Jam sekolah telah usai, akupun segera melanjutkan tugasku menuju tempat bekerja. Tak ada hal lain yang aku pikirkan selain sampai ke tempat tujuan maupun firasat buruk yang muncul di benakku, tak ada.
Namun aku begitu terkejut saat usai berganti pakaian kerja dan hendak menuju dalam toko, langkahku terhenti sebab ada salah satu karyawan toko yang tengah memanggilku.
"Ayu, tunggu," ucapnya.
"Ada apa Mbak Sari?" tanyaku padanya. Kulihat dia sedikit tak enak hati untuk memulai suara, terlihat dari gelagat juga sikap yang ditunjukkan padaku.
"Mbak—ada apa ya, jangan menakuti aku," ucapku agar dia mau segera bicara.
Dia terlihat sejenak menarik nafasnya. "Tadi Bu Amira pemilik toko ini bilang, kamu untuk waktu yang tidak ditentukan diliburkan dari pekerjaan," ucapnya.
Sontak aku terkejut dan setelahnya aku bertanya dengan nada bicara yang terdengar melemah. "Kenapa—?"
"Kemarin customer yang sempat kamu layani komplain sama Mbak Amira. Kamu yang sabar ya, dan aku harap kamu dapat ganti pekerjaan yang lebih baik," ucap Mbak Sari sambil menepuk pundakku.
Kali ini dia juga mengulurkan amplop putih padaku. "Ini titipan dari Bu Amira, kamu terima," ucapnya seraya menarik tanganku dan menggemgamkan amplop ke tanganku.
Akupun kini hanya mengangguk dan mencoba tersenyum meski sudah pasti terlihat senyumku tak tulus. Setelahnya Mbak Sari berlalu masuk ke dalam toko melanjutkan pekerjaannya.
Sementara aku terduduk lesu di ruang ganti sambil memandangi amplop di tanganku. Melihat hasil jerih payahku, bekerja hanya selama sehari setelahnya tak di butuhkan lagi.
"Apa memang aku gak bisa bekerja?" gumamku beralih memandangi telapak tanganku dengan air mata menggenang.
Aku berjalan sambil menuntun sepedaku. Berjalan pelan sambil menatap tiap pertokoan yang aku lewati, kali saja tertulis lowongan pekerjaan yang tertempel dekat pintu pertokoan. Namun usai berjalan berkilo-kilo meter tak ku temui satupun pemberitahuan toko butuh karyawan.
Aku lelah, dan kini aku memilih duduk sejenak di bahu jalan dengan sepeda aku letakkan tak jauh dari tempatku duduk. Matahari tak begitu terik, sebab hari sudah menjelang sore. Kini terdengar suara gaduh di sekitarku, setelah aku mengedarkan pandanganku terlihat beberapa bocah sedang asyik bermain sepak bola. Mereka berebut satu benda dengan langkah kaki kesana kemari, tak takut akan lelah apalagi cidera. Tawa mereka terlihat sangat murni dan lagi tiada beban dalam diri.
Dulu, aku juga begitu. Tapi kini bertambahnya usia segala masalah rasanya hadir tanpa henti, apalagi baru aku ketahui manusia mempunyai kebutuhan yang musti terpenuhi. Aku menghela nafas panjang, dan kucukupkan hariku kini.
**
Hari kenaikan kelas telah tiba, seperti hari lalu raport tak bisa di ambil. Aku kini masih berdiam diri di rumah seraya menyelesaikan pekerjaan rumah. Saat aku hendak mengambil sapu kulirik notifikasi ponsel yang berada di atas meja. Dari pesan yang ku lihat kini tertera disana tulisan aku masih berada di peringkat satu. Senyum mengembang di bibirku setelahnya aku pun melanjutkan lagi pekerjaan rumahku. Namun tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari arah luar, bergegas aku pun menuju kesana.
"Bapak-bapak kesini mau cari siapa ya?" tanyaku usai membuka pintu. Menilik dari penampilan orang-orang yang berdiri di hadapanku, mereka terlihat orang yang garang berpenampilan bak preman. Aku pun berusaha meneguk salivaku, tiba-tiba saja ada perasaan takut dan tengkukku kini begidik ngeri.
"Benar ini rumah Bapak Teddy?"
Akupun mengangguk. "Ada perlu apa memangnya Bapak-bapak kemari mencari Bapak saya?"
Salah satu orang di hadapanku kini mengulurkan selembar kertas padaku. Dengan sedikit ragu aku meraihnya dan setelah kubaca, aku dibuat terbelalak sebab disana tertulis dengan jelas dan huruf yang bercetak tebal. "RUMAH INI DI SITA"
"Bapak-bapak pasti salah alamat," kataku berusaha menyangkal.
"Disitu sudah jelas Dek, nama pemilik, alamat beserta alasan rumah ini disita," jelasnya sambil menunjuk letak sebab alasan rumah disita.
Nafasku tiba-tiba saja terasa begitu sesak, rumah tersita sebab pinjaman uang tidak bisa dikembalikan dalan tempo waktu yang telah ditentukan. Kapan waktu hutangnya, batinku.
"Ada apa ini?" suara Ibuku, beliau muncul dari arah belakang.
Orang-orang yang ada dihadapanku kini menjelaskan kedatangan mereka, Ibu juga merasakan hal yang sama, terkejut seperti aku.
"Kosongkan rumah ini dalam waktu 24jam, esok saya harus melihat rumah ini telah siap digunakan oleh orang lain," ucap orang tersebut.
"Tapi kami gak meminjam uang atau berurusan pada anda, kenapa Bapak-bapak seenaknya memerintah kami. Kamu punya hak karena ini rumah kami," ucapku membela.
"Kalian memang benar tak meminjam, tapi Bapak kamu yang sudah meminjam uang dan rumah ini digunakan sebagai jaminannya," tegasnya dan kini menunjukkan surat perjanjian yang berisi tanda tangan juga cap jari yang bertuliskan nama Bapakku.
"Tapi kalian gak bisa begini, urusan kalian dengan Bapakku dan seharusnya kalian selesaikan urusan ini dengannya," ucapku yang sudah emosi.
"Dia kabur dan tentu saja hutang harus segera dibayar," katanya dengan suara meninggi.
"Kasih saya waktu, saya akan melunasi hutang tersebut," kata Ibuku memohon.
Tapi salah satu orang-orang disini berdecih sinis seraya tertawa mengejek. "Bayar pakai apa? Aku yakin kamu pasti juga tak punya uang. Atau—," ucapnya terhenti sambil berfikir, sejenak menatapku dengan senyum menyerigai. "Kita bisa bertukar, aku bawa anak gadismu dan rumah ini tetap jadi milikmu," ucapnya dengan tersenyum mengejek ke arah kami.
Aku langsung saja bergidik ngeri, Ibu sontak menarik lenganku untuk menyembunyikan diriku dibalik punggungnya. "Kalau begitu beri kami waktu untuk berkemas," ucap Ibuku kemudian.
Sebelum mereka berlalu pergi, mereka memberi peringatan kembali. Dan mengancam jika tak menuruti ucapan mereka dalam mengosongkan rumah ini, mereka akan mengambil aku sebagai gantinya.
"Ibu—," ucapku memberi protes.
"Kita gak punya pilihan lain," ujar Ibuku kini mendudukan diri pada kursi di ruang tamu, sorot matanya memancarkan kesedihan juga kekecewaan, sangat jelas terlihat.
"Ini semua salah Bapak," ucapku emosi. "Jika Bapak gak pergi bawa surat tanah, kejadian hari ini gak bakalan ada. Kalau rumah ini di kosongkan kita harus tinggal dimana," sambungku mendudukan diri di samping Ibuku. Kali ini aku menangkup wajahku menyembunyikan tangisku.
Ibu kemudian meraih bahuku dan mendekap diriku ke dalam pelukannya. "Setelah ini kita cari tempat tinggal," kata Ibuku menenangkan.
"Tapi dimana?" cicitku pelan yang masih dalam dekapannya.
Tiba-tiba saja terbesit dalam benakku, akupun menarik diri dari dekapan Ibu dan berkata, "Gimana kalau Ayu ikut mereka saja, biar Ibu dan Zahra tetap tinggal disini."
Ibu terkejut dengan ucapanku dan segera menarik diriku dalam dekapannya, terasa beliau memelukku erat. "Gak, bagaimanapun dan apapun yang terjadi, Ibu gak akan biarkan kamu dibawa mereka," kata Ibu tegas dan penuh penekanan.
"Kamu belum tahu Ayu, diluar sana kehidupan lebih keras," lirih Ibu dengan suara parau.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Aqiyu
selalu ranking 1 ga ada gitu beasiswa
ya ampun ini novel kok sedih banget sih
2022-01-01
1
Donna Armen
g ada beasiswa buat siswa berprestasi ya...?
2021-12-25
1
Rina
sedih si Thor 😥😥😥
2021-11-14
0