Sudah Empat jam lebih Dira menunggu Agam, pria itu meninggalkan gadis tersebut sendiri di dalam sebuah kamar hotel.
Lagi-lagi penyakit usus Dira kambuh, Ia merasa kelaparan sore itu. Entah lupa atau apa, Agam tak memesankan makan siang untuknya. Kini perut gadis itu terasa perih karena kosong tak berisi.
Nekad, Dira pun memutuskan ke luar kamar untuk mencari sesuatu guna menganjal perutnya. Tadi Agam sudah memberikan kartu access kamar padanya. Jadi ia bisa keluar masuk tanpa menunggu pria itu.
Lagian Agam juga beberapa waktu lalu memberikan banyak uang padanya. Dira memutuskan untuk mencari warung makan di sana.
Saat masuk lift, kepalanya celingukan. "Hotel kok sepi? Sudah mirip kuburan!" gerutunya sembari memencet tombol di dalam lift.
Begitu sampai lantai dasar, kembali lagi Dira clingak-clinguk. Hal itu membuat karyawan hotel mencurigai Dira.
Sejak tadi gerak-gerik Dira yang aneh membuatnya jadi pusat perhatian.
"Mau cari makan di mana ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Setelah keluar dari hotel, Dira memilih berjalan agak jauh. Di ujung jalan sana, ada sebuah kafe. Dira lantas memutuskan untuk makan di sana saja.
Gadis itu berjalan dengan santai di trotoar menuju kafe yang sudah terlihat dari posisinya kini, hingga seseorang menyibak tubuhnya. Membuat Dira oleng.
"Hati-hati, Mas!" ucap Dira sambil mengusap tangannya. Hampir saja ia terjerembab di trotoar.
"Maaf, Mbak!" ucap pria yang tadi menabrak dirinya.
Dira pun kembali meneruskan jalannya, gadis itu tidak sadar. Dompet yang ada di dalam tasnya sudah raib.
Pria yang menabrak Dira barusan adalah copet yang biasanya beraksi di kawasan itu.
Dira yang tidak tahu apa-apa, ia masih santai berjalan ke arah kafe. Di dalam sana, gadis polos itu memesan apa saja yang ingin ia makan.
Sepiring spaghetti, lemon tea dan brownies.
Beberapa saat kemudian, Dira berniat pergi meninggalkan kafe. Karena perutnya sudah kenyang. Namun saat akan membayar, Dira terkejut.
"Ke mana dompetnya?" Dira memeriksa isi tasnya sekali lagi, ponsel pun tidak ada.
"Ke mana semua barang-barang yang ada di dalam tas ini?" ucapnya sambil terus mencari.
Sampai seorang pelayan datang, dan membawakan billnya.
"Haduh ... gimana nih mbak? Sepertinya saya kecopetan!" tutur Dira ketika ingat sempat ditabrak orang asing sebelum ke mari.
Seketika itu juga, wajah pelayan kafe yang semula rama dan murah senyum. Langsung menatap Dira dengan sinis.
"Paling juga alasan!" batinnya. Karena Dira tak punya uang untuk bayar makanannya yang sudah ia habiskan. Maka pelayan tadi menyuruh Dira ke dapur.
Kepala dapur pun menatap tidak suka pada Dira, kejadian seperti ini ternyata sering terjadi. Banyak orang-orang ingin makan enak, akan tetapi tidak punya uang. Cara licik pun dilakukan agar perut kenyang.
Semua orang di dapur itu, memandang sebelah mata si Dira.
"Kamu cuci semua ini! Dan boleh pulang kalau sudah jam 9 malam!" titah kepala pelayan.
Tak punya uang, ponsel pun hilang. Akhirnya Dira pun melakukan pekerjaan itu. Sebagai ganti makanan yang tadi ia makan.
Dira sudah biasa melakukan pekerjaan seperti ini, namun ada sesuatu yang menganjal. Bagaimana bila nanti Mas Agam mencari? Bila dia tidak ada di kamar hotel, jangan-jangan pria dingin itu akan marah-marah tak karuan.
Karena kerja sambil melamun, tidak sengaja Dira memecahkan gelas yang semula ia cuci.
Prang
Suara benda pecah, jatuh dan tercecer di lantai. Detik itu juga semua orang di dapur langsung menatap Dira.
"Kerja begitu saja tidak becus!" cibir salah satu pekerjaan di dapur.
Dira hanya mengucap maaf dan menundukkan wajahnya.
Tidak terasa, jam sudah menunjukkan pukul sembilan.
"Mbak, apa saya sudah boleh pulang?" tanya Dira dengan penuh kehati-hatian. Jujur ia takut dengan muka galak itu.
"Hem! Lain kali kalau mau makan enak, kerja! Jangan nipu!" cibir wanita yang posture tubuhnya mirip pria tersebut.
Karena merasa bukan penipu, dan tidak ada keinginan untuk menipu. Dira pun hanya diam saja. Menerima hinaan yang ditujukan pada dirinya.
Dengan gontai Dira meninggalkan tempat itu. Hari sudah malam, saat ia sampai di hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh. Pasti Mas Agam akan memarahi dirinya, Dira jadi tambah lesu.
"DIRA!!!!'
Panggil Agam dengan gusar.
"Ke mana saja kamu?" bentaknya di lobby hotel. Beberapa orang menatap kasihan pada gadia yang di maki-maki itu.
"Ke mana ponsel kamu? Ke mana?" bentak Agam sekali lagi.
"Kelayapan! Ke mana saja? Kamu lihat ini jam berapa?" Agam terus mengomel. Ia sampai tak menyadari. Mata gadis itu sudah mengembun.
"Saya kira, ini adalah kesalahan besar karena memilih menikahimu!"
Berkali-kali kalimat kejam tak berperasaan ia lontarkan pada gadis itu. Agam yang pikirannya kacau, karena seharian mencari Agata namun tidak dapat hasil. Menjadikan Dira sasaran kemarahan.
Ia terus memaki-maki Dira di depan banyak hotel. Beberapa orang bahkan langsung bisik-bisik saat menyaksikan hal tersebut.
"Jangan diam saja! Kamu punya mulut, kan?"
Lidahnya tiba-tiba tambah kelu, mulut Dira malah mengeluarkan tangisan yang mengusik Agam.
"Kamu pikir, air mata bisa menyelesaikan semua?" cetusnya sambil terus menatap tajam.
"Dira kecopetan, Mas."
Selesai mengatakan itu, Dira langsung merosot di lantai. Hari ini, banyak sekali orang yang memaki-maki dirinya.
Dia memang tak berpendidikan tinggi, bukan orang kaya pula. Tapi Dira tetaplah manusia. Ia memiliki hati, dan bila disakiti pasti juga akan terasa sakit.
"Cepat berdiri!" serunya pada Dira.
"Berdiri kamu!" bentaknya agak keras, membuat pelayan hotel yang lewat langsung menoleh ke arah mereka.
Beberapa orang lainnnya menatap simpatik, namun memilih pergi. Tidak ingin ikut campur urusan orang lain.
"Kamu dengar tidak Dira? Berdiri!"
Dira akhirnya mencoba berdiri, namun kakinya terasa amat sakit. Ini karena berdiri dari sore sampai jam sembilan di dapur kafe. Untuk mencuci semua alat-alat kotor di sana.
Melihat kaki Dira yang bergetar, Agam pun mengamati dengan serius.
"Ada apa dengan kakimu?" Agam langsung menyibak kain yang menutupi kaki Dira.
"DIRA!!" ujar Agam dengan kesal. "Kenapa bisa melepuh seperti ini? Kamu ngapain saja????"
Agam terus saja marah-marah pada dirinya, sudah tidak betah. Akhirnya Dira pun mengungkapkan apa yang ingin ia katakan.
"Mas kenapa marah-marah terus sama Dira? Dira salah apa? Dira lapar ... cari makan di kafe ujung sana. Di jalan Dira dicopet! Semua karyawan kafe menghukum Dira. Aku bahkan berdiri dari jam tiga sore sampai sembilan malam... hanya untuk bayar sepiring spaghetti yang ku makan. Mengapa semua orang jahat sama Dira? Mengapa?"
Tangis Dira pecah. Puas rasanya ia bisa mengatakan semua itu.
Sedangkan Agam, ia memang lupa. Melewatkan makan siang gadis itu karena fokus mencari Agata.
Agam juga tak menyangka, bahwa gadis itu dicopet. Ah! Mengapa semua kacau, kacau sekali.
Pria itu pun menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan kasar. Kemudia meraih tubuh Dira dalam pelukannya.
"Maaf, saya tidak tahu apa yang sudah terjadi padamu hari ini!" Agam menepuk lembut punggung gadis tersebut.
Mendapat pelukan yang hangat itu, membuat Dira sedikit tenang. Tangisnya sudah merasa. Tidak ingin jadi bahan tontonan, Agam pun mengajak Dira ke kamar. Bersama pelayan hotel, karena kunci kamar juga hilang digondol jambret.
Suasana canggung mulai terasa saat mereka hanya berdua saja.
"Mandilah, kamu bau asem!' celetuk Agam yang tadi bisa merasakan bau asem Dira saat memeluk gadis itu.
"Iya!" jawab Dira lirih. Bagaimana gak bau asem, tubuhnya bermandikan keringat saat kerja rodi di kafe tadi.
Dira pun ke kamar mandi, membersihkan diri sampai bau wangi. Gensi dong, dikatain bau asem sama suaminya. Dira akhirnya sampai keramas dua kali. Hingga aroma segar itu memenuhi kamar hotel tempat mereka menginap.
Sementara itu, saat Dira selesai mandi. Agam masih terjaga. Pria itu bersandar di ranjang sambil memainkan ponselnya. Sejak tadi ia menghubungi kawan-kawan Agata. Barang kali ada yang tahu keberadaan istri pertamanya itu.
Namun, perhatian Agam teralihkan. Ketika melihat Dira yang baru selesai mandi.
Gadis belia itu, masih mengunakan handuk kimono yang ada di kamar hotel. Rambutan dibiarkan tergerai. Tetes demi tetes rambutnya membasahi langkah yang ia tinggalkan di atas lantai.
Aroma itu, menyeruak. Harum dan segar. Ingin fokus kembali ke ponsel yang ia pegang, namun Agam tetaplah seorang pria.
Ia adalah pria normal! Menatap gadis ranum seperti dira, ditambah rambut basahnya. Hati dan tubuh Agam mulai berhianat. Sekilas ia lupa dengan Agata.
Dira yang tak tahu apa-apa, dengan santai menyisir rambut di depan meja rias. Tidak sengaja matanya menatap pantulan wajah Agam.
Dua insan yang sudah menikah tapi belum menjadi pasangan sempurna itu pun hanya saling menatap lewat pantulan kaca.
Jantung Dira sempat berdesir, ketika ditatap dengan cara berbeda oleh Agam.
Pria dingin itu, seolah menatapnya dengan ingin.
Sedangkan Agam, dengan perlahan ia bangkit dari ranjang. Pelan tapi pasti ia mendekati Dira.
Bersambung
Wkkwkwk
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
Elizabeth Yanolivia
berhianat = berkhianat
2024-05-30
0
Elizabeth Yanolivia
rambutan = rambutnya
2024-05-30
0
Elizabeth Yanolivia
merasa = mereda
2024-05-30
0