Aku menimang-nimang untuk mengambil sebuah keputusan. Beli ponsel baru atau kuberikan pada Ibuku dan pilihan terakhir adalah menabungkan sebagian uang yang aku miliki untuk keperluan nanti.
Aku mendesah. Tak punya uang bingung punya uang pun makin bingung, batinku.
Uang yang berada ditanganku cukup lumayan dan belum pernah aku gunakan sedikitpun, ini adalah hasil murni selama aku magang di hotel Kartika.
Aku kini menengok ke arah ponsel bututku yang statusnya hidup segan mati pun tak mau, sebab ya gitu banyak matinya dari pada hidupnya. Apalagi saat Sarah mengatakan akan mengirim fotoku dengan Pak Akram, setelah kulihat ponselku ternyata dalam keadaan mati.
Aku geleng kepala lalu memegangi keningku yang terasa pening. Andai saja aku terlahir dari orang berada pasti segala keinginan dan kebutuhan sudah jelas akan terpenuhi. Akupun kini makin menghela nafas panjang yang sarat akan lelah.
"Sudahlah," gumamku kemudian memasukkan uangku kedalam kotak pribadiku dan menyimpannya kembali ke dalam almari.
Hari ini aku libur dan waktu magangku tinggal satu minggu lagi, rasanya waktu begitu cepat berlalu. Aku lalu mengeluarkan lembaran-lembaran kertas untuk mengisinya sesuai jadwal jurnal dan kegiatan selama magang dan rencana sore nanti akan aku bawa ketempat percetakan agar bisa dijadikan dalam bentuk buku proposal, untuk kekurangannya nanti tinggal tambah menuliskan agenda kegiatan satu minggu kedepan.
Selama sibuk menulis adikku masih terlelap dalam tidurnya sementara Ibu berada diluar untuk bekerja. Waktu kini sudah menunjukkan pukul tiga sore, cukup lama aku bergelut dengan tulisanku tapi pada akhirnya selesai juga. Bersamaan dengan itu adikku Zahra kini mulai terbangun.
"Zahra sudah bangun?" tanyaku yang menoleh ke arahnya sambil tanganku sibuk merapikan dan memasukan tugasku kembali dalam tas.
Sambil mengucek matanya kini dia mengangguk dalam posisi duduk. "Ibuk?" panggilnya.
"Ibuk masih ditempat kerja," sahutku. Ya meski Zahra terkena sindrom autisme dia masih bisa diajak berkomunikasi. Dia bisa bicara meski suara yang dikeluarkan terdengar sedikit kidal atau tak begitu jelas.
"Bangun ya, sini ke kamar mandi dulu," kataku seraya mendekat dan menggendongnya ke kamar mandi.
Begitu sudah bersih dan membasuh wajahnya, aku kembali membawanya ke kamar kos untuk menemaninya bermain, tepatnya diteras.
Aku memandangi wajah Zahra, ada perbedaan menonjol bila dibandingkan dengan anak normal, contohnya dari wajahnya sudah terlihat. Dengan kondisinya yang demikian berbeda dia kesulitan untuk mencari teman, ada namun tak semua tulus berteman padanya bahkan tak luput Zahra mendapat bully an dari yang lainnya.
Bila mengingat itu rasanya aku ingin mengamuki anak-anak atau orang yang membully adikku. Kami jelas tak terima, siapa sih yang ingin saudara atau anak yang terlahir berbeda. Jelas semua tak ingin, tapi balik lagi manusia yang terlahir di bumi ini sudah memiliki garis hidup masing-masing.
Aku kini menoleh ke arah suara motor yang masuk di pekarangan kos, kalau diperhatikan aku mengenal motor itu yakni milik Sarah dan juga Sandy. Dan benar saja mereka kini berhenti tepat di depan teras tempat aku duduk.
"Ngapain kalian kesini?" tanyaku bangkit dari dudukku saat mereka berdua menstandarkan motornya.
"Sarah pengen tahu rumahmu," sahut Sandy yang kini melepas helmnya dan turun dari atas motor.
"Lah kug aku yang jadi alasan?" kata Sarah berkilah. "Bukannya kamu yang mau ajak jalan Ayu?" sambung Sarah membuat alisku berkerut menatap dua orang di hadapanku secara bergantian.
Terlihat Sandy menggaruk tengkuknya, lalu menatap ke arah Zahra yang masih sibuk bermain. "Adikmu?" tanyanya.
"Ya elah malah mengalihkan pembicaraan," celetuk Sarah seraya menipiskan bibirnya.
Aku tersenyum kaku sebab tak tahu arah pembicaraan mereka tapi tadi mereka mengatakan mau mengajakku pergi jalan. "Iya adiku namanya Zahra. Memang mau ngajak kemana?" tanyaku pada mereka.
"Tau tuh, katanya mau lihat kirab budaya," sahut Sarah lalu beranjak naik ke teras dan menyapa adikku Zahra.
"Sore begini apa ada?" tanyaku heran.
"Ada, tadi aku lihat di postingan IG-nya Risty," kata Sandy sambil menunjukkan layar ponselnya ke arahku.
Akupun mengangguk dan berkata, "Memang jam berapa acara dimulai?"
"Jam empat," sahut Sandy.
"Lah udah dimulai dong, ini sudah jam empat lebih seperempat," ucapku melirik jam tanganku.
"Makanya ayok kesana sekarang," sahut Sarah.
"Adikku gak ada yang jaga," sahutku menatap Zahra.
"Ajak aja deh," sahut Sandy cepat.
"Tapi—," kataku terjeda, ragu.
"Kenapa memangnya?" tanya Sandy.
"Ntar kalau rewel gimana coba, masak kesana bawa bocah," kataku mendesah.
"Memang Ibu kamu balik jam berapa?" tanya Sarah menatapku sekilas kemudian balik melanjutkan bermain dengan Zahra.
"Sekitar jam lima, biasanya kalau aku gak libur adikku dibawa Ibuku ke tempat kerja," jelasku.
"Ya udahlah ajak aja sekalian, kitakan keluar paling sejam doang," sahut Sarah.
"Yakin nih?" sahutku meyakinkan mereka.
"Iya, Cepetan ganti baju dan siapin apa yang harus dibawa," ucap Sarah.
"Tapi ntar kalian yang tanggung jawab loh kalau Zahra rewel!" sahutku sebelum masuk kamar.
"Iya cepetan bawel," sahut Sarah kesal.
Akupun kini masuk kamar dan siap-siap, begitu pula aku mengganti pakaian yang dipakai oleh Zahra juga memakaikanya jaket. Usai segala persiapan siap, aku mengunci pintu dan berpamitan pada penghuni kos sebelah agar bila Ibuku pulang tak kebingungan mencariku.
Motor kini melaju ke tempat Karnaval yang terletak dijalan utama kota Solo. Acara cukup meriah dengan berbagai macam pertunjukan kostum ala tradisional digabung dengan konsep modern yang tentunya unik dan punya ciri khas tersendiri.
Zahra nyatanya amat senang dengan hiburan ini, dia fokus mengamati satu persatu kesenian yang dipertunjukkan bahkan dia hari ini tak rewel sedikitpun.
Dan yang membuatku senang adalah aku memiliki teman yang begitu baik. Mereka tidak memandang dari status sosial apalagi dengan kondisiku yang amat kekurangan yang jauh dari mereka. Belum lagi Zahra, kini teman-temanku bergantian menggendongnya serta mengajaknya ikut bersenang-senang dan berbaur dengan euforia kemeriahan acara kirab budaya ini.
Disini bahkan aku juga bertemu dengan kawan-kawanku yang lain termasuk Risty dan Putri yang hampir tiga bulan lamanya ini tidak bertemu, hingga petang menjelang acara kirab usai sudah dan akupun kini diantar oleh Sandy untuk pulang kerumah.
"Terimakasih Sandy sudah mengajak aku dan juga Zahra pergi serta mengantarku sampai rumah. Sekali lagi makasih ya," kataku usai turun dari motornya seraya menggendong Zahra.
Sandy tersenyum simpul dan saat aku berpamitan hendak berbalik badan dia memanggilku. "Ayu..."
"Ya?" sahutku berbalik menatapnya.
"Mmm itu—Kenapa pesan Wa-ku gak kamu balas? Apa isi pesanku mengganggumu?" tanyanya terdengar sedikit ragu.
Aku meringis. "Bukan begitu, hanya aku belum sempat membalasnya karena ponsel beberapa hari terakhir sering mati," jelasku.
"Jadi kamu tidak marah?" tanyanya seraya mengusap tengkuk.
"Marah kenapa?" tanyaku tak paham.
"Gak jadi deh, kayaknya kamu memang gak marah. Ya sudah sana masuk," ucapnya membuatku makin bingung dan kini Sandy menggerakkan bahuku untuk memutar tubuhku agar berbalik badan.
"Udah sana pulang, dan sampai jumpa Zahra," katanya kemudian aku melanjutkan langkahku menuju letak kamar kosku, dan saat aku berbalik badan Sandy berada diatas motornya sambil melambaikan tangan.
To be Continue
Jangan lupa Jempol juga komentarnya agar aku makin semangat updatenya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 149 Episodes
Comments
Sri Astuti
Sandy suka sama Ayu
2021-10-05
1
Nur Rifqi
sama yu aqu pun sma gak punya uang bingung pengen beli apa gak bisa punya uang pun bingung mau beli yang mna dulu yang ada malah habis gak kerasa
2021-09-29
2
Kanjeng Netizzen
Makin kesini makin bagus ceritanya ringan dan kisah kehidupan nyata gak terlalu lebay
2021-08-13
0