Senandung Impian
Ayu Andhini itulah namaku. Aku kelahiran Solo, keturunan pribumi dengan ciri hidung berukuran minimalis, kulitku tak seputih para model iklan di televisi namun terkesan berwarna eksotis, khas gadis jawa.
Penampilanku sungguh terkesan biasa, sebab untuk tampil luar biasa sungguh pasti butuh dana, sedangkan aku saja terlahir dari keluarga sederhana.
Usiaku kini menginjak remaja, masa puber yang sedang ingin tahu segalanya, termasuk ingin mengenal apa itu arti cinta.
***
Lamunanku kini sedikit buyar, tadinya aku sedang mengamati aktivitas segerombolan team yang sedang memainkan bola basket di halaman sekolah.
Selebaran kertas kini bergoyang didepan mukaku, setelah kulirik ternyata ulah Risty temanku. Aku tarik kertas itu dan tanpa membacanya aku sudah tahu.
Aku mendegus kemudian melipat kertas di tanganku dan aku masukan ke dalam saku.
"Paling telat besok," ucap Risty yang kini mengambil duduk disampingku.
"Thanks ya, aku kembali merepotkanmu," ucapku pada Risty.
"Santai aja kali," balasnya.
Kertas itu adalah selebaran yang wajib diisi oleh tetua atau Bapak RT maupun RW yang berada ditempat tinggal siswa. Aku sengaja meminta kertas itu dengan tujuan agar minggu depan aku bisa mengikuti ujian kenaikan kelas.
Terpaksa, karena orangtuaku belum mampu untuk membayar biaya sekolahku yang masih menunggak. Untungnya, sekolahanku memberi keringanan bagi siswa untuk mengikuti ujian meski belum menyelesaikan administrasi pembayaran dan syaratnya harus mengisi dan meminta legalisir dari tetua setempat.
Setelah didapat, petugas tata usaha akan memberi kartu ujian siswa dan yang membedakan adalah kartu milikku nanti akan mendapat stempel berwarna merah, yang bertuliskan kata "Sementara."
Malu, ya malu karena keadaanku yang berbeda dari temanku.
"Hai, ngalamun!" tegur Risty menepuk bahuku.
"Kapan ya aku kaya?" ucapku mendesah sambil menatap langit yang sedikit terik.
Risty terkekeh, "Kaya apa?"
"Kaya monyet," celetuk Putri yang kini datang membawa dua es teh yang ditaruh pada katung plastik.
Dengan mulut mencibir aku menerima uluran es teh plastikan tersebut kemudian menyeruputnya. "Banyak duitlah," ucapku usai menegak air es, sedikit mengobati rasa haus di kerongkonganku.
Putri menertawakanku. "Pengen banyak duit?" ucapnya seolah hendak memberi solusi, akupun mengangguk menanggapinya. Dia pun kini berujar setengah berbisik, "Sini aku kasih tahu," perintahnya hingga aku menuruti ucapannya.
"Pelihara tuyul," ucapnya lirih ditelingaku.
"Sialan," umpatku sedikit kesal kepadanya. Aku sedang serius dia justru menganggapnya sebagai sebuah candaan. Aku pun terdiam tak mau lagi menanggapinya.
Inilah salah satu uniknya negri ini, derita orang di ketawain.
Putri kini tertawa terbahak seakan puas sebab aku terlihat kesal, kalah atas ucapannya. Tapi tak lama tawanya terhenti dan kini menyenggol lengan Risty, seolah memberi isyarat menanyakan apa yang tengah terjadi padaku.
Dari ekor mataku terlihat Risty tengah membisikkan sesuatu kepada Putri, dan aku tahu jelas itu menyangkut masalah yang tengah aku hadapi.
Otakku memang selalu dipusingkan bila mendekati semesteran maupun ujian, biaya menjadi kendala besar bagiku. Padahal kalau dipikir aku baru menginjak tingkat satu SMK, masih panjang waktu yang akan kutempuh. Tapi yang beginilah, mau dibilang apa sudah menjadi nasibku.
"Maaf," ucap Putri setelahnya. "Aku ada sedikit tabungan, bila kamu mau kamu bisa memakainya terlebih dahulu," ucap Putri tulus padaku.
"Tidak," aku cepat-cepat menolaknya. Aku butuh tapi aku tak mungkin memakainya, sebab aku nanti akan bingung untuk mengembalikannya. Dan lagi, Putri sebenarnya bukan asli orang sini, dia hanya ikut tinggal bersama dengan Paman juga Bibi-nya disini. Kebetulan Pamannya bekerja sebagai salah satu penjaga sekolah ini.
"Kenapa, kamu tak perlu sungkan," ucapnya padaku.
"Aku akan menolak jika kamu menawariku uang. Tapi —," ucapku terjeda sejenak. "Beda lagi kalau kamu menawariku pekerjaan, maksudku kalau ada informasi tentang lowongan pekerjaan, aku akan menerimanya," sambungku seraya berharap.
Putri sejenak berfikir, kemudian mendudukkan diri tepatnya disampingku sambil merangkul bahuku. "Kamu yakin, sekolah dan bekerja itu berat Ayu, apalagi kita sebagai pelajar wajib untuk belajar, waktumu akan semakin tersita bila dipakai untuk bekerja," ucapnya memberi pengertian padaku.
"Tapi aku butuh uang," jawabku kekeh dengan tekadku.
"Bagaimana kalau peringkatmu nantinya menurun?" tanyanya lagi.
Aku menegakkan kepalaku yang tadinya menunduk. "Aku akan berusaha mempertahankannya, tapi— bila itu gak bisa— aku akan menerima resikonya," jawabku meyakinkan diri tak apa bila peringkat menurun, asal aku bisa sedikit meringankan biaya yang harus orangtuaku tanggung.
"Kalau begitu sepulang sekolah kamu ikut aku, kemarin diseberang minimarket aku lihat ada lowongan kerja, barangkali saja mau menerima pekerjaan partime," ucap Putri padaku dan akupun mengiyakan.
Usai pulang sekolah aku dan kedua temanku langsung menuju kesana, tepatnya toko Mahkota yang menjual berbagai macam sandal juga sepatu. Dilihat dari barang yang dijual adalah produk ekonomis dengan harga yang merakyat.
Dengan harap cemas aku mulai menanyakan untuk bertemu owner toko ini, dan beruntung pemiliknya sedang berada ditempat jadi aku langsung menyampaikan tujuanku kemari.
Pemilik toko ini menyambutku dengan baik, aku diberi kesempatan untuk menjadi salah satu karyawannya, meski jam kerja yang aku ikuti saat pulang kerja serta hari libur sekolah aku wajib masuk kerja. Lusa aku baru diijinkan masuk, untuk syarat lainnya boleh menyusul.
Aku pulang dengan hati yang riang gembira, ku kayuh sepedaku hingga sampai rumah. Rumah dimana tempatku singgah juga berteduh dari terik juga air hujan, meski tak megah tapi cukup nyaman ditempati.
Kepulanganku disambut oleh senyum mengembang yang terpancar dari bibir mungil adikku, Zahra. Usianya kini baru menginjak usia dua tahun, sempat dulu aku berfikir kenapa sudah besar aku memiliki adik.
Awalnya malu saat tahu ibuku mengandung, tapi setelah adikku lahir, seakan suasana menjadi lebih berbeda. Senyum dan tingkahnya mengisi keceriaan didalam rumah, namun baru aku ketahui belakangan ini bahwa adikku terlahir istimewa.
"Assalamualaikum..." ucapku saat memasuki rumah, juga mendekat kearah adikku yang terduduk di lantai.
"Salam alaikum.." balas adikku dengan suara khasnya. Akupun menghampirinya kemudian kukecup kedua pipinya.
Terlihat Ibuku, yang bernama Intan kini keluar dari arah dapur terlihat di tangannya membawa satu botol dot berisi susu, dan sudah dipastikan apa yang Ibuku bawa diulur pada adikku.
"Ganti baju, lalu makan siang," perintah Ibuku usai aku menyambut uluran tangannya untuk cium tangan.
Akupun menurut dan segera memasuki kamar, dinding dengan cat memudar atap genteng juga tumpukan baju dan buku-buku pelajaran sekolahku mengisi lari kayu tanpa pintu, tak ada yang istimewa diruanganku ini sebenarnya namun aku pikir kata nyaman dan aman adalah yang utama.
Kuletakkan tas ranselku kemudian kurebahkan tubuhku sejenak di kasur usangku. Menatap atap dan kuhitung genteng satu persatu, sambil pikiranku menerka-nerka "Hari esok, esok dan esoknya apa nasibku akan selalu sama?"
To Be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Tiffany_Afnan
misii thor..mampir bentaran... bagus bahasanya..
tetap semangat ayu !!
2023-02-21
0
Nuna
teringat waktu dulu,,mau ujian aja harus ke RT utk meminta surat tidak mampu,karna masih belum bisa membayar😥
2022-01-28
0
Nur'aeni Virgiawan Listanto
😇
2022-01-08
0