera ke stasiun kereta, jadwal kepulangannya adalah pukul sembilan pagi. Ia bergegas meninggalkan hotel tempatnya menginap, sejenak ia menatap pintu kamar yang pernah Sakha tempati.
Shara teringat tingkah kekanak-kanakan yang selalu Sakha tunjukkan, dengan sengaja atau tanpa pria itu sadari.
"Lupakan!" seru Shara sembari menggelengkan kepalanya.
Shara melanjutkan langkahnya, meninggalkan semua kenangan yang terukir manis di kota Kembang ini.
Langkahnya terhenti tepat di depan bangunan hotel, sejenak ia memandangi ke setiap sudut bangaunan dan sekitarnya.
"Terima kasih, atas setiap percakapan-percakapan singkat kita."
Shara membalikkan tubuhnya, berjalan pasti menuju stasiun tanpa menoleh kembali.
Di kursi penumpang, Shara menikmati perjalanan pulangnya dengan membaca buku. Sesekali ia juga menatap ke luar kaca jendela, memperhatikan setiap benda yang melesat tersapu lajunya kereta.
***
Sakha terbangun, setelah shalat subuh ia tertidur kembali karena merasa badannya sedikit kurang sehat. Perlahan ia mengerjap membuka matanya, melihat seisi kamarnya. Pemandangan berbeda tersaji kali ini, tempat berbeda tanpa suasana yang membuatnya merasa nyaman seketika. Tanpa Shara.
Sakha mulai beranjak dari tempat tidurnya, dengan langkah gontay ia berjalan menuju kamar mandi.
Di ruang tamu, seorang wanita paruh baya tengah menyiapkan sarapan pagi. Beberapa makanan telah tersaji di atas meja makan, tampak juga seorang pria yang telah berumur tengah membaca koran dengan di temani secangkir teh hangat.
"Bu, Sakha sudah di bangunkan?" tanya Pak Burhan, ayah Sakha.
"Belum, Pak. Baru mau Ibu cek sekarang," jawab sang istri yang tengah meletakkan beberapa piring.
Ibu Salma berjalan menuju kamar anaknya, ia berniat untuk membangunkan Sakha dan mengajaknya sarapan bersama.
"Akha, bangun!" panggil Ibu Salma.
Tidak ada sahutan membuatnya berinisiatif langsung masuk ke dalam kamar putranya, dan kebetulan pintu pun tidak terkunci.
"Sakha," panggilnya lagi sembari mengedarkan pandangannya.
Telinganya menajam, mendengar gemericik air yang berasal dari kamar mandi.
"Sakha, kau ada di dalam?" teriak Ibu Salma.
Sakha mematikan kran air, saat mendengar suara Ibundanya.
"Iya, Bu. Aku masih mandi," jawabnya dengan sedikit berteriak.
"Ibu tunggu di meja makan, kita sarapan!" seru Ibu Salma.
"Iya, baiklah." Sakha menjawab, kembali terdengar percikan air.
Ibu Salma lalu meninggalkan kamar putranya, dan kembali menyiapkan beberapa keperluan lain untuk sarapan.
Tak lama Sakha selesai dengan mandi-nya, ia segera mengenakan pakaiam dan berlalu menuju meja makan.
"Selamat pagi, Bu, Yah." Sakha menyapa kedua orang tuanya.
"Pagi," jawab Ayahnya singkat.
"Pagi, Nak. Ayo kita sarapan dulu," ajak Ibu Salma pada anak dan suaminya.
Ayah dan anak itu langsung menurut, mereka kini berkumpul bersama di meja makan.
"Pimpin doa," pinta Ayah pada Sakha.
Sakha mengangguk, lalu ia mengangkat kedua tangannya seraya berdo'a.
“*Alloohumma barik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaa bannar”
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan air ini (minuman) segar dan menggiatkan dengan rahmat-Nya dan tidak menjadikan air ini (minuman) asin lagi pahit karena dosa-dosa kami*”.
"Aamiin."
Kini mereka mulai menikati hidangan yang ada di hadapan.
Tanpa ada sepatah katapun, mereka menyantap makanan dengan tenang.
Tak butuh waktu lama, acara sarapan pun telah selesai.
“*Alhamdu lillaahil ladzii ath’amanaa wa saqoonaa wa ja’alnaa muslimiin”
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan kami dan minuman kami, serta menjadikan kami sebagai orang-orang islam*”
Sakha hendak beranjak dari tempatnya, namun ia mengurungkan niatnya saat sang Ayah mengajaknya untuk berbincang ringan.
Sakha dan Ayahnya kini duduk di depan rumah, di temani udara pagi yang menyejukkan.
"Kha, bagaimana liburanmu?" tanya Pak Burhan basa-basi.
"Alhamdulillah, menyenangkan. Kenapa Ayah menanyakan hal itu?" tanya Sakha penasaran.
"Baguslah, kenapa liburannya mendadak?" tanya Pak Burhan lagi.
"Emm, tidak apa-apa." Sakha menjawab dengan heran, tak biasanya sang ayah menanyakan hal-hal kecil seperti itu.
"Kapan nikah?"
Sakha terhentak mendengar pertanyaan Ayahnya, baru kali ini ia mendapat pertanyaan itu dari sang ayah.
"Secepatnya, Yah. Gimana Allah saja," jawab Sakha.
"Ada ikhtiar sebelum tawakal," ucap Pak Burhan dengan tegas.
"Kau itu laki-laki, carilah perempuan yang baik agamanya. Jangan main-main terus!" Imbuh Pak Burhan.
Sakha terdiam, ia tengah memikirkan bagaimana jika orang tuanya tahu bahwa perempuan yang menjadi pacarnya saat ini tidak menutup auratnya. Ya, tiga tahun berpacaran dengan Airin, kedua orang tua Sakha tidak mengetahui itu.
Pak Burhan beranjak meninggalkan Sakha, ia memberi ruang untuk anaknya agar bisa lebih berfikir jernih.
Tak lama Sakha berniat untuk kembali masuk ke dalam rumah, ia hendak berdiri dan terdengar suara seorang wanita memanggilnya.
"Assalamuallaikum," ucap wanita itu.
Sakha berbalik, ia terkejut melihat wanita yang datang ke rumahnya.
"Airin, kau kenapa kemari?" tanya Sakha sembari mendekati Airin.
"Selamat ulang tahun, sayang." Airin menyodorkan sebuah cake yang betuliskan nama Sakha.
Ya, hari ini adalah hari kelahiran Sakha. Tepat tiga puluh tahun umurnya, sisa jatah hidupnya di dunia pun otomatis berkurang.
"Semoga Allah melimpahkan kepadamu segala apa yang DIA limpahkan pada hamba-hamba-NYA yang sholeh," ucap Airin tulus.
Sakha tersenyum, "aamiin, terima kasih."
"Sama-sama, emm mana orang tuamu?" Tanya Airin.
"Emm, ada di rumah. Duduk, Rin." Sakha mengajak Airin untuk duduk di kursi depan rumahnya.
Airin mengangguk.
Belum sempat Sakha memanggil orang tuanya, Pak Burhan telah menghampiri mereka lebih dulu.
"Siapa, Kha?" tanyanya.
"Oh, ini teman Akha," ucap Sakha.
Airin menajamkan matanya, ia sedikit kesal karena Sakha mengenalkannya sebagai teman.
"Airin, om. Pacar Sakha," ucap Airin sembari menyalami Pak Burhan.
Sakha terkesiap, kenapa Airin terang-terangan memperkenalkan dirinya sebagai pacar pada ayahnya.
"Pacar? Sejak kapan kalian pacaran?" Mata Pak Burhan tertuju pada Sakha.
Sakha menunduk, ia merasa malu karena telah berbohong selama ini pada orang tuanya.
"Tiga tahun, Yah." Sakha menjawab dengan rasa bersalah.
Pak Burhan menatap dengan raut yang tak dapat di artikan, ia merasa kecewa karena selama tiga tahun anaknya telah berbohong pada kedua orang tuanya. Ia berlalu meninggalkan mereka tanpa sepatah katapun, membuat Sakha semakin bingung dibuatnya.
"Apa Ayahmu tidak menyukaiku?" tanya Airin.
Sakha tak menjawab, ia tengah benar-benar merasa bersalah kepada kedua orang tuanya.
Airin menatap penuh tanya pada Sakha, ada hal yang ia pahami saat ini. Pilihannya kini hanyalah diam, dan mempertahankan apa yang ingin ia pertahankan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
maura shi
ortunya saka agamis bgt kek nya
2020-08-22
1
Iqbal Firdauz
haduh bgmn reaksi ortu sakha, kalau tau sakha diajak nikah malah nolak.. padahal ortu udh nyuruh.. 😅
udh tau bohong g baik masih dilakuin..
g siap buat brkomikmen ya jangan pacaran bego kasihan cwenya..😕
2020-03-29
0
Joko Jokoo
sakha lgi galau dn bimbang dengb perasaan ny. bnyak2 brdoa az ap yg trbaik akha
2020-03-29
1