Sebelum pergi meninggalkan rumah ini, aku lekat mengamati tiap sudut kamarku. Hampir tujuh belas tahun aku menempati tempat ini, tinggal juga berteduh disini.
Kasur usang ini, bagian ternyaman ketika aku merebahkan diri. Menghantarkan energi tiap kali bangun pagi. Sejenak aku mendudukan diriku, tapi tak lama terdengar Ibu kini memanggilku.
"Ayu, barangmu sudah kamu kemasi ?" tanya Ibu yang muncul dari arah pintu.
Aku hanya menatap lesu padanya, rasa tak rela meninggalkan tempat ini benar-benar terasa berat.
"Ibu sudah temukan tempat baru," kata Ibu yang mendekat padaku.
"Dimana?" tanyaku antusias.
"Tadi ada tetangga yang menawarkan pada Ibu, tempatnya kebetulan lebih dekat jaraknya dari sekolahanmu," ucap Ibu yang kini duduk disampingku, beliau pun kini mengelusi punggungku seakan memberi kepercayaan bahwa tak apa-apa, tak perlu ada yang di khawatirkan.
"Apa Ayu masih bisa melanjutkan sekolah?" tanyaku yang tak yakin, sebab kupikir beban Ibu kian berat, tempat tinggal baru ku yakin Ibu mengeluarkan biaya yang tidak banyak.
"Tentu, kamu harus sekolah," tegas Ibu.
Aku mengangguk kemudian bangkit berdiri mengambil beberapa barang-barangku yang tak seberapa. Dan begitu sampai di depan rumah sudah ada becak yang menunggu, membantu kami memindahkan barang.
Ada juga para tetangga yang memperhatikan aktivitas kami, entahlah apa arti tatapan mereka, antara simpati dan menggunjing dibelakang, nyatanya sekarang mereka mulai berbisik-bisik antara satu dan yang lain.
Masa bodoh lah, memang sudah menjadi hal yang lumrah dalam hidup bertetangga keadaan seseorang yang berbeda akan selalu menjadi topik yang hangat dalam diperbincangkan.
Setelah selesai berkemas dan mengecek tak ada barang yang tertinggal kini kami menuju ke tempat baru yang memang letaknya tak jauh dari sekolahanku. Tempat berukuran empat kali empat meter, sebuah kos-kosnya yang hanya menyediakan satu kamar dengan kamar mandi diluar, yang jelas diperuntukkan untuk umum khususnya bagi penghuni kos ditempat ini.
Bagi Zahra adikku dia butuh adaptasi, apalagi disini dia belum memiliki teman, maka dari itu seharian ini aku hanya berada di dalam kamar kos sambil merapikan barang milikku. Hingga malam menjelang, dalam satu kasur aku merebahkan tubuhku disampingku ada Zahra juga Ibuku. Perlahan aku memiringkan tubuhku untuk menatap mereka satu persatu.
Ibuku, gurat lelah tercetak jelas disana. Dengan wajah yang nampak sekali bergelanyut beban di dalamnya, ketegangan terlihat samar dalam lelapnya. Sementara Zahra, wajah tanpa dosa itu masih belum tahu apa-apa dengan yang terjadi di sekelilingnya. Kini kuraih jemari kecil itu kemudian menggenggamnya. Mereka yang aku miliki maupun menemani, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk merubah nasib ini dan dalam tekad aku berjanji.
***
Libur sekolah telah berlalu, aku kini sudah kembali duduk di bangku sekolah dan tentunya naik ke tingkat dua. Aku mengambil sekolah kejuruan pariwisata, lebih tepatnya jurusan perhotelan. Selang beberapa bulan kedepan siswa tingkat dua akan melakukan magang kerja.
Kini aku bersama dengan temanku sedang mengikuti seleksi pemilihan siswa magang, kali ini hotel Kartika yang aku ketahui memiliki level bintang tiga sedang membuka kesempatan pelatihan kerja disana.
"Ayu dipanggil sama petugas TU," ucap Sarah yang kini tengah menghampiriku, padahal kini aku sedang menunggu giliran wawancara.
Aku terdiam dan berfikir, apa ini tentang biaya sekolah yang masih menunggak.
"Udah kamu kesana aja, nanti bila nama kamu dipanggil aku yang kasih alasan kalau kamu sedang ada kepentingan, biar giliran wawancara kamu ditunda," perintah Risty padaku.
Aku mengangguk kemudian berjalan melewati koridor dengan pikiran tak tenang, langkahku sedikit gontai namun mau tak mau aku tetap harus menghadapinya. Sesampainya di ruang TU aku segera menanyakan tujuanku datang kemari.
"Permisi, Bapak Ahmad memanggil saya. Saya Ayu Andhini dari tingkat 2 jurusan perhotelan," ucapku seraya menyebutkan identitasku lengkap.
Aku pun kini di persilakan untuk duduk dihadapan beliau. Dalam hati aku sudah mewanti-wanti dan menerka apa yang terjadi, kali ini Pak Ahmad sedang membuka lembar demi lembar map juga buku jurnal administrasi sekolah.
Kini dia menyodorkan padaku berkas dan pulpen untuk aku tanda tangani, wajahku sudah nampak pias, sungguh bila aku disuruh berhenti dari sekolah akibat menunggak tak bisa bayar, aku bisa apa. Tubuhku kini bahkan sudah lesu, namun tak berapa lama Pak Ahmad mulai bersuara.
"Kamu dapat beasiswa dari sekolah, dan dana beasiswa yang kamu dapat akan dialokasikan untuk pembayaran administrasi tingkat satu yang belum diselesaikan," jelas Pak Ahmad padaku.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali. "Saya gak salah dengarkan Pak?" tanyaku memastikan sebab aku merasa tak percaya.
Pak Ahmad justru kini heran melihatku, dengan kening mengernyit dia mengangguk membenarkan pertanyaanku. "Selamat," ucapnya mengulurkan tangan akupun juga menyambutnya dengan senyum lebar.
"Kamu baca beberapa surat-surat dalam map itu, setelahnya bisa kamu tandatangani," perintah Pak Ahmad dan ku angguki dengan antusias.
Mukaku kini berseri membaca tiap paragraf dalam lembaran kertas yang tengah kupegang. Tercantum namaku serta prestasi yang aku raih, yakni aku masuk dalam paralel di tingkat pertama tahun ajaran kemarin dan berhak memperoleh dana beasiswa. Ada tertulis catatan, aku masih bisa mendapatkannya di tahun ajaran berikutnya dengan syarat aku bisa mempertahankan prestasiku.
Dengan hati yang berbunga kini aku menandatangani berkas itu kemudian menyodorkannya pada Pak Ahmad. Pun kini aku dipersilahkan kembali untuk melanjutkan aktivitasku yang tadi tertunda.
"Cerah banget mukanya?" sambut Putry saat aku ikut bergabung bersama mereka.
"Namaku sudah dipanggil belum?" tanyaku pada mereka.
"Belum," jawab teman-temanku serempak. Akupun bernafas lega.
"Ditanya malah balik nanya. Gimana, tadi ada urusan apa dipanggil TU?" tanya Putri padaku.
Kedua sudut bibirku kini tertarik ke atas, senyum mengembang tercetak jelas hingga membuat teman-temanku merasa keheranan. Akupun mengeluarkan kertas yang tadi aku selipkan ke dalam saku bajuku.
"Taaaaraaaaa..." kataku seolah mendramatisir memberi kejutan pada mereka.
Risty segera merebut kertas itu dari tanganku, juga disambut oleh teman-temanku yang lain yang ingin tahu. Tak lama sudut-sudut di bibir mereka mengembang, dan serempak mereka berujar memberi kata selamat. Kertas itu berisi tentang catatan rangkap informasi beasiswa yang akan ditunjukkan kepada orangtua siswa.
Begitu pula dengan ke dua sahabatku kini yang sedang memelukku haru, sebab mereka yang paling tahu tentang diriku yang begitu susah untuk urusan biaya sekolah. Tak lama kegembiraan kami sedikit tertunda, sebab namaku kini di panggil untuk wawancara magang di hotel Kartika.
Akupun mulai mempersiapkan diri, menarik nafas panjang kemudian melangkah menuju ke arah pintu, perlahan handle pintu kubuka. Namun sebelum melangkah masuk aku sejenak menoleh ke arah belakang dan terlihat Risty dan Putri meneriakkan kata "Semangat."
To Be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Aqiyu
terharu 😢😢😢😢😢😢😢😢😆😆
2022-01-01
1
leny puspita
alur ceritanya bagus , kehidupan yg hampir di alami setiap keluarga ☹️
2021-12-24
1
Rina
Alhamdulillah, mnangis bahagia aku Thor. 💟💞💪💪
2021-11-14
0