NovelToon NovelToon

Senandung Impian

Episode 1

Ayu Andhini itulah namaku. Aku kelahiran Solo, keturunan pribumi dengan ciri hidung berukuran minimalis, kulitku tak seputih para model iklan di televisi namun terkesan berwarna eksotis, khas gadis jawa.

Penampilanku sungguh terkesan biasa, sebab untuk tampil luar biasa sungguh pasti butuh dana, sedangkan aku saja terlahir dari keluarga sederhana.

Usiaku kini menginjak remaja, masa puber yang sedang ingin tahu segalanya, termasuk ingin mengenal apa itu arti cinta.

***

Lamunanku kini sedikit buyar, tadinya aku sedang mengamati aktivitas segerombolan team yang sedang memainkan bola basket di halaman sekolah.

Selebaran kertas kini bergoyang didepan mukaku, setelah kulirik ternyata ulah Risty temanku. Aku tarik kertas itu dan tanpa membacanya aku sudah tahu.

Aku mendegus kemudian melipat kertas di tanganku dan aku masukan ke dalam saku.

"Paling telat besok," ucap Risty yang kini mengambil duduk disampingku.

"Thanks ya, aku kembali merepotkanmu," ucapku pada Risty.

"Santai aja kali," balasnya.

Kertas itu adalah selebaran yang wajib diisi oleh tetua atau Bapak RT maupun RW yang berada ditempat tinggal siswa. Aku sengaja meminta kertas itu dengan tujuan agar minggu depan aku bisa mengikuti ujian kenaikan kelas.

Terpaksa, karena orangtuaku belum mampu untuk membayar biaya sekolahku yang masih menunggak. Untungnya, sekolahanku memberi keringanan bagi siswa untuk mengikuti ujian meski belum menyelesaikan administrasi pembayaran dan syaratnya harus mengisi dan meminta legalisir dari tetua setempat.

Setelah didapat, petugas tata usaha akan memberi kartu ujian siswa dan yang membedakan adalah kartu milikku nanti akan mendapat stempel berwarna merah, yang bertuliskan kata "Sementara."

Malu, ya malu karena keadaanku yang berbeda dari temanku.

"Hai, ngalamun!" tegur Risty menepuk bahuku.

"Kapan ya aku kaya?" ucapku mendesah sambil menatap langit yang sedikit terik.

Risty terkekeh, "Kaya apa?"

"Kaya monyet," celetuk Putri yang kini datang membawa dua es teh yang ditaruh pada katung plastik.

Dengan mulut mencibir aku menerima uluran es teh plastikan tersebut kemudian menyeruputnya. "Banyak duitlah," ucapku usai menegak air es, sedikit mengobati rasa haus di kerongkonganku.

Putri menertawakanku. "Pengen banyak duit?" ucapnya seolah hendak memberi solusi, akupun mengangguk menanggapinya. Dia pun kini berujar setengah berbisik, "Sini aku kasih tahu," perintahnya hingga aku menuruti ucapannya.

"Pelihara tuyul," ucapnya lirih ditelingaku.

"Sialan," umpatku sedikit kesal kepadanya. Aku sedang serius dia justru menganggapnya sebagai sebuah candaan. Aku pun terdiam tak mau lagi menanggapinya.

Inilah salah satu uniknya negri ini, derita orang di ketawain.

Putri kini tertawa terbahak seakan puas sebab aku terlihat kesal, kalah atas ucapannya. Tapi tak lama tawanya terhenti dan kini menyenggol lengan Risty, seolah memberi isyarat menanyakan apa yang tengah terjadi padaku.

Dari ekor mataku terlihat Risty tengah membisikkan sesuatu kepada Putri, dan aku tahu jelas itu menyangkut masalah yang tengah aku hadapi.

Otakku memang selalu dipusingkan bila mendekati semesteran maupun ujian, biaya menjadi kendala besar bagiku. Padahal kalau dipikir aku baru menginjak tingkat satu SMK, masih panjang waktu yang akan kutempuh. Tapi yang beginilah, mau dibilang apa sudah menjadi nasibku.

"Maaf," ucap Putri setelahnya. "Aku ada sedikit tabungan, bila kamu mau kamu bisa memakainya terlebih dahulu," ucap Putri tulus padaku.

"Tidak," aku cepat-cepat menolaknya. Aku butuh tapi aku tak mungkin memakainya, sebab aku nanti akan bingung untuk mengembalikannya. Dan lagi, Putri sebenarnya bukan asli orang sini, dia hanya ikut tinggal bersama dengan Paman juga Bibi-nya disini. Kebetulan Pamannya bekerja sebagai salah satu penjaga sekolah ini.

"Kenapa, kamu tak perlu sungkan," ucapnya padaku.

"Aku akan menolak jika kamu menawariku uang. Tapi —," ucapku terjeda sejenak. "Beda lagi kalau kamu menawariku pekerjaan, maksudku kalau ada informasi tentang lowongan pekerjaan, aku akan menerimanya," sambungku seraya berharap.

Putri sejenak berfikir, kemudian mendudukkan diri tepatnya disampingku sambil merangkul bahuku. "Kamu yakin, sekolah dan bekerja itu berat Ayu, apalagi kita sebagai pelajar wajib untuk belajar, waktumu akan semakin tersita bila dipakai untuk bekerja," ucapnya memberi pengertian padaku.

"Tapi aku butuh uang," jawabku kekeh dengan tekadku.

"Bagaimana kalau peringkatmu nantinya menurun?" tanyanya lagi.

Aku menegakkan kepalaku yang tadinya menunduk. "Aku akan berusaha mempertahankannya, tapi— bila itu gak bisa— aku akan menerima resikonya," jawabku meyakinkan diri tak apa bila peringkat menurun, asal aku bisa sedikit meringankan biaya yang harus orangtuaku tanggung.

"Kalau begitu sepulang sekolah kamu ikut aku, kemarin diseberang minimarket aku lihat ada lowongan kerja, barangkali saja mau menerima pekerjaan partime," ucap Putri padaku dan akupun mengiyakan.

Usai pulang sekolah aku dan kedua temanku langsung menuju kesana, tepatnya toko Mahkota yang menjual berbagai macam sandal juga sepatu. Dilihat dari barang yang dijual adalah produk ekonomis dengan harga yang merakyat.

Dengan harap cemas aku mulai menanyakan untuk bertemu owner toko ini, dan beruntung pemiliknya sedang berada ditempat jadi aku langsung menyampaikan tujuanku kemari.

Pemilik toko ini menyambutku dengan baik, aku diberi kesempatan untuk menjadi salah satu karyawannya, meski jam kerja yang aku ikuti saat pulang kerja serta hari libur sekolah aku wajib masuk kerja. Lusa aku baru diijinkan masuk, untuk syarat lainnya boleh menyusul.

Aku pulang dengan hati yang riang gembira, ku kayuh sepedaku hingga sampai rumah. Rumah dimana tempatku singgah juga berteduh dari terik juga air hujan, meski tak megah tapi cukup nyaman ditempati.

Kepulanganku disambut oleh senyum mengembang yang terpancar dari bibir mungil adikku, Zahra. Usianya kini baru menginjak usia dua tahun, sempat dulu aku berfikir kenapa sudah besar aku memiliki adik.

Awalnya malu saat tahu ibuku mengandung, tapi setelah adikku lahir, seakan suasana menjadi lebih berbeda. Senyum dan tingkahnya mengisi keceriaan didalam rumah, namun baru aku ketahui belakangan ini bahwa adikku terlahir istimewa.

"Assalamualaikum..." ucapku saat memasuki rumah, juga mendekat kearah adikku yang terduduk di lantai.

"Salam alaikum.." balas adikku dengan suara khasnya. Akupun menghampirinya kemudian kukecup kedua pipinya.

Terlihat Ibuku, yang bernama Intan kini keluar dari arah dapur terlihat di tangannya membawa satu botol dot berisi susu, dan sudah dipastikan apa yang Ibuku bawa diulur pada adikku.

"Ganti baju, lalu makan siang," perintah Ibuku usai aku menyambut uluran tangannya untuk cium tangan.

Akupun menurut dan segera memasuki kamar, dinding dengan cat memudar atap genteng juga tumpukan baju dan buku-buku pelajaran sekolahku mengisi lari kayu tanpa pintu, tak ada yang istimewa diruanganku ini sebenarnya namun aku pikir kata nyaman dan aman adalah yang utama.

Kuletakkan tas ranselku kemudian kurebahkan tubuhku sejenak di kasur usangku. Menatap atap dan kuhitung genteng satu persatu, sambil pikiranku menerka-nerka "Hari esok, esok dan esoknya apa nasibku akan selalu sama?"

To Be Continue

Episode 2

Ketenanganku kini mulai terusik, baru saja mataku terpejam tapi kini terdengar suara ribut-ribut dari arah luar. Bergegas aku bangun untuk melihat ada kejadian luar biasa apa, sebab tak biasanya dirumahku ada ribut-ribut seperti ini.

Sedikit terkejut, sebab kini di hadapan Ibuku yang sambil membawa Zahra dalam gendongannya berhadapan dengan bapak-bapak polisi, ditambah dengan para tetangga yang datang mengerubungi.

Jantungku kini memacu lebih cepat, kabar buruk apa atau kesalahan apa hingga Bapak polisi datang kemari. Dengan langkah pelan aku mendekat ke arah Ibuku yang terlihat sudah menangis, wajahnya tampak sembab. Aku pun segera meraih Zahra yang juga ikutan menangis, kubawa dia dalam gendonganku sambil menyimak kaka-kata dari bapak polisi.

Setelah aku mendengar dengan seksama, Bapak polisi menjelaskan bahwa Bapakku kini tengah berada dipenjara. Kesalahan yang beliau buat adalah tertangkap tengah melakukan perjudian.

Aku menoleh menatap ke arah wajah Ibuku, terlihat kacau disana. Sedih sudah jelas pasti. Tapi aku, rasanya ingin sekali murka. Sudah jelas orang susah tapi masih saja banyak tingkah.

Kini Bapak polisi sudah mulai berpamitan, tapi aku tetap bungkam. Sementara para tetangga datang tapi mengatakan bagaimana bisa terjadi, dan mana kami tahu. Kalau mau tahu tanyakan saja pada si pelaku yang mungkin sudah mendekam di balik sel penjara, batinku yang sudah kesal.

"Sudahlah Buk, gak usah dipikirkan. Kalau Bapak nyatanya memang berbuat demikian, ya biar beliau saja yang menanggung akibatnya," ucapku pada Ibuku.

Sementara tetangga yang masih berada dirumah kini justru menghakimiku, "Ayu kamu ini," ucapnya terdengar menghardikku. "Bapakmu masuk penjara tapi malah gak kamu pedulikan, gak ada rasa simpatik. Usaha gimana caranya Bapakmu bisa keluar dari sana," ucapnya padaku.

"Usaha gimana Pak Lek?" tanyaku padanya gak tau usaha apa, apa harus minta dan memohon-mohon pada Pak polisi buat ngluarin Bapak, batinku.

"Ya ditebus," ucapnya.

"Ditebus? Pake duit maksudnya," tanyaku memperjelas.

"Ya iya, pake duit," jawabnya enteng.

Duit dari mana batinku, buat makan saja kami masih susah apalagi bayar sekolah dan kini duit hanya buat nebus orang yang bersalah keluar dari penjara, batinku kesal.

"Gak Pak Lek," sergahku cepat-cepat. "Bapak yang salah, biar beliau yang tanggung akibatnya," sambungku.

"Karepmu, seng penting aku wes ngandani!" ucapnya kemudian berlalu pergi.

Para tetangga selang waktu pergi meninggalkan rumahku ini, aku dan Ibuku sama-sama dalam diam, sementara adikku yang belum tahu apa-apa kini sudah tenang dan diam, bermain dengan mainannya.

Entah apa yang dipikirkan oleh Ibuku kali ini, kini fokus Ibuku beralih padaku, sejenak menatapku kemudian berujar, "Kamu makan dulu, kamu belum makan siangkan, Ibu ambilkan." Ibu pun beranjak menuju ke arah dapur.

"Ibu selalu begitu," gumamku. Tak pernah Ibuku menceritakan pemasalahan yang dihadapi maupun menampakkan wajah sedih di hadapanku, semua tertutup dengan sempurna menurutku. Atau mungkin sebelumnya memang pernah begini, tapi aku tidak peka dengan keadaan. Atau aku yang belum memahami permasalahan orang dewasa.

Kini Ibu berjalan ke arahku, ditangannya membawa sepiring nasi yang bercampur dengan sayur bening, kemudian mengulurkannya padaku. Jangan tanyakan rasa makanan yang aku makan rasanya bagaimana, asal perut kenyang rasanya bagiku tak masalah.

"Setelah makan segera ganti baju," perintah Ibuku, aku sendiri sampai tak sadar bahwa hingga kini masih mengenakan seragam sekolah.

Begitu menyelesaikan makan siangku, Ibuku kini berpamitan kembali mengerjakan pekerjaannya yakni sebagai buruh cuci dirumah tetangga. Dan tugasku kini bergantian mengawasi adikku.

Aku menatap ke arahnya, mengamati tubuh kecil itu. Kalau di perhatikan fisiknya normal seperti anak lain tapi tetap ada perbedaan yang mencolok. Sorot mata yang tak mampu fokus menatap objek dihadapannya, hanya sekilas kemudian setelahnya dia kurang merespon objek didepannya. Berbicara pun dengan kalimat singkat dan kurang begitu jelas.

Awalnya gejala itu baru kami ketahui setelah ibuku membawanya ke puskesmas terdekat, dan dokter mendiagnosis adikku terkena autisme atau autism spectrum disorder (ASD)yaitu gangguan perkembangan pada anak yang menyebabkan kemampuan komunikasi dan sosialnya terganggu.

Dokter menyarankan agar kami membawanya rutin terapi, dan lagi sebab terkendala biaya akhirnya hal itu tak bisa kami lakukan.

"Zahra," panggilku padanya yang masih asyik bermain, dan kini dia tak menoleh padaku sedikitpun.

Aku menghela nafas, memang Bu Bidan pernah mengatakan menghadapi seorang anak yang berkebutuhan khusus butuh ekstra kesabaran. Musti bicara dengan kalimat singkat dan jelas. Atau berbicara secara perlahan dengan jeda di antara kata.

"Zahra," panggilku kini mendekat ke arahnya. Dan terbukti kini dia menoleh ke arahku.

"Mainnya sudah, kita mandi," ucapku dengan jeda dan perlahan.

"Mandi," ucapnya dan aku balas dengan mengangguk. "Sebelum mandi kita rapikan dulu mainannya," ucapku sambil mempraktekkan cara merapikan mainannya, memasukan satu persatu ke dalam kardus dan tentu saja Zahra turut andil melakukannya.

Sore kini berganti malam. Usai menyantap makan malam, kini aku kembali membuka buku-buku pelajaranku. Mengulang kembali, membaca juga latihan mengerjakan tugas-tugas. Sesekali aku menghafalkan beberapa rumus pelajaran.

Fokus belajarku kini teralihkan sebab dari arah pintu depan terdengar ketukan pintu. Kulirik Ibu dan adikku sudah berada di dalam kamar, dan pastinya Ibuku kini tengah menidurkan adikku. Aku pun segera beranjak guna membukakan pintu, dan begitu terkejutnya aku. Sosok Bapak kini berada di ambang pintu. Belum aku bertanya beliau kini masuk melewati sisi tubuhku yang tengah berdiri.

"Bukankah Bapak berada di sel penjara?" gumamku.

Tak lama terdengar suara Ibu, nyatanya beliau juga sama terkejutnya denganku. Terdengar sedikit suara ribut-ribut dari dalam kamar, dan tak lama Bapakku keluar rumah begitu saja, tanpa bicara sepatah kata padaku. Tapi kulihat ada yang berbeda sebab di tangannya membawa sebuah map yang kalau bisa ku tebak berisi surat-surat.

Perasaanku yang mulai tak enak pun kini segera menuju ke kamar Ibu. Kutemukan Ibu sedang menangis disana, sementara di sekitaran ruangan tampak berantakan. Zahra, dia masih terlelap, bila saja dia terbangun mungkin suasana di kamar bertambah kacau, sebab dipastikan dia akan ikut-ikutan menangis.

"Ibu kenapa?" tanyaku mendekat ke arah Ibu, aku benar-benar dilanda khawatir saat ini. Muncul rasa takut, sebab aku tak pernah mendapati Ibu menangis seperti ini.

"Ibuk, jangan membuatku takut," ucapku setelahnya.

Kini Ibu menatapku sendu, dan mulai membuka suara, "Bapak kamu pergi tadi bawa surat tanah."

"Buat apa?" cicitku yang sama sekali tak ku mengerti.

'Apa jangan-jangan—?' pikirku mulai mengada-ngada. Jalan pikiran apa yang sebenarnya Bapak pikirkan, seolah bila di pikir-pikir beliau hidup seolah tanpa beban hanya mencari kesenangan, sedang istri dan anak-anaknya tak dipedulikan.

To be Continue

Episode 3

Aku telah mendapatkan kartu keikutsertaan untuk mengikuti ujian kenaikan kelas. Jadi untuk beberapa hari kedepan dan sementara waktu aku tak dipusingkan oleh biaya, melainkan fokus belajar untuk menghadapi ujian itu sendiri.

Bersamaan dengan itu ada tugas lain yang akan aku mulai, yakni bekerja paruh waktu. Dimulai ketika pulang sekolah dan akan berakhir pada pukul delapan malam. Berbeda halnya dengan weekend, aku akan seharian penuh berada disana.

Hari pertama bekerja, ini merupakan pengalaman pertamaku dalam menghadapi bermacam-macam karakter orang. Sebagai mana pembeli adalah raja, kini aku disibukkan dengan pilihan mereka. Mau tak mau karena ini bagian tugasku, berulang kali aku membantu mengambil apa yang mereka tunjuk. Kemudian mereka mulai mencoba satu per satu produk yang dijual di toko ini. Mencarikan ukuran yang pas, warna yang cocok belum lagi jika selera mereka tak cocok.

Rasanya aku hanya bisa mengelus dada, meski dalam hati aku menggerutu akibat permintaan mereka yang membuatku geleng kepala.

"Mbak tolong ambilkan itu," ucap seorang ibu paruh baya yang kini tengah memanggilku. Hari ini toko lumayan ramai, sedang beberapa karyawan juga sedang sibuk melayani yang lain. Aku sendiri kini sebenarnya juga sedang membantu pembeli lain, tapi mau tak mau karena panggilan ibu paruh baya itu, aku mempermisikan diriku menghampiri pelanggan yang kini memanggilku.

"Ibu, ada yang bisa di bantu," sapaku berusaha seramah mungkin.

"Tolong ambilkan itu," tunjuknya ke arah sepatu yang berada di posisi paling tinggi.

Aku mendongak dengan mataku sedikit terbelalak, rasa lelah yang kini mendera mengharuskan aku untuk naik ke atas, rasanya gak mungkin. "Ibu, kalau boleh saya sarankan disana ada model sepatu yang lebih bagus," ucapku mencoba mengalihkan, barangkali Ibu ini mau mengganti apa yang dia mau.

Namun tak dinyana justru Ibu paruh baya ini kini menyemburku dengan kata-kata sarkasnya. "Dimana atasanmu, saya ingin bertemu. Karyawan malas begini masih dipelihara," ucapnya dengan mata memincing ke arahku.

Sontak pelanggan yang lain kini memperhatikan ke arahku berdiri. Aku pun mencoba berusaha untuk memperbaiki situasi. "Kalau begitu saya akan ambilkan," ucapku dan berlalu mengambil kursi khusus yang di pergunakan untuk naik turun mengambil barang yang letaknya berada diatas.

Dengan tubuh yang sedikit bergetar aku menaiki satu persatu pijakan kursi tinggi itu. Satu tanganku berusaha meraihnya sementara satu tanganku meremas berpegang pada rak.

Sepatu itu pun aku serahkan kepada ibu-ibu tersebut, dan tanpa adegan aku maupun sepatu itu terjatuh. Setelah berpindah tangan terlihat ibu itu hanya memperhatikan sepatu dalam genggaman tangannya, berselang dia mengembalikannya padaku.

Aku terheran, dengan satu alis yang ku naikkan kini dia berujar, "Saya gak cocok."

Sedikit melongo dan menguasai situasi aku menerima uluran sepatu itu. Aku berusaha meyakinkan diri bisa mengendalikan diri meski emosiku sedikit memuncak. Mungkin slogan pembeli adalah raja tak akan berlaku, jika rajanya saja seenak jidatnya, batinku menggerutu.

Lima jam kini telah berlalu, usai sudah kerjaku hari ini. Cukup menguras tenaga, emosi maupun jiwa, ditambah perutku yang sedari tadi lapar membuatku kini lemas tak bertenaga. Inikah rasanya bekerja, aku kira seperti yang kulihat di layar televisi mereka memerankan adegan sekolah sambil bekerja enjoy-enjoy saja, tapi bagiku ini terlalu berat.

Aku menghela nafas, setelah toko bersih dan pintu toko tertupup, aku pun kini bergegas pulang ke rumah. Masih ada jarak yang harus aku tempuh dengan sepedaku, dan sudah pasti tenaga aku perlukan untuk mengayuh sepadaku hingga sampai ke tempat tujuan.

"Segera mandi lalu makan," kata ibuku usai aku sampai dirumah. Aku pun mengangguk kemudian berlalu menuju kamar.

Waktu seakan cepat berlalu, kini sudah larut padahal baru saja aku membuka buku pelajaranku. Esok adalah hari dimana aku melaksabakan ujian sekolah, tapi baru membaca beberapa paragraf saja rasa lelah kini semakin mendera. Apalagi mataku rasanya sulit sekali untuk terbuka.

Tak sadar hingga pagi aku terbangun, aku masih terduduk di meja belajar, dengan kepala berbantalkan buku pelajaran. Bergegas aku bangun, sejenak kurasakan tubuhku yang terasa begitu pegal. Mungkin akibat posisi tidurku yang tidak benar.

Tak ingin membuang banyak waktuku, akupun kini beranjak membereskan buku pelajaranku dan merapikan kedalam tas. Beranjak bersiap diri untuk pergi ke sekolah.

"Gak perlu di paksakan pekerjaanmu Ayu, kamu belajar saja yang rajin. Biar Ibu yang berkerja," ucap Ibu sambil menyiapkan sarapan untukku.

"Ayu coba dulu Ibu, lagian kan baru satu hari aku bekerja disana. Siapa tahu kalau sudah dapat seminggu atau dua minggu jadi terbiada," ucapku mencoba meyakinkan Ibu bahwa aku baik-baik saja.

"Kalau ada apa-apa cerita sama Ibu," kata Ibu padaku yang kini sedang menyuapi Zahra.

"Begitu juga Ibu, cerita pada Ayu kalau ada masalah. Ayu sudah dewasa, Ibu jangan selalu menyimpan permasalahan Ibu sendiri, ada aku disini," ucapku dan sejenak Ibu menatapku kemudian mengangguk.

Aku harap begitu, Ibu mau berbagi. Walau aku tak bisa membantu permasalahan orang dewasa yang agaknya rumit tapi seenggaknya aku ada untuk menjadi teman sekaligus mendengarkan keluh kesahnya, batinku.

Aku pun kini mulai berpamitan hendak pergi ke sekolah. Seperti biasa aku berangkat sekolah bersama dengan Risty sahabatku juga jarak rumah kami yang dekat. Perjalanan yang ditempuh dari rumah ke sekolah sekitar tiga puluh menit.

Pukul tujuh kurang seperempat kami tiba di sekolah, kemudian langsung menuju ruang ujian. Bersiap juga kembali membuka buku pelajaran menunggu hingga waktu ujian tiba.

"Gimana hari kerja kamu kemarin?" tanya Putri yang baru saja datang dan kini mengambil duduk disampingku.

"Ya, seperti itu," jawabku yang ambigu kini memancing rasa penasaran Putri dan Risty.

"Bekerja— Ya capek," ucapku lagi sambil meringis.

Justru mereka diam tak menanggapi ringisanku, yang aku lihat dari mereka adalah tatapan simpatik. "Stop, please. Aku gak mau di kasihani," ucapku datar dan kembali menatap ke arah buku pelajaran yang tengah kupegang sambil menghafal kata-kata yang ada disana.

"Aku kan udah mengatakannya, belajar sambil bekerja itukan begitu berat, aku justru khawatir sama kamu," ucap Putri padaku.

Aku mendesah sambil menutup bukuku. "Lagian kan baru dapat satu hari, mungkin kalau aku sudah terbiasa, aku akan menikmatinya. Lagian kan bekerja itu dapat duit," jawabku berupaya tak membuat mereka khawatir memikirkan aku dan lagi menghibur diriku sendiri. Karena memang benar bekerja itu rasanya sungguh capek luar biasa.

Kriiiiiiiiingggggg

Bel sekolah kini sudah mulai berbunyi, itu pertanda jam sekolah telah di mulai. Aku dan teman-temanku yang lain sekarang bersiap duduk di bangku masing-masing sesuai dengan nomor bangku yang terdapat nomor peserta ujian. Tak berapa lama guru datang dan membagikan kertas ujian, kami pun para murid mulai khidmat mengerjakannya.

To be Continue

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!