"Itu kayaknya bagus deh!" tunjuk Sarah ke arah ponsel yang letaknya paling ujung berwarna rose gold. "Yang itu berapa Bang harganya?" sambungnya bertanya pada penjaga counter.
Penjaga counter pun kini mulai mengeluarkan ponsel dan menyebutkan harganya, hal itupun spontan membuat mulutku seketika terperangah. Aku yang menyadari akan sikapku, kini mulai dengan segera menutup mulutku dan berujar, "Jangan itu Bang, kalau ada yang harganya lebih ekonomis untuk ukuran pelajar."
"Memang kenapa? Itu bagus, " tanya Sarah dengan nada pelan.
"Bagus sih bagus, harganya itu. Duitku gak cukup," jawabku berbisik.
Kini Abang penjaga counter telah mengeluarkan dua tipe ponsel dengan merk berbeda, untuk harganya sendiri relatif sama dan yang membedakannya lagi adalah fitur-fiturnya. Setelah mendapat penjelasan tentang keunggulan dan perbandingan antara keduanya aku kini memilih tipe fitur sederhana namun masih tetap unggul kualitasnya.
Keluar dari counter handphone jam sudah menunjukkan pukul dua siang, kami mampir sebentar ke kedai mie ayam untuk mengisi perut dan usai makan kini Sarah mengantarku pulang, lalu setelahnya aku bersiap diri.
Waktu berlalu dan dari tadi pun aku bolak-balik melirik ponsel guna melihat pesan dari Pak Akram, tapi sudah lebih dari jam tiga sore tak kunjung ada bunyi notifikasi. Saking lelahnya aku menunggu sampai tak sadar kalau aku tertidur.
Petang menjelang Ibuku dan Zahra kini telah pulang, tapi aku sendiri masih berada diatas kasur terdiam tak bergerak, hanya mataku yang berkedip memandangi ke arah layar ponsel.
Dari tadi semenjak terbangun dari tidur soreku, pikiranku menerka-nerka apa pesan Pak Akram tersendat ditengah jalan hingga kini tak kunjung ada kabar atau jaringan sedang error maka pesan darinya tak kunjung sampai. Andai saja aku punya nomornya pasti aku akan lebih dulu menghubunginya, menanyakan jadi atau gaknya dia yang mengajakku pergi.
Kecewa, sedih dan kesal jadi satu. Mungkin kalau aku bercerita kepada Sarah, dia akan mengataiku dengan sebutan korban PHP.
"Ahhhhh kesal! Pak Akram pemberi harapan palsu!" ucapku kecewa seraya menjatuhkan ponselku diatas permukaan kasur.
"Ayu kamu kenapa, dari tadi gak mandi malah sibuk lihatin ponsel?" seru Ibuku yang baru saja masuk ke kamar bersama Zahra adikku, kulirik kepala adikku basah juga badannya dibungkus dengan handuk itu artinya dia baru saja selesai mandi.
"Gak papa Bu," sahutku lesu.
"Kamu sakit?" tanya Ibu terlihat khawatir.
Kini aku bangkit beralih menggantikan tugas Ibu membantu memakaikan baju untuk Zahra kemudian berucap, "Ayu gak sakit Bu, tadi cuma tiduran aja. Ohya Bu, Ayu belum sempat masak."
Ibu menatap ke arahku dan tersenyum maklum. "Iya gak papa, malam ini beli nasi diluar. Ibu tahu kamu kelelahan," ucap Ibu dengan tangannya bergerak mengelus belakang kepalaku.
Akupun kini balik menatap wajah Ibu, hatiku justru merasa tak enak pada beliau. Gurat lelah jelas terpancar di wajahnya, tapi beliau masih maklum kepadaku yang tadi sebenarnya cuma rebahan dengan pikiran tak jelas. 'Maaf Ibu,' batinku.
"Kapan mulai ke sekolah?" tanya Ibu yang tangannya kini beralih melipat baju yang teronggok di sisi kasur.
'Aktivitas ngalamunku tadi nyatanya benar-benar membuang sebagian besar waktuku,' gumamku dalam hati.
Aku mendesah kemudian berujar singkat, "Besok."
Ibu menghentikan aktifitasnya sejenak dan menoleh menatapku. "Sekolah kamu tinggal satu setengah tahun lagi dan Ibu gak bisa janjiin kamu nak untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi."
Aku diam, sedih jelas, mataku kini menyapu ke sekitar ruangan berusaha menghalau air mataku. Aku sendiri sebenarnya masih ingin melanjutkan cita-cintaku, menggapai impianku, tapi mau bagaimana lagi jika Ibu sudah berkata demikian.
"Kamu gak keberatan kan?" tanya Ibu memastikan.
"Kalau misalkan Ayu yang cari biayanya sendiri bagaimana?" kataku bergumam seraya memilih menundukkan pandangan menyembunyikan rasa sedihku.
Terdengar helaan nafas Ibu. Beliau kini menggenggam tanganku dan berkata, "Bila itu tekadmu, Ibu akan mendukung dan selalu mendoakanmu. Semoga apa yang kamu cita-citakan kelak akan tercapai."
"Aamiin," ucapku pelan dengan mata yang sudah berkaca.
***
Esoknya aku kembali menjalani rutinitasku belajar ke sekolah, ya meski belum semua temanku masuk sebab ada yang sebagian masih menyelesaikan tugas magangnya.
Aku yang biasa duduk di deretan kursi depan kini memilih duduk di bangku paling pojok dekat dengan jendela, pikiranku kali ini sama sekali tak fokus dengan apa yang di terangkan oleh guruku.
Sejujurnya aku masih memikirkan sosok Pak Akram yang tak kunjung memberiku kabar, kurang asem memang sebab menunggu adalah hal yang membosankan, batinku kesal hingga tanpa sadar kakiku kini menghentak ke lantai.
Sampai-sampai karena ulahku itu, Bu Ratih guru wali kelasku kini memanggil namaku. "Ayu, maju ke depan!" perintahnya dengan suara tegasnya hingga membuatku sedikit tersentak.
Di tambah dengan Sandy yang kini duduk di bangku belakangku menepuk bahuku. "Ngelamun aja, dipanggil tuh sama Bu Ratih. Cepetan maju!" ucapnya setengah berbisik.
Dalam hati aku merutuki diriku, gimana kalau ditanya dan disuruh jelasin apa yang tadi Bu Ratih terangkan! Padahal dari awal sampai akhir aku sama sekali gak menyimak.
"Ayu, cepat maju kedepan," ucap Bu Ratih lagi.
Akupun meringis lalu bangkit berdiri dari bangku yang aku duduki kemudian berjalan dengan langkah ragu dan takut menuju depan kelas.
"Ya Bu Ratih," ucapku sesaat setelah langkahku berhenti disamping meja Bu Ratih.
"Sekarang kamu kerjakan tugas nomor 2," ucap Bu Ratih mengulurkan kepadaku alat tulis untuk mengisi jawaban pada papan tulis.
Sesaat setelah aku melirik kearah papan tulis terdapat tulisan Sin Cos Tan, dan aku sama sekali tak paham sebab rumus pengerjaannya saja aku tak hafal dan lagi salahku yang tadi tak memperhatikan saat Bu Ratih memberi penjelasan.
Wajahku langsung pias, rasa bersalah juga malu kini berkumpul jadi satu sebab aku kali ini harus berkata tidak bisa atau lebih tepatnya menggeleng kepala.
"Kenapa masih terdiam disitu?" ucap Bu Ratih kini menatapku dengan sebelah tangannya bersandar pada kursi.
Akupun tak bisa mengeluarkan kata untuk menjawabnya. Kini Bu Ratih memanggil nama Hera dan menyuruhnya untuk menggantikanku mengerjakan tugas nomor 2.
Tak bisa lagi aku menggambarkan wajahku kali ini sebab sudah pasti aku menjadi tontonan teman-temanku yang ada didalam kelas bahkan saat Hera selesai mengerjakan tugas itu dia melewati tubuhku seraya memberi senggolan di bahuku.
Aku yang sekilas balik menatapnya terlihat senyum serigai menghias dibibirnya. Tapi tak lama keherananku yang tengah menatapnya kini teralihkan sebab Bu Ratih memanggilku untuk memberi petuah. "Aktivitas melamunku tak boleh diulangi lagi," katanya.
Setelah berucap maaf dan tak mau mengulanginya kini akupun diijinkan kembali duduk ke bangku meja tempatku semula, sambil melirik ke arah Hera dan berfikir entah apa tadi maksudnya.
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Nazla K. R
biasanya klo emg pinter mskipun gk mendengarkan penjelasan guru pasti bisa ngerjakan soalnya
2021-12-03
1
Sugiarti Syamsuddin
👍
2021-10-09
1
Isma Wati
mantap ceritanya
2021-10-01
0