Rahim Bayaran #9
oleh Sept September
Siang itu udara terasa panas. Dira sampai harus membuka kedua jendela di kamarnya. Rasanya sangat engap. Tadi sudah sempat menyalakan AC, eh malah seperti masuk angin. Terasa mual-mual dan ingin muntah. Perut Dira seperti diaduk-aduk rasanya. Rupanya angin alami lebih bersahabat bagi tubuh gadis kampung seperti Dira.
"Non, Non Dira!" panggil Bibi si asisten rumah tangga.
"Ada apa, Bi?" tanya Dira sambil membuka pintu. Dilihatnya si Bibi yang sudah berdiri tegak di depan kamar.
"Waktunya makan siang."
"Tapi Dira ngak lapar, Bi."
"Jangan gitu, Non. Nanti Bibi dimarahi Tuan Agam."
"Kenapa dimarahi?" Dahi Dira mengkerut, seolah nampak berpikir, kenapa si Bibi akan dimarahi oleh Tuan pemarah itu?
"Non Dira tidak boleh telat makan, Non Dira harus kuat dan sehat. Agar bisa melahirkan anak yang sehat pula."
Gadis dengan mata bulat cantik itu langsung memutar manik matanya dengan sempurna.
"Memangnya Mas agam bilang apa lagi, Bik?" Dira mulai kepo, rasa ingin tahunya mulai muncul mengenai sosok pria yang menikahinya beberapa waktu lalu. Tidak tahu kenapa, ia hanya merasa makin penasaran dengan seluk beluk mengenai Agam. Bibi pun lantas mengeleng pelan.
"Sudah Non, ngak bilang apa-apa lagi."
"Oh!" mulut Dira membulat membentuk huruf O kecil.
Pada akhirnya Dira pun makan, hanya seorang diri di meja nan panjang dan lebar itu. Untuk apa meja sebesar ini? Bila penghuni rumah hanya segelintir, pikir Dira sambil terus melahap makanan yang sudah disiapkan di meja.
Sama seperti kemarin, Dira hendak membawa semua makanan itu ke dapur. Ia akan membereskan makanannya sendiri. Sudah biasa melayani bukannya dilayani, lama-lama Dira tak nyaman.
Hanya makan dan tidur bukanlah cita-cita Dira, gadis itu lebih suka bekerja. Seperti sebelum mengenal Agam. Selama beberapa bulan ini, Dira bekerja sebagai pelayan di sebuah cafe.
Di cafe itulah Dira bertemu Agam, pria pemarah, terkesan dingin namun tampan.
Saat itu, Dira ingat betul. Bagaimana tiga orang berperawakan sangar menyeret tangannya. Memaksa Dira untuk ke luar dari cafe yang mau tutup. Kebetulan Dira dapat shift malam, jadi saat akan tutup, jalanan di depan cafe nampak sepi.
Tubuhnya yang mini, tak bisa mengimbangi tiga orang dengan tato black cobra di ke dua lengannya yang kekar dan ditumbuhi otot.
Bertatap muka saja membuat nyali Dira menciut, apalagi pria-pria itu berbuat amat kasar padanya. Belum apa-apa Dira sudah seperti akan mati berdiri karena ketakutan.
Gadis itu hanya memiliki nama yang artinya pemberani. Anindira, ya neneknya berharap cucunya akan tumbuh jadi gadis pemberani. Berani menerjang ombak dan karang yang terjal di setiap jalan hidup Dira.
Tapi apa yang terjadi, tumbuh tanpa sosok ayah. Ditambah hanya di besarkan oleh seorang Nenek yang tua renta, membuat Dira tumbuh tak sesuai dengan namanya.
Apalagi kini ia sudah menjadi istri siri dari seorang Agam Salim Wijaya, sudah pasti hidup Dira dipenuhi bayang-bayang ketakutan.
Pria itu angkuh, dan selalu bersikap kasar pada Dira. Meskipun hanya secara verbal saja. Tapi tetap saja, Dira tetap memiliki hati. Kadang hatinya juga sakit bila selalu dibentak-bentak oleh suaminya itu.
Tapi tidak apa-apa, demi ibu. Demi kebebasan dan demi uang yang bisa menjamin hidupnya kelak. Dira akan menahan, meski sakit.
Bagaimana pun juga, Dira harus berterima kasih pada pria itu. Karena Agam lah, ia bisa berada di sini.
Bila tidak, mungkin malam itu ia akan digilir oleh bandit-bandit kaki tangan mucikari yang menahan ibunya.
Untung Agam datang, Tuhan seolah mengirim dewa penolong tepat pada saat kritisnya.
Inilah awal 100 juta itu, seratus juta yang menyelamatkan Dira. Tapi juga membawa petaka yang lainnya.
Pranggg
Karena asik melamun, Dira sampai asal mengangkat mangkuk yang ternyata masih panas. Alhasil, kuah sayur yang masih mengepul asapnya itu jatuh, tumpah di seluruh lantai.
Tidak hanya tumpah di lantai saja, melainkan juga menumpahi sebagai kaki Dira.
Dari arah lain, mendengar barang pecah. Bibi langsung berlari.
"Ya Allah ... Non Diraaa! Ya Allah ... bagaimana ini. Kenapa bisa tumpah, duduk dulu Non ... Duduk!"
Bibi langsung menarik kursi, dan mendudukkan Dira di atasanya.
"Gawat ... gawat! Tuan pasti marah!" Terlihat sekali kecemasan di raut wajah Bibi yang sudah mengendur itu.
"Ngak apa-apa, Bi. Dira gak apa-apa!" Dira menepis tangan Bibi yang sedari tadi menyentuh dan memeriksa kakinya.
"Mati aku, Non. Bisa-bisa dipecat Tuan Agam."
"Bik ... Dira ngak apa-apa!"
"Ngak apa-apa bagaimana? Kulitnya langsung merah. Ini sebentar lagi melepuh ... odol, sebentar. Bibi cari odol dulu."
Wanita itu berjalan dengan cepat menuju kamar mandi. Setelah mendapat pasta gigi, Bibi langsung mengolesi kaki Dira. Dua-duanya nampak mulai merah. Benar kata Bibi, mungkin sebentar lagi akan melepuh.
"Sudah, Bik ... sudah!"
"Bibi telpon Tuan Agam sekarang ya, Non?"
"Jangan!" Gadis itu mengeleng keras. "Tidak usah, Dira mau di kamar saja. Nanti dioles salep juga pasti mendingan," tambahnya sembari berjalan menuju kamar.
Setelah masuk kamar, ia langsung memeriksa kembali kakinya yang kini nampak putih semua. Rupanya si Bibi membubuhi pasta gigi terlalu banyak. Hingga kini kulitnya terasa ketat.
Karena terasa sedikit panas, untuk meredakan rasa nyeri yang mulai terasa. Dira minum satu butir obat pereda nyeri, setengah jam kemudian Dira malah tertidur. Hingga tanpa terasa malam pun menjelang.
Agam baru pulang saat waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Jalanan ibu kota macet parah. Membuat ia pulang sedikit terlambat.
"Di mana Dira?" tanya Agam pada Bibi yang akan membawakan tas miliknya.
"Itu ... Non Dira masih tidur."
'Masih tidur? Anak malas!' gerutu Agam sambil berjalan menuju kamar Dira.
Dibukanya kamar tamu, ia ingin melihat dengan matanya sendiri. Agam perlahan masuk ke dalam kamar Dira.
Ia memincingkan mata, menatap kaki Dira yang berwana putih.
"Apa ada dengan kakinya?" penasaran, Agam mendekat. Memeriksa dengan saksama.
"Bibik .... bibik!" teriak Agam dengan keras, raut muka pria itu mengeras. Seperti memendam marah.
"Iya, Tuan!" Bibi datang dengan terbirit-birit.
"Kaki Dira kenapa?"
"Itu ... terkena kuah soup panas tadi siang Tuan." Bibi sudah beringsut mundur. Jujur ia takut sekali bila akan dipecat.
"CEROBOH!" cetusnya. Kemudian menyuruh Bibi pergi.
Kini Agam menatap wajah Dira yang masih tertidur. Entah karena efek obat atau karena dasar kebo. Dira tak kunjung bangun. Padahal dari tadi ada suara ribut-ribut di kamarnya.
"Bagaimana kamu akan menjaga calon anakku kelak selama dia ada di dalam perutmu? Menjaga dirimu sendiri saja tak mampu!" cibir Agam dengan sinis.
Bersambung
Jangan pernah memandang orang dengan sebelah mata, karena kamu manusia. Bukan Dajjal!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Siti Zamarah
kalau dajjal , agam sudah ngibrit ,🤣
2023-07-28
0
Wati_esha
Agam, bila sinismu tak jua berhenti .. mengapa kau inginkan anak darinya?!
2023-07-16
0
Wati_esha
Tq update nya ya.
2023-07-16
0