Dira hanya diam saat duduk di samping Robby, pria itu mengemudi tanpa banyak bicara. Dua anak manusia itu sama-sama diam, hanyut dalam lamunan masing-masing.
"Mas Robby, boleh Dira tanya?" Gadis bermata bulat, dengan rambut panjang sebahu itu pun mendadak ingin tahu akan satu hal yang terus mengusik pikirannya sejak kemarin.
"Apa?" Masih dengan pandangan mata yang lurus ke depan.
"Itu ... ibu saya sekarang bagaiamana?"
"Masalah itu, kamu tanyakan pada Tuan Agam saja."
Masih terlihat jutek, Robby enggan bicara banyak-banyak pada gadis bau kencur tersebut.
Tidak mendapat jawaban sesuai hatinya, Dira memilih diam. Ya sudah, ia tak akan tanya-tanya pada pria yang semula ia kira ramah itu.
Mobil terus melaju, sejak memutuskan tak bertanya lagi pada pria yang sibuk mengemudi itu. Kini mata Dira tertuju para pemandangan di sisi jalan.
Ditatapnya satu persatu, gedung-gedung tinggi yang sering ia lihat di TV.
Belum genap setahun ia tinggal di kota besar ini. Sebelumnya gadis berperawakan mungil itu ikut neneknya di kampung. Begitu lulus SMA, Dira ingin tinggal bersama Ibunya. Menyusul ibu ke kota besar membuat dirinya malah terjebak pernikahan dengan pria bernama Agam itu.
Gadis yang masih lugu itu tak pernah menyangka, selama ini ibunya terjerumus di lembah hitam. Karena yang ia tahu dari sang Ibu. Ibunya bercerita bekerja menjadi kasir sebuah tokoh milik orang kaya yang murah hatinya. Katanya sih dermawan, hingga ibunya tak pernah telat mengiriminya uang untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari di kampung bersama neneknya.
Ternyata, orang yang dibilang murah hatinya itu adalah pria-pria hidung belang di luar sana.
Malu? Tidak! Dira tak pernah malu. Ia malah kasihan pada sang Ibu. Yang harus hidup dalam kepura-puraan selama ini.
Dira bahkan cukup senang, ketika ibunya akan meninggalkan lembah hitam itu. Sayang, orang yang selama ini bertugas menaungi ibu. Tak melepaskan ibu begitu saja. Sang mucikari tak membiarkan ibu lolos dengan mudahnya.
Memikirkan nasib ibunya, tiba-tiba matanya terasa perih.
Dengan cepat Dira mengusap mata dan pipinya. Tidak ingin orang tahu bahwa kini hatinya sedang bersedih.
"Kenapa menangis?"
Meski acuh, Robby sempat melirik gadis tersebut. Lewat ekor matanya yang setajam elang, ia bisa melihat bahwa Dira sedang mengusap pipinya yang basah.
"Debu ... ada debu!" Dira mengelak tuduhan Robby. Padahal ia sudah ketangkap basah sudah menangis.
'Apa yang kamu tangisi? Menjadi istri Tuan Agam bukannya kamu harus bersyukur? Semua bisa kamu miliki!' batin Robby sambil tetap fokus pada jalanan di depannya.
Kini keduanya kembali terdiam, selang benerapa puluh menit kemudian. Akhirnya mobil hitam itu berhenti di sebuah hunian yang membuat Dira terperangah.
Sejak tadi mata gadis belia itu tak berkedip, menatap penuh rasa takjub pada bangunan megah dan wah di depannya.
"Ini rumah apa istana?" ucapnya lirih. Sepelan apapun ia berkata, rupanya kata-kata yang ia ucapkan sudah sampai di telinga Robby.
"Ini rumah Tuan Agam dan istrinya!" ujar Robby sembari mengeluarkan koper dari dalam bagasi.
"Ayo, cepat masuk. Jangan diam saja!" tambah Robby ketika melihat Dira hanya bengong. Gadis itu masih takjub dengan apa yang ia lihat.
"Ini lebih besar dari pada masjid di kampung," gumamnya sambil mengekor di belakang Robby.
Setelah mereka masuk, Robby langsung menuju ruang kerja Agam.
Dira juga masih setia mengikuti dirinya dari belakang.
Tok tok tok
"Tuan ... kami sudah tiba."
"Masuk!"
Dengan gerakan tangan, Robby mengisyaratkan pada gadis itu untuk ikut dengannya ke dalam.
Belum bertemu, jantung Dira sudah mau copot. Sejak tadi dag dig dug tak menentu. Seperti habis lari marathon, begitulah yang kini ia rasa.
"Tinggalkan kami berdua!" titah Agam ketika Dira sudah masuk ruangan. Seketika itu juga, Robby langsung menuju pintu keluar.
Tidak sengaja mata Dira begitu lancang dan berani menatap suami yang baru menikahinya kemarin.
Jantungnya kembali memburu, apalagi mata Agam tadi, menatapnya tajam.
"Ehem." Agam berdehem, sebelum memulai pembicaraan.
"Mulai hari ini, kamu tinggal di sini."
Dira hanya menatap, sampai lupa berkedip. Ia malah terpaku pada sosok tampan nan berwibawa di depannya itu.
"Dira! Kamu dengar saya?"
"Iya, Tuan!" jawab Dira dengan gelagapan.
"Tuan? Berapa kali lagi harus saya ingatkan. Jangan panggil Tuan!" ujarnya dengan marah. Membuat nyali Dira langsung menciut.
Takut campur cemas, Dira hanya bisa memainkan jari-jemarinya. Ia mengigit bibir bawahnya. Dan hal itu tak luput dari sepengetahuan Agam.
'Apa aku terlalu keras? Mengapa dia nampak begitu ketakutan?' batin Agam. Namun, detik berikutnya ia tak peduli. Ia kembali bersikap dingin pada istri siri yang hanya ia harapkan rahimnya itu.
Suasana hening sejenak, kemudian Bibi masuk membawa dua cangkir minuman.
"Bi, bawa Dira ke kamar tamu."
Bibi menatap sekilas gadis muda di depannya. Kemudian mengangguk pelan.
"Mari, Non!"
Sementara itu, setelah Dira pergi. Agam terlihat termenung lagi. Pria itu kemudian menatap pigura pernikahan dirinya dan Agata yang terpasang di dinding ruang pribadinya itu. Matanya menatap lekat-lekat, seolah ingin menyimpan Agata di dalam pelupuk mata.
"Inikah yang kamu inginkan, Sayang?" tanyanya lirih pada gambar tak bernyawa tersebut.
Karena merasa kacau, Agam mengusap wajahnya dengan kasar. Menghela napas panjang, kemudian memutuskan untuk keluar dari ruangan itu.
Dira yang sudah berada di dalam kamar tamu, merasa binggung. Dilihatnya segala penjuru kamar.
Hampir semuanya memiliki permukaan yang mengkilap. Betapa kayanya pria yang menikahinya itu.
Pantas, kemarin begitu mudah uang seratus juta diberikan hanya sebagai DP. Padahal uang itu sangat banyak sekali bagi Dira.
Kriettt
Kaget karena pintu mendadak terbuka, Dira langsung menatap ke arah pintu kamarnya. Sebuah tubuh bidang muncul dari balik pintu.
"Tuu ... Mas Agam?" hampir saja ia salah menyebut lagi.
"Istirahtalah! Persiapkan untuk nanti malam!"
Setelah mengatakan hal itu, Agam langsung ke luar. Menutup pintu dari depan, tak peduli dengan reaksi Dira saat ia tinggalkan.
"Baik! Lakukan secepat mungkin. Buat dia hamil, dan Agata akan cepat kembali pula." Sambil berjalan, Agam bergumam. Berharap istrinya cepat pulang.
Selama ini ia tak bisa jauh-jauh dari wanita kesayangannya itu. Dengan membuat Dira cepat hamil, maka rumah tanganya akan selamat.
Masalah anak akan segera teratasi, hidupnya dan Agata akan kembali bahagia. Sama saat awal mula mereka menikah.
Sementara itu, ketika Agam sudah memutuskan matang-matang akan memproduksi anak malam ini. Kini, Dira di kamar yang luas dan lebar itu nampak dilanda kecemasan luar biasa.
"Ibu ... bagaimana ini?" lirihnya sambil membayangkan wajah ibunya.
Sejak tadi Dira mondar-mandir, terus memainkan jari-jarinya. Berjalan dari ranjang sampai ke kamar mandi, kemudian diulang-ulang berkali-kali.
Hingga waktu terus berjalan, siang yang panas berubah jadi malam yang dingin.
Tok tok tok
Terdengar pintu kamar Dira diketuk seseorang. Belum juga bertemu dengan suaminya, dahi Dira sudah dipenuhi bulir keringat sebesar jagung.
Bersambung
Jangan pernah berikan suamimu pada orang lain, sekali dicoba. Mungkin akan ketagihan. Sekali memberi, kamu akan mulai kehilangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Elizabeth Yanolivia
binggung = bingung
2024-05-27
0
Elizabeth Yanolivia
benerapa = beberapa
2024-05-27
0
Wati_esha
Dira ... kasihan banget sih, serba jantungan. 🤭
2023-07-16
0