Ketenanganku kini mulai terusik, baru saja mataku terpejam tapi kini terdengar suara ribut-ribut dari arah luar. Bergegas aku bangun untuk melihat ada kejadian luar biasa apa, sebab tak biasanya dirumahku ada ribut-ribut seperti ini.
Sedikit terkejut, sebab kini di hadapan Ibuku yang sambil membawa Zahra dalam gendongannya berhadapan dengan bapak-bapak polisi, ditambah dengan para tetangga yang datang mengerubungi.
Jantungku kini memacu lebih cepat, kabar buruk apa atau kesalahan apa hingga Bapak polisi datang kemari. Dengan langkah pelan aku mendekat ke arah Ibuku yang terlihat sudah menangis, wajahnya tampak sembab. Aku pun segera meraih Zahra yang juga ikutan menangis, kubawa dia dalam gendonganku sambil menyimak kaka-kata dari bapak polisi.
Setelah aku mendengar dengan seksama, Bapak polisi menjelaskan bahwa Bapakku kini tengah berada dipenjara. Kesalahan yang beliau buat adalah tertangkap tengah melakukan perjudian.
Aku menoleh menatap ke arah wajah Ibuku, terlihat kacau disana. Sedih sudah jelas pasti. Tapi aku, rasanya ingin sekali murka. Sudah jelas orang susah tapi masih saja banyak tingkah.
Kini Bapak polisi sudah mulai berpamitan, tapi aku tetap bungkam. Sementara para tetangga datang tapi mengatakan bagaimana bisa terjadi, dan mana kami tahu. Kalau mau tahu tanyakan saja pada si pelaku yang mungkin sudah mendekam di balik sel penjara, batinku yang sudah kesal.
"Sudahlah Buk, gak usah dipikirkan. Kalau Bapak nyatanya memang berbuat demikian, ya biar beliau saja yang menanggung akibatnya," ucapku pada Ibuku.
Sementara tetangga yang masih berada dirumah kini justru menghakimiku, "Ayu kamu ini," ucapnya terdengar menghardikku. "Bapakmu masuk penjara tapi malah gak kamu pedulikan, gak ada rasa simpatik. Usaha gimana caranya Bapakmu bisa keluar dari sana," ucapnya padaku.
"Usaha gimana Pak Lek?" tanyaku padanya gak tau usaha apa, apa harus minta dan memohon-mohon pada Pak polisi buat ngluarin Bapak, batinku.
"Ya ditebus," ucapnya.
"Ditebus? Pake duit maksudnya," tanyaku memperjelas.
"Ya iya, pake duit," jawabnya enteng.
Duit dari mana batinku, buat makan saja kami masih susah apalagi bayar sekolah dan kini duit hanya buat nebus orang yang bersalah keluar dari penjara, batinku kesal.
"Gak Pak Lek," sergahku cepat-cepat. "Bapak yang salah, biar beliau yang tanggung akibatnya," sambungku.
"Karepmu, seng penting aku wes ngandani!" ucapnya kemudian berlalu pergi.
Para tetangga selang waktu pergi meninggalkan rumahku ini, aku dan Ibuku sama-sama dalam diam, sementara adikku yang belum tahu apa-apa kini sudah tenang dan diam, bermain dengan mainannya.
Entah apa yang dipikirkan oleh Ibuku kali ini, kini fokus Ibuku beralih padaku, sejenak menatapku kemudian berujar, "Kamu makan dulu, kamu belum makan siangkan, Ibu ambilkan." Ibu pun beranjak menuju ke arah dapur.
"Ibu selalu begitu," gumamku. Tak pernah Ibuku menceritakan pemasalahan yang dihadapi maupun menampakkan wajah sedih di hadapanku, semua tertutup dengan sempurna menurutku. Atau mungkin sebelumnya memang pernah begini, tapi aku tidak peka dengan keadaan. Atau aku yang belum memahami permasalahan orang dewasa.
Kini Ibu berjalan ke arahku, ditangannya membawa sepiring nasi yang bercampur dengan sayur bening, kemudian mengulurkannya padaku. Jangan tanyakan rasa makanan yang aku makan rasanya bagaimana, asal perut kenyang rasanya bagiku tak masalah.
"Setelah makan segera ganti baju," perintah Ibuku, aku sendiri sampai tak sadar bahwa hingga kini masih mengenakan seragam sekolah.
Begitu menyelesaikan makan siangku, Ibuku kini berpamitan kembali mengerjakan pekerjaannya yakni sebagai buruh cuci dirumah tetangga. Dan tugasku kini bergantian mengawasi adikku.
Aku menatap ke arahnya, mengamati tubuh kecil itu. Kalau di perhatikan fisiknya normal seperti anak lain tapi tetap ada perbedaan yang mencolok. Sorot mata yang tak mampu fokus menatap objek dihadapannya, hanya sekilas kemudian setelahnya dia kurang merespon objek didepannya. Berbicara pun dengan kalimat singkat dan kurang begitu jelas.
Awalnya gejala itu baru kami ketahui setelah ibuku membawanya ke puskesmas terdekat, dan dokter mendiagnosis adikku terkena autisme atau autism spectrum disorder (ASD)yaitu gangguan perkembangan pada anak yang menyebabkan kemampuan komunikasi dan sosialnya terganggu.
Dokter menyarankan agar kami membawanya rutin terapi, dan lagi sebab terkendala biaya akhirnya hal itu tak bisa kami lakukan.
"Zahra," panggilku padanya yang masih asyik bermain, dan kini dia tak menoleh padaku sedikitpun.
Aku menghela nafas, memang Bu Bidan pernah mengatakan menghadapi seorang anak yang berkebutuhan khusus butuh ekstra kesabaran. Musti bicara dengan kalimat singkat dan jelas. Atau berbicara secara perlahan dengan jeda di antara kata.
"Zahra," panggilku kini mendekat ke arahnya. Dan terbukti kini dia menoleh ke arahku.
"Mainnya sudah, kita mandi," ucapku dengan jeda dan perlahan.
"Mandi," ucapnya dan aku balas dengan mengangguk. "Sebelum mandi kita rapikan dulu mainannya," ucapku sambil mempraktekkan cara merapikan mainannya, memasukan satu persatu ke dalam kardus dan tentu saja Zahra turut andil melakukannya.
Sore kini berganti malam. Usai menyantap makan malam, kini aku kembali membuka buku-buku pelajaranku. Mengulang kembali, membaca juga latihan mengerjakan tugas-tugas. Sesekali aku menghafalkan beberapa rumus pelajaran.
Fokus belajarku kini teralihkan sebab dari arah pintu depan terdengar ketukan pintu. Kulirik Ibu dan adikku sudah berada di dalam kamar, dan pastinya Ibuku kini tengah menidurkan adikku. Aku pun segera beranjak guna membukakan pintu, dan begitu terkejutnya aku. Sosok Bapak kini berada di ambang pintu. Belum aku bertanya beliau kini masuk melewati sisi tubuhku yang tengah berdiri.
"Bukankah Bapak berada di sel penjara?" gumamku.
Tak lama terdengar suara Ibu, nyatanya beliau juga sama terkejutnya denganku. Terdengar sedikit suara ribut-ribut dari dalam kamar, dan tak lama Bapakku keluar rumah begitu saja, tanpa bicara sepatah kata padaku. Tapi kulihat ada yang berbeda sebab di tangannya membawa sebuah map yang kalau bisa ku tebak berisi surat-surat.
Perasaanku yang mulai tak enak pun kini segera menuju ke kamar Ibu. Kutemukan Ibu sedang menangis disana, sementara di sekitaran ruangan tampak berantakan. Zahra, dia masih terlelap, bila saja dia terbangun mungkin suasana di kamar bertambah kacau, sebab dipastikan dia akan ikut-ikutan menangis.
"Ibu kenapa?" tanyaku mendekat ke arah Ibu, aku benar-benar dilanda khawatir saat ini. Muncul rasa takut, sebab aku tak pernah mendapati Ibu menangis seperti ini.
"Ibuk, jangan membuatku takut," ucapku setelahnya.
Kini Ibu menatapku sendu, dan mulai membuka suara, "Bapak kamu pergi tadi bawa surat tanah."
"Buat apa?" cicitku yang sama sekali tak ku mengerti.
'Apa jangan-jangan—?' pikirku mulai mengada-ngada. Jalan pikiran apa yang sebenarnya Bapak pikirkan, seolah bila di pikir-pikir beliau hidup seolah tanpa beban hanya mencari kesenangan, sedang istri dan anak-anaknya tak dipedulikan.
To be Continue
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
leny puspita
Ya Allah laki² yg g punya akhlak 😐
2021-12-24
1
Nazla K. R
untung aku gk punya kluarga tukang judi
2021-12-02
1
Rina
kjadian dskitar kta, kdang sedih ngliatnya. 😥
2021-11-14
0